Di sejumlah tempat, terjadi
perebutan akses, sarana, sumber ekonomi antar individu dan golongan. Tak heran
jika desa menjadi ajang pertarungan antara mereka yang kuat dan lemah.
Celakanya, tolok ukur segala bentuk persaingan berangkat dari asumsi bahwa The
Have (pemilik uang) sebagai pemenang. Realitas ini mengakibatkan timbulnya
kedengkian wong cilik terhadap orang
kaya. Modernisasi, globalisasi, serta industrialisasi telah mengabaikan hak-hak
sebagian orang desa dan membiarkan mereka hidup terkatung-katung.
Berbagai kebijakan pemerintah,
terutama mengenai tanah, justru terkesan pro-pemodal. Surat izin pemerintah
menjadi modal bagi siapa saja yang ingin mengeruk kekayaan dengan menyulap
tanah orang desa sebagai lahan bisnis. Meskipun bercorak legal-formal, surat
izin tersebut nyatanya justru menutup ruang ekonomi, merampas modal sosial,
menyulut disintegrasi sosial, serta menghancurkan sendi-sendi demokrasi lokal.
Surat izin pemanfaatan lahan terbit atas inisiatif politikus dan birokrat
nakal, sehingga nasib rakyat digadaikan.
Hilangnya Tanah
Produk legal telah dikondisikan
oleh para pemodal, pebisnis dan kapitalis. Kehormatan, kewibawaan, dan harga
diri para legislator yang bertugas mengawal amanat rakyat seolah ditukar dengan
fasilitas, layanan, akses, serta berbagai ragam kenikmatan sesaat. Gratifikasi
muncul dalam beragam varian, mulai uang, tiket pesawat, hingga pijat plus.
Perangkat yuridis yang selayaknya
menjadi sarana keadilan sosial malah dipakai sebagai senjata ampuh demi
menggasak ribuan hektar tanah di pelosok desa. Tanah yang digunakan masyarakat
perdesaan untuk bertani dan berkebun dirampas oleh pemerintah dengan label
Tanah Negara. Akhirnya, hilanglah apa yang disebut dengan hak ulayat. Dengan
demikian, mendapat stempel dari negara, peraturan perundang-undangan telah
berubah menjadi alat eksploitasi.
Dalam posisi tertekan, penduduk
desa terpaksa melepaskan tanah dengan harga yang kurang sebanding dengan nilai
sebenarnya. Uang yang mereka terima hanya cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Padahal, sejak dulu kala, tanah bukan hanya difungsikan sebagai sumber
penghasilan, melainkan juga ruang menimba ilmu dan kebajikan. Dari sebidang
tanah, mereka dapat mempelajari apa yang diwariskan nenek moyang: betapa alam
merupakan sahabat yang harus dipelihara dan dijaga kelestariannya.
Selama ratusan tahun, alam
memberikan kedamaian, keharmonisan, dan keseimbangan hidup. Terhindarnya
orang-orang desa dari sikap materialistis disebabkan oleh intensitas pertautan
dan pergumulan mereka dengan alam. Jauh berbeda dengan kaum hedonis yang
berhasrat meraup untung sebesar-besarnya, mereka memanfaatkan alam sekadarnya,
hanya demi mengganjal perut.
Potensi Desa
Dalam konteks inilah, pengelolaan potensi
desa menemukan relevansinya. Perekonomian masyarakat desa harus ditata kembali demi
mewujudkan kesejahteraan bersama. Jika tanah tidak lagi bisa diandalkan, desa dituntut
sanggup mengelola sumber daya yang tersisa dengan sebaik-baiknya. Desa harus
dijauhkan dari segala bentuk diskriminasi supaya sumber ekonomi tidak hanya
dikuasi oleh elite-elite lokal. Roda perputaran ekonomi di tingkat desa juga
harus menyentuh rakyat jelata.
Melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes),
pengelolaan sumber daya desa dapat dikelola secara profesional. Dibentuk melalui
musyawarah dengan melibatkan pemerintah desa bersama seluruh unsur masyarakat
desa, BUMDes menjanjikan manfaat dan keuntungan luar biasa. Keberadaan BUMDes menjadikan masyarakat memiliki
tanggung jawab kolektif. Dengan rasa memiliki yang kuat, mereka mesti mampu menjaga
aset desa. Dengan demikian, ruang interaksi dan harmoni yang terbentuk mampu
mengesampingkan kepentingan individu dan mengutamakan kemaslahatan bersama.
Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 Pasal
87 tentang Desa disebutkan, BUMDes dikelola dengan semangat kekeluargaan dan
kegotongroyongan. Badan usaha ini dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi
dan/atau pelayanan umum. Pasal 89 menyebutkan bahwa hasil usaha BUMDes
dimanfaatkan untuk pengembangan usaha, pembangunan desa, pemberdayaan
masyarakat desa, serta pemberian bantuan bagi masyarakat miskin melalui hibah,
bantuan sosial, dan kegiatan dana bergulir yang ditetapkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
Dengan revitalisasi BUMDes,
diharapkan sumber daya desa, baik sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya
alam (SDA) bisa lebih dioptimalkan. BUMDes berperan penting dalam
mengefektifkan ekonomi perdesaan secara merata, berkeadilan serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dalam BUMDes terkandung dimensi kepentingan publik
berupa transparansi, akuntabilitas, serta orientasi kebersamaan. Itulah
sebabnya, BUMDes seyogyanya dimanfaatkan secara jujur, terbuka, serta mengutamakan
kepentingan umum.
Dalam rangka mengembangkan potensi
desa, dana desa dapat digunakan untuk membentuk ataupun mengaktifkan kembali
BUMDes. Apalagi, pada tahun 2017, dana desa genap
dialokasikan sebesar 60 triliun rupiah. Oleh sejumlah pihak, dana yang
bersumber dari APBN tersebut dianggap mampu memberikan efek berantai terhadap
pertumbuhan perekonomian masyarakat desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar