Hajatan demokrasi di wilayah
perdesaan selalu menarik perhatian kalangan akademisi dan peneliti. Dinamika
politik lokal menyajikan keunikan yang tidak mungkin ditemukan dalam panggung
politik nasional. Salah satu keunikannya yaitu kepercayaan masyarakat Jawa
terhadap pulung.
Ada kepercayaan, sebelum
menjalankan titah, pemimpin desa memperoleh seberkas cahaya biru dari langit
yang meluncur ke samping atau mengenai rumahnya. Oleh masyarakat desa, cahaya
ini disebut pulung. Kepercayaan
tradisional menempatkan pulung
sebagai “alarm” seseorang mengantongi anugerah sekaligus amanat. Kemenangan
dalam Pilkades di antaranya dapat dilihat dari tanda-tanda siapa yang direstui pulung. Itulah mengapa, Darmaningtiyas
(2002: 433) dalam penelitiannya di desa-desa Kulonprogo mengungkap bahwa kepala
desa merupakan “jabatan pulung”.
Pulung seolah
menyimpan kekuatan gaib yang mengantarkan seseorang menduduki kursi kekuasaan.
Dalam perspektif agama, ia ibarat wahyu yang dengannya seseorang menjalankan
misi kenabian. Tak heran jika orang-orang Jawa dengan corak pandang konservatif
melekatkan kemuliaan pada pulung.
Bagaimanapun, ia identik dengan “stempel” atas kepemimpinan seseorang dalam
suatu komunitas.
Kontradiksi
Pesta demokrasi di desa kerap
diwarnai dengan kasak-kusuk tentang siapa yang menerima pulung. Penilaian publik mengenai kelayakan seseorang memimpin
tidak berangkat dari kejujuran, transparansi, serta loyalitasnya pada
komunitas, melainkan “kepada siapa pulung
berpihak”. Kredibilitas seorang pemimpin diukur dengan dukungan gaib, bukan
prestasi, karakter, serta kerja kerasnya.
Fenomena ini dimanfaatkan oleh
sejumlah oknum untuk meraup keuntungan. Mereka sengaja menyebar desas-desus
bahwa salah seorang genap memperoleh pulung.
Harapannya, optimisme dan semangat pendukung calon kepala desa lain menurun.
Suasana batin dan psikologi tim sukses rentan terpengaruh oleh peristiwa
turunnya pulung dari atas. Pulung menghidangkan sesuatu yang
kontradiktif. Di satu sisi, ia menjanjikan keberuntungan bagi siapa yang
mendapatkannya. Di sisi lain, ia merupakan kabar buruk bagi calon kepala desa
lainnya.
Keyakinan ini merupakan warisan
budaya Hindu yang masih terpelihara: terdapat tanda-tanda tertentu sebelum
seseorang dikukuhkan menjadi pemimpin. Beberapa simbol dan lambang menandai
seseorang selaku “manusia terpilih”. Ini menjelaskan adanya hubungan antara
budaya politik dengan keyakinan manusia. Meskipun tidak dapat dicerna logika,
sebagian masyarakat Jawa meyakini keberadaan pulung yang berbau mistis.
Tabuh Kentongan
Mengenai keberadaan pulung, terdapat cerita menarik. Praktik
perdukunan dalam Pilkades di Desa Gelap, Lamongan, telah menyebabkan seseorang
menjadi gila. Ia terserang penyakit kejiwaan setelah mencuri tabuh kentongan milik keluarga calon
kepala desa. Ia nekat melakukan aksinya atas perintah paranormal dari kubu
pesaing. Hal ini bermaksud agar pulung
berpindah pada kelompoknya (Heru Cahyono, 2005: 213).
Fakta di atas menggambarkan bahwa untuk
menarik pulung, berbagai cara
ditempuh, termasuk mengorbankan warga. Kegilaan pada diri seseorang merupakan
risiko pencurian pulung. Orang
tersebut merupakan tumbal bagi calon penguasa. Ia genap merelakan diri menjadi
korban kebuasan elite lokal. Pada konteks inilah, ia dianggap begitu hina.
Namun, dalam taraf tertentu, perbuatannya dinilai suci lantaran menjadi sarana
orang yang ingin mengabdi pada masyarakat.
Dalam perilaku seperti ini,
tersimpan asumsi bahwa kejayaan bukan “turun dari langit”, melainkan atas jerih
payah manusia. Kejayaan yang dicapai manusia sebanding dengan ikhtiar dan
kerja. Demi meraih kemenangan, pengorbanan semacam ini harus dilakukan.
Bagaimanapun, jabatan kepala desa meniscayakan upaya sungguh-sungguh yang tidak
bisa dipandang sebelah mata.
Saat manusia semakin cerdas dan
kalkulatif, keyakinan terhadap pulung
semakin ditinggalkan. Kaum modernis mulai meragukan mitologi dan budaya yang
kurang rasional. Gejala mengkota pada wilayah perdesaan Jawa akhir-akhir ini
membuat masyarakat berpola pikir urban. Mereka cenderung berpikir
logis-praktis. Mereka berpandangan, terpilihnya seseorang menjadi kepala desa
berkat kepiawaiannya mengundang simpati. Suksesnya seseorang meraup suara dalam
Pilkades tergantung seberapa hebat strateginya dalam mendekati warga, baik
dengan materi, kewibawaan, maupun modal sosial. Kampanye dianggap sebagai modal
besar dalam meraih kemenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar