Inspektur Jenderal Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Sugito, menyebutkan bahwa
evaluasi penggunaan dana desa menunjukkan adanya penyelewengan oleh oknum-oknum
kepala desa sebesar 10 persen dari total dana desa yang disalurkan.
Setelah ditelusuri secara mendalam,
kinerja kepala desa kurang transparan dan akuntabel. Terutama mengenai kondisi
keuangan desa, mereka cenderung tertutup. Mereka enggan menyajikan laporan
keuangan pemerintahan desa kepada publik. Sehingga, besarnya dana desa
sekaligus penyalurannya tidak pernah diketahui oleh masyarakat.
Intensitas dan produktivitas
kinerja mereka sangat rendah. Daripada memfokuskan diri pada upaya
menyejahterakan masyarakat desa, mereka lebih memikirkan urusan perut.
Mentalitas “berburu rupiah” menemukan momentumnya ketika dana desa hadir dalam
rangka mengatasi problematika kehidupan desa. Tata kelola keuangan yang
seyogyanya berdasarkan prinsip komunal justru mengedepankan nilai-nilai
egosentrisme.
Dialirkannya dana yang bersumber
dari APBN ini oleh pemerintah pusat ke semua desa membuat elite lokal tergiur
untuk menikmatinya. Terjadi penyalahgunaan dan penyelewengan oleh sejumlah
pihak dengan menjadikannya proyek bersama. Mereka seolah melakukan balas dendam
terhadap nasib yang tak kunjung berubah. Uang yang seharusnya digunakan untuk
pengadaan dan perbaikan fasilitas desa justru masuk ke kantong pribadi.
Jika ini yang terjadi, maka fungsi
dan peran kepala desa dalam produk legislasi tidak berjalan sebagaimana
semestinya. Apa yang terjadi di desa menyiratkan perbedaan praktik hukum dengan
teorinya. Terdapat jurang pemisah antara das
sein dan das sollen. Hukum dalam
kehidupan masyarakat berada dalam tataran realitas ketimbang idealitas,
sehingga bercorak law in practice,
bukan law in book.
Perlawanan
Pasif
Ketika superioritas dan dominasi
kepala desa begitu besar, masyarakat kehilangan akses dan kontrol. Pemerintahan
desa berjalan sesuai kehendak para pemangkunya. Tanpa evaluasi dari pihak luar,
mereka yang duduk dalam jajaran perangkat desa tergoda untuk menyalahgunakan
kekuasaan. Kasus penyelewengan kerap bermula dari praktik pemerintahan desa
tanpa supervisi.
Itulah mengapa sejumlah tokoh desa
dan masyarakat awam mempermasalahkan hal tersebut. Mereka yang masih menjunjung
tinggi etika tradisional hanya membicarakannya secara diam-diam secara personal
dan dalam forum tertutup. Perhatian masyarakat terhadap kehidupan desa
diwujudkan dengan cara membahas rendahnya transparansi dan akuntabilitas
pemerintah desa dengan sembunyi-sembunyi. Kurang pantas rasanya jika keluhan
disampaikan kepada kepala desa secara langsung. Di sini tata krama dan sopan
santun diaktualisasikan tidak pada tempatnya.
Sejarah
mencatat bahwa selama ratusan tahun kepala desa mempunyai strata sosial yang tinggi. Tersebar asumsi publik bahwa kepala
desa memerankan sosok pengayom dan pelindung. Abdur Rozaki (2005: 181) menilai,
anggapan ini menjadi faktor utama mengapa kehidupan desa berjalan secara
timpang. Relasi sosial-politik terhambat oleh budaya ‘ewuh pakewuh’ dan patron-client.
Meskipun demikian, apa yang
dilakukan masyarakat merupakan perlawanan pasif yang bermaksud mengingatkan
penguasa dengan cara menghindari konflik. Orang desa lebih mengutamakan
keselarasan daripada timbulnya problem sosial. Mereka ingin mengubah keadaan,
akan tetapi terbentur kultur dan realitas. Jadilah rerasan sebagai forum paling ideal dalam membidik siapa saja yang
ikut menentukan kebijakan desa. Reaksi dan penilaian terhadap kinerja
pemerintahan desa dilakukan dalam lingkup terbatas.
Perlunya Kontrol
Supaya
kekuasaan kepala desa tidak rentan disalahgunakan, Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
semestinya menjalankan perannya dengan baik. Wakil dari penduduk desa
berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis
tersebut diberi wewenang untuk
mengadakan kontrol terhadap pemerintahan desa, agar kinerja kepala desa beserta
jajarannya bisa terarah. BPD berperan besar dalam terwujudnya demokrasi desa.
Ruang kontrol dan keseimbangan kekuasaan di desa jadi lebih terbuka.
UU No. 6
Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa salah satu fungsi BPD yaitu melakukan
pengawasan terhadap kinerja kepala desa (Pasal 55 c). Selain sebagai pembuat undang-undang (legislatif)
pada level desa, BPD juga merupakan badan yang mendapat kepercayaan masyarakat
untuk mengontrol kinerja kepala desa supaya bisa maksimal dan terarah. Hal ini
merupakan bentuk pengawasan politik sekaligus pembatasan kekuasaan monolitik di
tangan kepala desa.
Jika BPD berperan secara maksimal, dampak dan pengaruh yang ditimbulkan
dari lahirnya BPD sangatlah besar. Yang paling nyata yaitu berlangsungnya
pergeseran kekuatan politik, sehingga dinamika politik desa tidak lagi berpusat
pada kepala desa. Fungsi legislasi, kontrol dan penggalangan aspirasi yang
dimiliki BPD dapat menggeser posisi dan fungsi politik kepala desa. Akibatnya,
di desa tidak lagi terjadi tarik-menarik politik yang syarat muatan dan
kepentingan. Secara ideal, BPD sanggup membawa cakrawala baru dalam
pemerintahan desa serta merubah dinamika sosial dan politik desa yang
sebelumnya cenderung sentralistis dan mengabaikan mekanisme checks and balances.
Selain
BPD, fungsi kontrol juga harus dijalankan oleh pendamping desa yang memiliki
wewenang untuk mengawasi penggunaan dana desa. Salah satu tujuan dibentuknya
pendamping desa adalah agar dana desa yang dicairkan di setiap desa tersalurkan
dengan baik. Mereka mendapat mandat untuk membimbing pemerintah desa dalam
mengelola dana desa secara akuntabel dan transparan. Digelontorkannya dana desa
terutama dalam rangka memperbaiki infrastruktur desa, semisal jalan, jembatan,
gorong-gorong, irigasi, dan
lain-lain. Jangan sampai pemanfaatan dana desa terbukti menyalahi prosedur.
Rupiah yang digelontorkan dari pemerintah pusat tidak boleh menjadi “bancakan”
bagi tokoh-tokoh lokal.
Yogyakarta, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar