Belum lama ini, Mahkamah Konstitusi
(MK) memutuskan bahwa kepala desa boleh berasal dari luar desa. Ini merupakan
salah satu dari 3 putusan lembaga pengawal marwah konstitusi tersebut mengenai
tuntutan pembatalan Pasal 50 UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa).
Sebagaimana diketahui, pasca terbitnya UU Desa, persyaratan menyebutkan bahwa
sebelum mendaftarkan diri sebagai kepala desa, seseorang harus merupakan penduduk
asli dan bermukim minimal 6 bulan di desa tersebut.
Terkabulnya judicial review
oleh sejumlah pihak terhadap UU Desa tahun 2014 berlatar belakang bahwa
persyaratan di atas telah menciderai prinsip demokrasi. Hak warga Indonesia
dalam mengelola pemerintahan desa dikesampingkan. Peraturan perundang-undangan
dianggap melakukan diskriminasi, sebab berpihak pada satu kelompok (penduduk
asli) dan menihilkan keberadaan kelompok lain (warga luar desa). Dengan
demikian, produk legislasi diyakini kurang adil dan netral dalam memperlakukan
setiap warga negara. Munculnya perbedaan dikotomis lantaran ia cenderung
memilah warga negara menjadi dua: “anak emas” dan “anak tiri”.
Seharusnya terbitnya pasal dalam
peraturan perundang-undangan tidak selalu dilihat dengan “pandangan lurus”. Di
negeri ini, sudah tak terhitung banyaknya korban kecerobohan hakim (termasuk
hakim MK) yang menilai suatu persoalan dengan “kaca mata kuda”. Padahal, dalam
situasi tertentu, ia mesti dipandang dalam kaca mata sosial. Dalam konteks
inilah, sosiologi hukum yang menampung sisi-sisi humanis dalam jagat hukum
mendapati relevansinya.
Sosiologi hukum melihat bahwa diperbolehkannya
seseorang yang berasal dari luar desa menjadi kepala desa berimplikasi serius.
Pertama, calon kepala desa yang
kurang memiliki kesadaran berdesa dapat menghancurkan kehidupan desa secara
perlahan. Hal ini dikarenakan, kebijakan yang dilahirkan tidak berangkat dari
pengetahuan tentang desa, akan tetapi berpijak pada rasio an sich.
Padahal, selama ini corak kehidupan desa bersifat unik dan genuine, sehingga
tata kelola desa memerlukan penanganan dan keahlian khusus. Kebijakan tentang
desa harus senantiasa didasarkan pada kearifan, kebajikan, dan local wisdom.
Kedua, dengan segebok uang, calon
kepala desa yang juga pemodal mampu dengan leluasa membeli suara orang-orang
kecil. Ketika berhasil menyelundup dalam ruang politik lokal dan
memenangkannya, ia akan menancapkan kekuasaan dengan mengambil alih
sumber-sumber ekonomi desa. Jika beberapa titik strategis dan aset lokal
berpindah tangan, maka warga setempat seakan terusir dari tanah kelahiran.
Untuk sekadar menikmati hasil tanah mereka tentu merasa kesulitan. Akhirnya,
daripada menjadi penonton pasif lebih baik mereka menjadi buruh kasar dengan
upah kecil.
Ketiga, muncul perubahan
konfigurasi politik lokal. Dengan dibatalkannya Pasal 50 UU Desa tahun 2014,
mereka yang mencalonkan diri sebagai kepala desa boleh jadi bertambah.
Orang-orang dari luar desa akan berbondong-bondong mengumumkan bahwa mereka
siap menjadi pemimpin desa. Persaingan tidak hanya berlangsung antara warga
setempat namun juga warga luar desa yang menginginkan kehormatan dan kewibawaan.
Peluang eksplorasi kemampuan dan kreativitas warga menyempit. Imbasnya, otonomi
desa kurang memiliki arti.
Belum lagi masyarakat yang bercorak
pandang pragmatis akan merasa diuntungkan, sebab uang sogok kian melimpah
seiring dengan bertambahnya calon kepala desa. Saat pilihan semakin banyak,
mereka cenderung abai terhadap pertimbangan logis. Mereka hanya berpikir berapa
rupiah yang mereka kantongi pada waktu Pemilihan Kepala Desa (Pilkades)
diselenggarakan. Bagi mereka, pesta demokrasi desa merupakan sarana mempertebal
isi dompet.
Padahal, dikukuhkannya penduduk
asli sebagai calon kepala desa dalam peraturan perundang-undangan bukan tanpa
alasan. Ketentuan ini berdasarkan pertimbangan logis dan matang. Terhadap desa,
mereka dianggap memiliki ikatan batin yang kuat. Mereka benar-benar mengetahui
sejarah desa dengan segala keistimewaanya. Dalam menjalankan kehidupan
sehari-hari, mereka dibekali dengan akar pengetahuan yang mendalam tentang
seluk-beluk kehidupan desa. Mereka hafal di luar kepala mengenai tradisi dan
ekologi desa.
Jika orang luar dipaksakan menduduki
kursi kekuasaan desa, maka kepercayaan warga setempat diragukan. Sejak
berabad-abad silam, mereka dipimpin oleh penduduk asli. Selain memegang
kekuasaan formal tertinggi pada tingkat lokal, kepala desa dianggap sebagai “bapak”
yang selalu menjadi pengayom siapa saja yang membutuhkan perlindungan (Latief,
2000).
Bojonegoro, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar