Selasa, 06 Desember 2016

Penyelewengan Dana Desa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Lampung Post" edisi Selasa, 6 Desember 2016)


Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Sugito, menyebutkan bahwa evaluasi penggunaan dana desa menunjukkan adanya penyelewengan oleh oknum-oknum kepala desa sebesar 10 persen dari total dana desa yang disalurkan.
Setelah ditelusuri secara mendalam, kinerja kepala desa kurang transparan dan akuntabel. Terutama mengenai kondisi keuangan desa, mereka cenderung tertutup. Mereka enggan menyajikan laporan keuangan pemerintahan desa kepada publik. Sehingga, besarnya dana desa sekaligus penyalurannya tidak pernah diketahui oleh masyarakat.
Intensitas dan produktivitas kinerja mereka sangat rendah. Daripada memfokuskan diri pada upaya menyejahterakan masyarakat desa, mereka lebih memikirkan urusan perut. Mentalitas “berburu rupiah” menemukan momentumnya ketika dana desa hadir dalam rangka mengatasi problematika kehidupan desa. Tata kelola keuangan yang seyogyanya berdasarkan prinsip komunal justru mengedepankan nilai-nilai egosentrisme.
Dialirkannya dana yang bersumber dari APBN ini oleh pemerintah pusat ke semua desa membuat elite lokal tergiur untuk menikmatinya. Terjadi penyalahgunaan dan penyelewengan oleh sejumlah pihak dengan menjadikannya proyek bersama. Mereka seolah melakukan balas dendam terhadap nasib yang tak kunjung berubah. Uang yang seharusnya digunakan untuk pengadaan dan perbaikan fasilitas desa justru masuk ke kantong pribadi.
Jika ini yang terjadi, maka fungsi dan peran kepala desa dalam produk legislasi tidak berjalan sebagaimana semestinya. Apa yang terjadi di desa menyiratkan perbedaan praktik hukum dengan teorinya. Terdapat jurang pemisah antara das sein dan das sollen. Hukum dalam kehidupan masyarakat berada dalam tataran realitas ketimbang idealitas, sehingga bercorak law in practice, bukan law in book.

Perlawanan Pasif
Ketika superioritas dan dominasi kepala desa begitu besar, masyarakat kehilangan akses dan kontrol. Pemerintahan desa berjalan sesuai kehendak para pemangkunya. Tanpa evaluasi dari pihak luar, mereka yang duduk dalam jajaran perangkat desa tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan. Kasus penyelewengan kerap bermula dari praktik pemerintahan desa tanpa supervisi.
Itulah mengapa sejumlah tokoh desa dan masyarakat awam mempermasalahkan hal tersebut. Mereka yang masih menjunjung tinggi etika tradisional hanya membicarakannya secara diam-diam secara personal dan dalam forum tertutup. Perhatian masyarakat terhadap kehidupan desa diwujudkan dengan cara membahas rendahnya transparansi dan akuntabilitas pemerintah desa dengan sembunyi-sembunyi. Kurang pantas rasanya jika keluhan disampaikan kepada kepala desa secara langsung. Di sini tata krama dan sopan santun diaktualisasikan tidak pada tempatnya.
Sejarah mencatat bahwa selama ratusan tahun kepala desa mempunyai strata sosial yang tinggi. Tersebar asumsi publik bahwa kepala desa memerankan sosok pengayom dan pelindung. Abdur Rozaki (2005: 181) menilai, anggapan ini menjadi faktor utama mengapa kehidupan desa berjalan secara timpang. Relasi sosial-politik terhambat oleh budaya ‘ewuh pakewuh’ dan patron-client.
Meskipun demikian, apa yang dilakukan masyarakat merupakan perlawanan pasif yang bermaksud mengingatkan penguasa dengan cara menghindari konflik. Orang desa lebih mengutamakan keselarasan daripada timbulnya problem sosial. Mereka ingin mengubah keadaan, akan tetapi terbentur kultur dan realitas. Jadilah rerasan sebagai forum paling ideal dalam membidik siapa saja yang ikut menentukan kebijakan desa. Reaksi dan penilaian terhadap kinerja pemerintahan desa dilakukan dalam lingkup terbatas.

Perlunya Kontrol
Supaya kekuasaan kepala desa tidak rentan disalahgunakan, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) semestinya menjalankan perannya dengan baik. Wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis tersebut diberi wewenang untuk mengadakan kontrol terhadap pemerintahan desa, agar kinerja kepala desa beserta jajarannya bisa terarah. BPD berperan besar dalam terwujudnya demokrasi desa. Ruang kontrol dan keseimbangan kekuasaan di desa jadi lebih terbuka.
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan bahwa salah satu fungsi BPD yaitu melakukan pengawasan terhadap kinerja kepala desa (Pasal 55 c). Selain sebagai pembuat undang-undang (legislatif) pada level desa, BPD juga merupakan badan yang mendapat kepercayaan masyarakat untuk mengontrol kinerja kepala desa supaya bisa maksimal dan terarah. Hal ini merupakan bentuk pengawasan politik sekaligus pembatasan kekuasaan monolitik di tangan kepala desa.
Jika BPD berperan secara maksimal, dampak dan pengaruh yang ditimbulkan dari lahirnya BPD sangatlah besar. Yang paling nyata yaitu berlangsungnya pergeseran kekuatan politik, sehingga dinamika politik desa tidak lagi berpusat pada kepala desa. Fungsi legislasi, kontrol dan penggalangan aspirasi yang dimiliki BPD dapat menggeser posisi dan fungsi politik kepala desa. Akibatnya, di desa tidak lagi terjadi tarik-menarik politik yang syarat muatan dan kepentingan. Secara ideal, BPD sanggup membawa cakrawala baru dalam pemerintahan desa serta merubah dinamika sosial dan politik desa yang sebelumnya cenderung sentralistis dan mengabaikan mekanisme checks and balances.
Selain BPD, fungsi kontrol juga harus dijalankan oleh pendamping desa yang memiliki wewenang untuk mengawasi penggunaan dana desa. Salah satu tujuan dibentuknya pendamping desa adalah agar dana desa yang dicairkan di setiap desa tersalurkan dengan baik. Mereka mendapat mandat untuk membimbing pemerintah desa dalam mengelola dana desa secara akuntabel dan transparan. Digelontorkannya dana desa terutama dalam rangka memperbaiki infrastruktur desa, semisal jalan, jembatan, gorong-gorong, irigasi, dan lain-lain. Jangan sampai pemanfaatan dana desa terbukti menyalahi prosedur. Rupiah yang digelontorkan dari pemerintah pusat tidak boleh menjadi “bancakan” bagi tokoh-tokoh lokal.

Yogyakarta, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar