Kamis, 05 Januari 2017

Mencegah Terorisme dari Desa (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara Merdeka" edisi Kamis, 5 Januari 2017)


Para pelaku teror berusaha membangun kekuatan di wilayah pedalaman. Mereka menjadikan desa sebagai markas untuk melancarkan konsolidasi, menyiapkan amunisi, serta membangun strategi.
Penggerebekan rumah terduga teroris di Desa Ajibaho, Biru-Biru, Deliserdang, Sumatera Utara, oleh personel Densus 88 Antiteror merupakan salah satu bukti bahwa desa merupakan lokasi strategis bagi teroris guna menghilangkan jejak sekaligus menyusun rencana matang sebelum beraksi. Terpilihnya desa selaku basis aktivitas teror bukan tanpa dasar. Mereka memahami sosiologi perdesaan yang genap mengalami pergeseran.
Dahulu kala, orang desa selalu menunjukkan kecurigaan terhadap orang asing. Mereka menampilkan ekspresi “tidak suka” saat melihat orang luar datang ke wilayahnya. Muncul ketidaknyamanan ketika loka mukim mereka tiba-tiba dikunjungi oleh orang atau kelompok tak dikenal. Meskipun terkesan negatif, sebenarnya kecurigaan merupakan wujud perhatian lebih terhadap kehidupan orang lain. Sikap ini menjadi modal besar bagi negara dalam menguak kasus-kasus terorisme. Berbekal kecurigaan, keberadaan para teroris yang lari ke pedalaman bisa terlacak. Orang desa dapat berperan dalam mengendus siapa saja yang berusaha menggalang aksi terorisme.

Geliat Modernisasi
Kala modernisasi mulai menyentuh wilayah perdesaan, kecurigaan ini semakin lama semakin luntur. Merosotnya kecurigaan orang desa lantaran budaya urban mempengaruhi pola dan cara berpikir mereka. Kecurigaan perlahan tergerus oleh prinsip hidup perkotaan yang cenderung egoistis. Kepedulian yang awalnya juga mencakup kehidupan orang lain, akhirnya dicurahkan kepada diri sendiri. Globalisasi membuat beragam nilai dari luar masuk ke desa dan menciptakan psikologi, sosiologi, serta gaya hidup masyarakat.
Gejala menguatnya nilai-nilai urban pada diri orang desa dikokohkan oleh pendidikan. Abdul Munir Mulkhan (2009: 94) melihat bahwa melalui pendidikan, modernisasi menelusup pada kehidupan perdesaan. Banyak anak desa yang merantau ke kota demi memasuki berbagai lembaga pendidikan modern. Saat menempuh jenjang pendidikan inilah, mereka bersentuhan dengan prinsip hidup orang kota.
Bersarangnya budaya urban ke wilayah perdesaan juga dipengaruhi oleh gelombang urbanisasi. “Hasrat urban” membimbing pemuda desa untuk berburu rupiah ke kota. Daripada menjadi petani, anak muda masa kini lebih terobsesi sebagai buruh. Muncul kepuasan tersendiri ketika mereka melepaskan identitas tradisional dan mulai disebut “orang kota”.
Pertukaran antara nilai-nilai desa dengan kota berlangsung pada waktu mereka bekerja. Saat mereka kembali ke tanah kelahiran, nilai inilah yang ditularkan kepada warga desa lainnya.
Pendidikan dan urbanisasi seolah berorientasi pada pembentukan manusia egoistis. Kultur urban yang diselipkan lewat keduanya cenderung membentuk kepribadian keras, kasar, dan sukar diatur. Akibatnya, semangat dan etos kerja orang desa yang dihiasi dengan komunalisme hilang tergantikan individualisme. Padahal, selama komunalisme masih dipegang teguh oleh orang desa, kepedulian terhadap sesama akan tetap terpelihara. Begitu pula sebaliknya.
Pemerintah desa semestinya lebih selektif saat menerima orang luar. Ketua RT dituntut mengetahui latar belakang dan sepak terjang siapa saja yang menjadi tamu dan warga baru. Di sinilah urgensi buku induk desa yang memuat sejumlah data penting, termasuk identitas penduduk tetap dan sementara. Selain merealisasikan tertib administrasi pemerintahan, langkah ini juga merupakan upaya menjauhkan desa dari anasir terorisme.
Untuk menanggulangi aksi terorisme, kepala desa beserta pamong lainnya harus menggandeng semua lapisan masyarakat. Egosentrisme dan individualisme yang terlanjur meracuni kawula muda diatasi dengan cara melibatkan mereka dalam ruang publik. Motivasi gotong royong yang dimiliki golongan tua diarahkan pada usaha mewujudkan good governance di desa. Sebagai upaya memutus jaringan terorisme, para warga diajak untuk aktif dalam melakukan kontrol sosial. Jika ada hal-hal yang mencurigakan, mereka dapat segera melaporkannya kepada aparatur desa. Dalam konteks inilah, berlangsung apa yang disebut dengan “demokrasi deliberatif”, di mana demokrasi tidak hanya dijalankan oleh kaum elite (pemimpin dan tokoh desa), melainkan juga warga desa. 
Kontrol sosial merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat desa. Said (dalam Samsul Komar, 2003) menjelaskan bahwa kontrol sosial dalam khasanah perdesaan merupakan alat pengawasan warga desa terhadap segala bentuk interaksi dan hubungan sosial. Di sinilah pentingnya meletakkan desa sebagai benteng sosial pencegahan terorisme.

Yogyakarta, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar