Tanggal 18 Desember 1995 pemerintah
meresmikan monumen Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor dalam silang sengkarut
dengan kegigihan Jepang yang berhasrat menancapkan kolonialisme. Saat Indonesia
mampu melepaskan diri dari cengkeraman Belanda, kehadiran Jepang membawa
harapan baru rakyat jelata yang membayangkan bahan makanan mudah diperoleh.
Sebab sebelum perang, toko-toko
Jepang menyediakan aneka macam kebutuhan hidup dengan harga terjangkau. Dalam
kenyataan, harapan ini hanyalah isapan jempol. Masuknya Jepang justru membawa
penderitaan rakyat. Makanan sangat sulit didapat.
Di tengah kesengsaraan, para
pemimpin justru membebani rakyat. Mereka menganjurkan lelaki dewasa untuk
bergabung menjadi romusa dan bekerja
dalam kamp-kamp militer tanpa upah. Dengan berat hati mereka meninggalkan
keluarga dikirim ke Sumatera, Burma, Singapura, Saigon, dan Siam. Terkadang. Romusa terpaksa melupakan tanah
kelahiran, mati di tengah perjalanan. Di beberapa kawasan tambang batubara di
Sibayah, Banten Selatan dan Malingping, ribuan romusa kehilangan nyawa saat membangun jalan kereta api. Mereka
yang beruntung kembali ke desa dalam kondisi mengenaskan.
Situasi demikian kurang disadari
para pemimpin. Mereka justru lebih intens mengarahkan rakyat untuk mengabdikan
diri sebagai romusa. Padahal, dalam
kerja dan latihan militer terkandung kepentingan kolonialisme. Bala tentara Dai
Nippon mengincar pemuda desa untuk menyukseskan program-programnya.
Mereka berharap, doktrin mudah
ditancapkan di kepala orang-orang desa yang kurang kritis. Kaum intelektual dan
orang-orang kota yang menerima pendidikan barat sengaja dijauhkan dari romusa. Maka, banyak desa kekurangan
tenaga kerja, terutama lelaki.
Korps Militer
Sejak pengujung 1942, Jepang
memupuk optimisme terhadap generasi muda perdesaan. Mereka percaya, energi
orang-orang desa bisa dimanfaatkan membantu memperkuat pertahanan Jepang dan
melancarkan resistensi Sekutu. Atas dasar inilah, Jepang membentuk seinendan,
organisasi pemuda-pemuda desa yang mengagendakan militerisme dan menyelipkan
propaganda (sendenbu). Korps ini
memiliki sejumlah cabang di desa-desa besar.
Beberapa orang yang menerima
pendidikan khusus di Jakarta memperoleh tugas membisikkan semangat Nippon no Seishin. Jepang yakin
dibanding masyarakat lain, pemuda-pemuda desa lebih semangat melawan luar
biasa. Ada juga keibodan, organisasi
beranggotakan para pemuda bersenjata bedil kayu dan bambu runcing dengan misi
utama menjaga keselamatan desa (Muljana, 2008: 12).
Hampir di setiap desa dibentuk satu
peleton keibodan di bawah pimpinan
kepolisian. Mengenai seinendan dan keibodan, banyak istri para pejabat turun
ke desa menyadarkan kaum ibu agar merelakan anak gabung dua korps ini.
Pada tahun 1943, Jepang menyetujui
pembentukan Peta yang berdasar surat Raden Gatot Mangkoepradja kepada Gunseikan
(kepala pemerintahan militer Jepang) guna membantu Jepang di medan perang.
Putra-putra Indonesia yang bergabung dipersenjatai senapan. Para prajurit
Jepang melatih tentara Peta.
Para pemimpin nasional membekali
pendidikan politik. Korps perwira ini selalu diindoktrinasi gagasan
nasionalisme Indonesia. Pembentukan Peta
untuk gerilya melawan serbuan Sekutu. Latihan kemiliteran Peta diadakan
di desa sehingga melihat langsung penderitaan rakyat. Jepang begitu kejam
memperlakukan romusa-romusa. Tentara
Peta direkrut dari pejabat, guru, kiai, dan bekas KNIL. Pengetahuan praktis
teritorial Peta meliputi cara mendekati pamong desa dan penduduk guna
memperoleh bantuan penuh rakyat.
Hal ini menandakan, warga desa mendapat perhatian dalam upaya membentuk
pertahanan yang kuat. Motivasi penduduk desa mampu menyemangati tentara Peta.
Banyak pemuda mendaftarkan diri menjadi anggota Peta, terutama mantan
Seinendan. Meskipun semula dari persetujuan Jepang, dalam kenyataannya, Peta
justru melancarkan pemberontakan di berbagai tempat. Hal ini semakin melemahkan
kekuatan Jepang.
Pemuda Desa
Desa merupakan tulang punggung
seinendan dan keibodan. Jepang percaya pemuda desa untuk menunjukkan kegigihan
berjuang. Mereka memiliki fisik kuat, tak kenal lelah, dan pemberani. Jumlahnya
melimpah. Dengan demikian, pemuda desa memegang peran penting melancarkan
kepentingan Jepang terhadap Indonesia. Jepang memanfaatkan pemuda sebagai
sasaran utama propaganda.
Para pemuda didik militer guna
meningkatkan kedisiplinan, semangat juang, dan jiwa ksatria. Meskipun lebih
bercorak negatif karena berorientasi pada ideologi imperialisme, ini menunjukkan warga desa mampu eksis.
Mereka penopang utama kedigdayaan negara.
Kedekatan emosional dengan warga
desa juga ditunjukkan anggota Peta. Ini menunjukkan, desa memiliki posisi istimewa dalam arah
perjuangan Peta. Fakta ini juga membuktikan, desa berfungsi sebagai ujung
tombak perjuangan rakyat. Urgensi desa dalam memperkuat pertahanan bangsa mesti
dibidik dalam konteks sekarang. Upaya mempertahankan kedaulatan negara harus
melibatkan desa.
Program-program pemerintah desa
selayaknya memberdayakan generasi muda. Kepala desa beserta perangkat harus
percaya kekuatan pemuda. Kekuatan pertahanan bisa ditopang para pemuda desa.
Dalam bingkai inilah, konektivitas program-program pemerintah desa dan pusat
menentukan. Belum lama ini, Kementerian Pertahanan menginisiasi program bela
negara.
Negara berencana merekrut 100 juta
kader untuk memperkuat wawasan kebangsaan
dan memperkuat negara. Dalam rangka merevitalisasi patriotisme Peta
inilah, pemuda desa dapat diberdayakan. Sejak dini, mereka diarahkan untuk
senantiasa menyukseskan program bela negara.
Diharapkan dari program ini lahir
kader-kader militan yang siap melindungi negara dari segala ancaman dan bahaya.
Program bela negara memang sangat dibutuhkan. Belakangan, kasus-kasus kekerasan
di berbagai daerah menunjukkan, masyarakat belum sepenuhnya paham mengenai
konsep, prinsip, dan nilai-nilai nasionalisme. Akibat pemahaman yang masih
dangkal inilah, masyarakat kerap terpancing aksi provokator pemecah-belah
persatuan.
Belum lagi isu-isu sensitif berbau
SARA yang sengaja diterbangkan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Jika
tidak disikapi secara kritis, ini dapat menyebabkan munculnya dendam sosial dan
kultural antarwarga. Padahal, sebenarnya di balik ulah provokator tersebut,
sejumlah oknum hanya ingin memetik beragam keuntungan baik politis, sosial,
maupun finansial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar