Sabtu, 31 Desember 2016

Menyoal Status Staf Desa (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bernas" edisi Kamis, 29 Desember 2016)


Dewan Perwakilan Daerah (DPD) melempar usulan agar jabatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) disematkan bagi para staf desa. Di beberapa daerah, seringkali staf desa silih berganti seiring dengan lengsernya kepala desa (Kades). Di samping melancarkan penyerapan dana desa, hal ini dilakukan demi menghindarkan staf-staf desa dari intrik politik saat terjadi hiruk-pikuk pemilihan Kades.
Alokasi dana desa yang begitu besar mengharuskan sumber daya manusia (SDM) yang cukup memadai untuk mengurusnya. Jika hal ini diabaikan, tentu dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan. Akibatnya, para koruptor tidak hanya lahir di level nasional, melainkan juga di tataran lokal. Dana desa yang seyogyanya dimanfaatkan untuk memberdayakan masyarakat desa justru menjadi proyek bancakan elite-elite nakal dan oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab.
Oleh sebab itulah, perlu analisis mendalam mengenai alur birokrasi, prosentase kebutuhan, dan analisis jabatan, sebelum pemerintah menerbitkan keputusan. Apalagi, tersebar rumor bahwa wacana pengangkatan staf desa sebagai “pengabdi negara” berawal dari tuntutan mereka yang mengeluhkan tentang minimnya pendampingan penggunaan dana desa.
Kebijakan pemerintah tidak boleh didasarkan hanya pada desakan sejumlah pihak. Timbulnya kebijakan mesti berangkat dari analisis tajam dan pertimbangan rasional. Harus ada latar belakang, alasan, serta motif kuat mengapa suatu kebijakan diambil. Pemerintah tidak semestinya mengesampingkan fakta bahwa masyarakat kita saat ini, termasuk orang desa, sudah mulai berpikir pragmatis.
Boleh jadi, tuntutan sebagai pegawai negeri hanya demi meningkatkan kesejahteraan, memperbaiki perekonomian, dan melarikan diri dari kepungan kebutuhan sehari-hari yang kian mendesak. Tanpa rasionalisasi, munculnya kebijakan akomodatif dan kompromistis rentan merusak prinsip-prinsip demokrasi yang dijunjung tinggi oleh tokoh-tokoh bangsa dan negarawan.

Pemborosan Uang Negara
Jika wacana di atas terealisir, bisa dibayangkan betapa besar uang negara yang dibelanjakan untuk “membayar” staf desa. Padahal, program-program yang dibebankan APBN tidak selalu berjalan mulus. Daripada mengangkat staf desa sebagai PNS, lebih baik pemerintah berusaha memaksimalkan peran dan fungsi pendamping desa. Hal ini juga bertujuan menghilangkan dualisme kewenangan staf desa dan pendamping desa yang hanya akan menyebabkan rancunya pemerintahan desa.
Pemerintah dituntut mampu memelihara struktur desa bercorak unik dan genuine, sehingga memiliki pola, bentuk, dan karakter yang berbeda dengan kelurahan. Menurut ketetapan regulasi, kelurahan adalah pembagian wilayah administratif di bawah kecamatan. Dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi, kelurahan merupakan wilayah kerja Lurah sebagai perangkat daerah kabupaten atau kota yang berstatus sebagai PNS. Berbeda dengan kelurahan, desa bukanlah bawahan kecamatan dan bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Desa dibekali hak mengatur wilayah yang lebih luas (meski dalam perkembangannya, sebuah desa dapat berubah menjadi kelurahan).
Identitas desa sebagai gabungan dari self government community dan local state government mesti dipertahankan. Hal ini antara lain diwujudkan dengan meminimalisir pencomotan PNS dari staf desa.
Mengutip La Ode Ida (2012), staf desa merupakan unit pemerintah dalam civil society yang secara sukarela menanamkan nilai budaya di daerah tertentu, tanpa sedikit pun berharap imbalan. Kebutuhan negara bukan dalam rangka membiayai individu, tapi berinvestasi bagi kepentingan kehidupan rakyat jangka panjang. Sehingga, kreatifitas orang-orang desa sangat bermanfaat bagi peningkatan pembangunan kawasan perdesaan.
Adapun pendapat bahwa perekrutan staf desa menjadi PNS adalah dalam rangka membuka lapangan pekerjaan rasanya kurang tepat. Sarjana-sarjana yang menganggur bisa diberdayakan dengan cara merevitalisasi BUMDes sebagai katalisator perekonomian masyarakat perdesaan. Dengan demikian, mereka tidak hanya berpangku tangan, menunggu peluang pekerjaan yang semakin kecil. Seyogyanya mereka dibentuk sebagai pribadi-pribadi dengan kualitas mumpuni serta jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) yang tinggi.

Pendapatan Tetap
Meskipun sebagai pengabdi desa, staf desa selayaknya mendapat penghargaan yang layak berupa pendapatan tetap tiap bulannya. Penyediaan kompensasi atas waktu, keringat, dan pikiran mereka tentu dapat melahirkan semangat dan motivasi yang tinggi dalam mengabdikan diri pada desa. Di samping itu, kinerja mereka lebih maksimal dan terorganisir.
Tidak bisa dimungkiri, ketiadaan sumber ekonomi yang jelas kerap membuat seseorang mencari pekerjaan di luar fungsi dan perannya dalam pemerintahan desa. Akhirnya, ia akan lebih sibuk dengan pekerjaannya dibanding menjalankan kewajibannya sebagai staf desa. Kondisi seperti inilah yang menjadikan desa dan pemerintahan desa tidak terurus. Tugas sebagai staf desa hanya dijalani sebagai sambilan yang sewaktu-waktu bisa dinomorduakan.
Sebagai catatan, sistem pembayaran dan besaran pendapatan tetap staf desa tidak boleh disamakan dengan gaji PNS. Harus ada aturan tersendiri yang membedakan antara keduanya. Bagaimana pun, nominal pendapatan yang terlalu besar rentan menyebabkan munculnya berbagai risiko. Di antaranya, lahirnya para calo atau makelar yang menyediakan jasa bagi seseorang yang berkehendak menjadi staf desa. Belum lagi persaingan para warga desa untuk dapat menjadi staf desa. Sayangnya, persaingan tersebut lebih untuk pencapaian status sosial dan peningkatan kesejahteraan dibanding pengabdian diri kepada desa.

Bojonegoro, 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar