Selasa, 20 Desember 2016

Peta dan Bela Negara (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Selasa, 20 Desember 2016)


Tanggal 18 Desember 1995 pemerintah meresmikan monumen Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor dalam silang sengkarut dengan kegigihan Jepang yang berhasrat menancapkan kolonialisme. Saat Indonesia mampu melepaskan diri dari cengkeraman Belanda, kehadiran Jepang membawa harapan baru rakyat jelata yang membayangkan bahan makanan mudah diperoleh.
Sebab sebelum perang, toko-toko Jepang menyediakan aneka macam kebutuhan hidup dengan harga terjangkau. Dalam kenyataan, harapan ini hanyalah isapan jempol. Masuknya Jepang justru membawa penderitaan rakyat. Makanan sangat sulit didapat.
Di tengah kesengsaraan, para pemimpin justru membebani rakyat. Mereka menganjurkan lelaki dewasa untuk bergabung menjadi romusa dan bekerja dalam kamp-kamp militer tanpa upah. Dengan berat hati mereka meninggalkan keluarga dikirim ke Sumatera, Burma, Singapura, Saigon, dan Siam. Terkadang. Romusa terpaksa melupakan tanah kelahiran, mati di tengah perjalanan. Di beberapa kawasan tambang batubara di Sibayah, Banten Selatan dan Malingping, ribuan romusa kehilangan nyawa saat membangun jalan kereta api. Mereka yang beruntung kembali ke desa dalam kondisi mengenaskan.
Situasi demikian kurang disadari para pemimpin. Mereka justru lebih intens mengarahkan rakyat untuk mengabdikan diri sebagai romusa. Padahal, dalam kerja dan latihan militer terkandung kepentingan kolonialisme. Bala tentara Dai Nippon mengincar pemuda desa untuk menyukseskan program-programnya.
Mereka berharap, doktrin mudah ditancapkan di kepala orang-orang desa yang kurang kritis. Kaum intelektual dan orang-orang kota yang menerima pendidikan barat sengaja dijauhkan dari romusa. Maka, banyak desa kekurangan tenaga kerja, terutama lelaki.

Korps Militer
Sejak pengujung 1942, Jepang memupuk optimisme terhadap generasi muda perdesaan. Mereka percaya, energi orang-orang desa bisa dimanfaatkan membantu memperkuat pertahanan Jepang dan melancarkan resistensi Sekutu. Atas dasar inilah, Jepang membentuk seinendan, organisasi pemuda-pemuda desa yang mengagendakan militerisme dan menyelipkan propaganda (sendenbu). Korps ini memiliki sejumlah cabang di desa-desa besar.
Beberapa orang yang menerima pendidikan khusus di Jakarta memperoleh tugas membisikkan semangat Nippon no Seishin. Jepang yakin dibanding masyarakat lain, pemuda-pemuda desa lebih semangat melawan luar biasa. Ada juga keibodan, organisasi beranggotakan para pemuda bersenjata bedil kayu dan bambu runcing dengan misi utama menjaga keselamatan desa (Muljana, 2008: 12).
Hampir di setiap desa dibentuk satu peleton keibodan di bawah pimpinan kepolisian. Mengenai seinendan dan keibodan, banyak istri para pejabat turun ke desa menyadarkan kaum ibu agar merelakan anak gabung dua korps ini.
Pada tahun 1943, Jepang menyetujui pembentukan Peta yang berdasar surat Raden Gatot Mangkoepradja kepada Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang) guna membantu Jepang di medan perang. Putra-putra Indonesia yang bergabung dipersenjatai senapan. Para prajurit Jepang melatih tentara Peta.
Para pemimpin nasional membekali pendidikan politik. Korps perwira ini selalu diindoktrinasi gagasan nasionalisme Indonesia. Pembentukan Peta  untuk gerilya melawan serbuan Sekutu. Latihan kemiliteran Peta diadakan di desa sehingga melihat langsung penderitaan rakyat. Jepang begitu kejam memperlakukan romusa-romusa. Tentara Peta direkrut dari pejabat, guru, kiai, dan bekas KNIL. Pengetahuan praktis teritorial Peta meliputi cara mendekati pamong desa dan penduduk guna memperoleh bantuan penuh rakyat.
Hal ini menandakan, warga  desa mendapat perhatian dalam upaya membentuk pertahanan yang kuat. Motivasi penduduk desa mampu menyemangati tentara Peta. Banyak pemuda mendaftarkan diri menjadi anggota Peta, terutama mantan Seinendan. Meskipun semula dari persetujuan Jepang, dalam kenyataannya, Peta justru melancarkan pemberontakan di berbagai tempat. Hal ini semakin melemahkan kekuatan Jepang.

Pemuda Desa
Desa merupakan tulang punggung seinendan dan keibodan. Jepang percaya pemuda desa untuk menunjukkan kegigihan berjuang. Mereka memiliki fisik kuat, tak kenal lelah, dan pemberani. Jumlahnya melimpah. Dengan demikian, pemuda desa memegang peran penting melancarkan kepentingan Jepang terhadap Indonesia. Jepang memanfaatkan pemuda sebagai sasaran utama propaganda.
Para pemuda didik militer guna meningkatkan kedisiplinan, semangat juang, dan jiwa ksatria. Meskipun lebih bercorak negatif karena berorientasi pada ideologi imperialisme,  ini menunjukkan warga desa mampu eksis. Mereka penopang utama kedigdayaan negara.
Kedekatan emosional dengan warga desa juga ditunjukkan anggota Peta. Ini menunjukkan,  desa memiliki posisi istimewa dalam arah perjuangan Peta. Fakta ini juga membuktikan, desa berfungsi sebagai ujung tombak perjuangan rakyat. Urgensi desa dalam memperkuat pertahanan bangsa mesti dibidik dalam konteks sekarang. Upaya mempertahankan kedaulatan negara harus melibatkan desa.
Program-program pemerintah desa selayaknya memberdayakan generasi muda. Kepala desa beserta perangkat harus percaya kekuatan pemuda. Kekuatan pertahanan bisa ditopang para pemuda desa. Dalam bingkai inilah, konektivitas program-program pemerintah desa dan pusat menentukan. Belum lama ini, Kementerian Pertahanan menginisiasi program bela negara.
Negara berencana merekrut 100 juta kader untuk memperkuat wawasan kebangsaan  dan memperkuat negara. Dalam rangka merevitalisasi patriotisme Peta inilah, pemuda desa dapat diberdayakan. Sejak dini, mereka diarahkan untuk senantiasa menyukseskan program bela negara.
Diharapkan dari program ini lahir kader-kader militan yang siap melindungi negara dari segala ancaman dan bahaya. Program bela negara memang sangat dibutuhkan. Belakangan, kasus-kasus kekerasan di berbagai daerah menunjukkan, masyarakat belum sepenuhnya paham mengenai konsep, prinsip, dan nilai-nilai nasionalisme. Akibat pemahaman yang masih dangkal inilah, masyarakat kerap terpancing aksi provokator pemecah-belah persatuan.
Belum lagi isu-isu sensitif berbau SARA yang sengaja diterbangkan oleh mereka yang tidak bertanggung jawab. Jika tidak disikapi secara kritis, ini dapat menyebabkan munculnya dendam sosial dan kultural antarwarga. Padahal, sebenarnya di balik ulah provokator tersebut, sejumlah oknum hanya ingin memetik beragam keuntungan baik politis, sosial, maupun finansial.

Bojonegoro, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar