Para pelaku teror berusaha
membangun kekuatan di wilayah pedalaman. Mereka menjadikan desa sebagai markas
untuk melancarkan konsolidasi, menyiapkan amunisi, serta membangun strategi.
Penggerebekan rumah terduga teroris
di Desa Ajibaho, Biru-Biru, Deliserdang, Sumatera Utara, oleh personel Densus
88 Antiteror merupakan salah satu bukti bahwa desa merupakan lokasi strategis bagi
teroris guna menghilangkan jejak sekaligus menyusun rencana matang sebelum
beraksi. Terpilihnya desa selaku basis aktivitas teror bukan tanpa dasar. Mereka
memahami sosiologi perdesaan yang genap mengalami pergeseran.
Dahulu kala, orang desa selalu
menunjukkan kecurigaan terhadap orang asing. Mereka menampilkan ekspresi “tidak
suka” saat melihat orang luar datang ke wilayahnya. Muncul ketidaknyamanan ketika
loka mukim mereka tiba-tiba dikunjungi oleh orang atau kelompok tak dikenal.
Meskipun terkesan negatif, sebenarnya kecurigaan merupakan wujud perhatian
lebih terhadap kehidupan orang lain. Sikap ini menjadi modal besar bagi negara
dalam menguak kasus-kasus terorisme. Berbekal kecurigaan, keberadaan para
teroris yang lari ke pedalaman bisa terlacak. Orang desa dapat berperan dalam
mengendus siapa saja yang berusaha menggalang aksi terorisme.
Geliat Modernisasi
Kala modernisasi mulai menyentuh
wilayah perdesaan, kecurigaan ini semakin lama semakin luntur. Merosotnya
kecurigaan orang desa lantaran budaya urban mempengaruhi pola dan cara berpikir
mereka. Kecurigaan perlahan tergerus oleh prinsip hidup perkotaan yang
cenderung egoistis. Kepedulian yang awalnya juga mencakup kehidupan orang lain,
akhirnya dicurahkan kepada diri sendiri. Globalisasi membuat beragam nilai dari
luar masuk ke desa dan menciptakan psikologi, sosiologi, serta gaya hidup
masyarakat.
Gejala menguatnya nilai-nilai urban
pada diri orang desa dikokohkan oleh pendidikan. Abdul Munir
Mulkhan (2009: 94) melihat bahwa melalui pendidikan, modernisasi menelusup pada
kehidupan perdesaan. Banyak anak desa yang merantau ke kota demi memasuki
berbagai lembaga pendidikan modern. Saat menempuh jenjang pendidikan inilah,
mereka bersentuhan dengan prinsip hidup orang kota.
Bersarangnya budaya urban ke
wilayah perdesaan juga dipengaruhi oleh gelombang urbanisasi. “Hasrat urban”
membimbing pemuda desa untuk berburu rupiah ke kota. Daripada menjadi petani,
anak muda masa kini lebih terobsesi sebagai buruh. Muncul kepuasan tersendiri
ketika mereka melepaskan identitas tradisional dan mulai disebut “orang kota”.
Pertukaran antara nilai-nilai desa
dengan kota berlangsung pada waktu mereka bekerja. Saat mereka kembali ke tanah
kelahiran, nilai inilah yang ditularkan kepada warga desa lainnya.
Pendidikan dan
urbanisasi seolah berorientasi pada pembentukan manusia egoistis. Kultur urban
yang diselipkan lewat keduanya cenderung membentuk kepribadian keras, kasar,
dan sukar diatur. Akibatnya, semangat dan etos kerja orang
desa yang dihiasi dengan komunalisme hilang tergantikan individualisme. Padahal, selama
komunalisme masih dipegang teguh oleh orang desa, kepedulian terhadap sesama
akan tetap terpelihara. Begitu pula sebaliknya.
Pemerintah desa
semestinya lebih selektif saat menerima orang luar. Ketua RT dituntut
mengetahui latar belakang dan sepak terjang siapa saja yang menjadi tamu dan
warga baru. Di sinilah urgensi buku induk desa yang memuat sejumlah data penting,
termasuk identitas penduduk tetap dan sementara. Selain merealisasikan tertib
administrasi pemerintahan, langkah ini juga merupakan upaya menjauhkan desa
dari anasir terorisme.
Untuk menanggulangi
aksi terorisme, kepala desa beserta pamong lainnya harus menggandeng semua
lapisan masyarakat. Egosentrisme dan individualisme yang terlanjur meracuni
kawula muda diatasi dengan cara melibatkan mereka dalam ruang publik. Motivasi
gotong royong yang dimiliki golongan tua diarahkan pada usaha mewujudkan good governance di desa. Sebagai upaya
memutus jaringan terorisme, para warga diajak untuk aktif dalam melakukan
kontrol sosial. Jika ada hal-hal yang mencurigakan, mereka dapat segera
melaporkannya kepada aparatur desa. Dalam konteks inilah, berlangsung apa yang
disebut dengan “demokrasi deliberatif”, di mana demokrasi tidak hanya
dijalankan oleh kaum elite (pemimpin dan tokoh desa), melainkan juga warga
desa.
Kontrol sosial merupakan salah satu
bentuk partisipasi masyarakat desa. Said (dalam Samsul Komar,
2003) menjelaskan
bahwa kontrol sosial dalam khasanah perdesaan merupakan alat pengawasan warga
desa terhadap segala bentuk interaksi dan hubungan sosial. Di sinilah
pentingnya meletakkan desa sebagai benteng sosial pencegahan terorisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar