Jumat, 09 Desember 2016

Raibnya Identitas Kampung (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jateng" edisi Kamis, 8 Desember 2016)


Ekspansi pembangunan hotel dan perluasan tempat parkir mal melahap kampung asli di Kota Semarang, Jawa Tengah. Sebagian Kampung Sekayu, Kampung Jayengan, serta Kampung Basahan yang berada di pusat kota hilang. Pudarnya ciri-ciri kampung di kota metropolitan terbesar ke lima di Indonesia tersebut tidak hanya ditemukan belakangan. Dalam catatan sejarah, Kampung Mijen sebagai sentra pembuatan anyaman genap tergusur oleh swalayan besar pada 1984. Ini berarti ada langkah sistematis pihak-pihak tertentu yang berusaha keras mengubur kampung. Proses ini berimplikasi serius bagi wajah kampung sekaligus membuat identitas orang-orang yang bermukim di dalamnya merosot drastis.
Globalisasi dan modernisasi selalu melancarkan tekanan dan ancaman pada kampung. Eksotisme kampung-kampung Kota Semarang yang salah satunya ditandai dengan limasan berbahan kayu jati terkikis oleh waktu. Kelembagaan kampung melemah seiring dengan berkembangnya pemikiran manusia. Struktur sosial kampung mengalami perubahan akibat faktor-faktor internal maupun eksternal, sejak masa kerajaan, era kolonial, Orde Lama, Orde Baru, reformasi, dan pasca reformasi.
Fenomena ini diperparah dengan arogansi pemerintah, pengembang, dan kaum pemodal yang menihilkan keistimewaan kampung. Dengan dalih “pembangunan”, mereka nekat merombak tampilan kampung supaya lebih elegan dan eksklusif. Local wisdom dikorbankan demi terlaksananya proyek dan berdirinya pusat-pusat bisnis. Tak heran jika ciri kampung asli Kota Semarang dengan rumah berkarakter unik semakin jarang ditemukan.
Padahal, tindakan semena-mena di atas cenderung egoistis dan bertolak belakang dengan hakikat kampung. Guinnes (dalam Gerry Klinken dan Ward Berenschot, 2016: 86) mengungkap bahwa kampung adalah kantong urban yang digunakan sebagai rumah kelas bawah Jawa. Mereka mengantongi label wong cilik yang berseberangan dengan penghuni yang lebih mapan dan berdompet tebal.  
Hilangnya kampung juga berarti hilangnya peradaban. Apa yang disajikan oleh kampung memuat filosofi mendalam tentang kehidupan. Kampung memiliki makna sosiologis sebagai suatu tempat berinteraksinya individu. Para anggota di dalamnya terjalin oleh ikatan kekeluargaan dan persaudaraan. Warga kampung jauh dari kesan individualis dan materialistis. Bila sebagian terbelit kesulitan dan kesusahan, merupakan hal lumrah bagi yang lain untuk saling membantu dan menolong. Betapa jaringan “balas budi” genap terbentuk di antara mereka.
Berbeda dengan penduduk kota lainnya yang cenderung egosentris, individualisme tidak ditemukan dalam corak kehidupan warga kampung. Sebaliknya, kolektivisme mendasari aktivitas mereka sehari-hari. Mereka berusaha menghargai makna kebersamaan dan menjunjung tinggi tanggung jawab komunal. Prinsip kerukunan selalu mereka utamakan melebihi segalanya. Ada dorongan kuat untuk selalu memberikan bantuan dan pertolongan kepada sesama. Di antara mereka terdapat ikatan sosial dan solidaritas yang begitu kental.
Mereka seakan tidak membedakan mana teman, saudara, dan tetangga. Kategori dan pemilahan hanya akan menimbulkan perbedaan respons. Jika ada yang membutuhkan, mereka tentu membantunya setulus hati. Sikap, perilaku, serta perbuatan mereka jauh dari kesan pamrih dan jumawa. Upaya mengurus kepentingan orang lain merupakan bentuk kepedulian terhadap nasib sesama. Mereka seolah mengantongi amanat untuk berbagi kebahagiaan sekaligus penderitaan. Dalam diri mereka terdapat kesadaran untuk memerhatikan urusan di luar urusannya sendiri. Mereka dibekali dengan kepekaan yang luar biasa terhadap lingkungan. Apa yang terjadi di sekitarnya senantiasa mendapat perhatian.
Dalam kehidupan warga kampung, ada konsensus tak tertulis bahwa ketika memperoleh uluran tangan, mereka wajib membalasnya. Tuntutan ini biasanya membuat mereka merasa kurang nyaman. Sampai-sampai muncul rasa bersalah jika belum ‘mengembalikan’ kebaikan yang telah diterima. Dalam beberapa situasi, mereka bahkan ingin membalasnya dengan lebih baik. Ketika yang terakhir berhasil dilakukan, ada kebahagiaan dan kepuasan tak terkira. Capaian keberhasilan warga kampung bukan didasarkan pada seberapa banyak harta dikumpulkan, melainkan seberapa besar manfaat disebarkan. Konsensus ini berjalan selama berabad-abad dan lintas generasi, di mana sesepuh atau golongan tua senantiasa mewariskannya kepada kaum muda. Itulah mengapa tradisi ‘membalas kebaikan’ kerap ditemukan dalam komunitas kampung. Sejak kecil, warga kampung dibesarkan dengan sikap mengutamakan kebaikan daripada memperoleh keuntungan. Dalam diri mereka terdapat kesadaran bahwa kekayaan spiritual melampaui capaian material. Bila demikian, apakah kita rela kampung-kampung di negeri ini perlahan raib ditelan bumi?

Yogyakarta, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar