Ekspansi pembangunan
hotel dan perluasan tempat parkir mal melahap kampung asli di Kota Semarang,
Jawa Tengah. Sebagian Kampung Sekayu, Kampung Jayengan, serta Kampung Basahan yang
berada di pusat kota hilang. Pudarnya ciri-ciri kampung di kota metropolitan
terbesar ke lima di Indonesia tersebut tidak hanya ditemukan belakangan. Dalam catatan
sejarah, Kampung Mijen sebagai sentra pembuatan anyaman genap tergusur oleh swalayan
besar pada 1984. Ini berarti ada langkah sistematis pihak-pihak tertentu yang
berusaha keras mengubur kampung. Proses ini berimplikasi serius bagi wajah
kampung sekaligus membuat identitas orang-orang yang bermukim di dalamnya merosot
drastis.
Globalisasi dan
modernisasi selalu melancarkan tekanan dan ancaman pada kampung. Eksotisme
kampung-kampung Kota Semarang yang salah satunya ditandai dengan limasan
berbahan kayu jati terkikis oleh waktu. Kelembagaan kampung melemah seiring dengan
berkembangnya pemikiran manusia. Struktur sosial kampung mengalami perubahan
akibat faktor-faktor internal maupun eksternal, sejak masa kerajaan, era kolonial,
Orde Lama, Orde Baru, reformasi, dan pasca reformasi.
Fenomena ini diperparah
dengan arogansi pemerintah, pengembang, dan kaum pemodal yang menihilkan
keistimewaan kampung. Dengan dalih “pembangunan”, mereka nekat merombak
tampilan kampung supaya lebih elegan dan eksklusif. Local wisdom dikorbankan demi terlaksananya proyek dan berdirinya
pusat-pusat bisnis. Tak heran jika ciri kampung asli Kota Semarang dengan rumah
berkarakter unik semakin jarang ditemukan.
Padahal, tindakan
semena-mena di atas cenderung egoistis dan bertolak belakang dengan hakikat
kampung. Guinnes (dalam Gerry Klinken dan Ward Berenschot, 2016: 86) mengungkap
bahwa kampung adalah kantong urban yang digunakan sebagai rumah kelas bawah
Jawa. Mereka mengantongi label wong cilik
yang berseberangan dengan penghuni yang lebih mapan dan berdompet tebal.
Hilangnya kampung juga
berarti hilangnya peradaban. Apa yang disajikan oleh kampung memuat filosofi
mendalam tentang kehidupan. Kampung memiliki makna sosiologis sebagai suatu
tempat berinteraksinya individu. Para anggota di dalamnya terjalin oleh ikatan
kekeluargaan dan persaudaraan. Warga kampung jauh dari kesan individualis dan
materialistis. Bila sebagian terbelit kesulitan dan kesusahan, merupakan hal
lumrah bagi yang lain untuk saling membantu dan menolong. Betapa jaringan
“balas budi” genap terbentuk di antara mereka.
Berbeda dengan penduduk
kota lainnya yang cenderung egosentris, individualisme tidak ditemukan dalam
corak kehidupan warga kampung. Sebaliknya, kolektivisme mendasari aktivitas mereka
sehari-hari. Mereka berusaha menghargai makna kebersamaan dan menjunjung tinggi
tanggung jawab komunal. Prinsip kerukunan selalu mereka utamakan melebihi
segalanya. Ada dorongan kuat untuk selalu memberikan bantuan dan pertolongan
kepada sesama. Di antara mereka terdapat ikatan sosial dan solidaritas yang
begitu kental.
Mereka seakan tidak
membedakan mana teman, saudara, dan tetangga. Kategori dan pemilahan hanya akan
menimbulkan perbedaan respons. Jika ada yang membutuhkan, mereka tentu
membantunya setulus hati. Sikap, perilaku, serta perbuatan mereka jauh dari
kesan pamrih dan jumawa. Upaya mengurus kepentingan orang lain merupakan bentuk
kepedulian terhadap nasib sesama. Mereka seolah mengantongi amanat untuk
berbagi kebahagiaan sekaligus penderitaan. Dalam diri mereka terdapat kesadaran
untuk memerhatikan urusan di luar urusannya sendiri. Mereka dibekali dengan
kepekaan yang luar biasa terhadap lingkungan. Apa yang terjadi di sekitarnya
senantiasa mendapat perhatian.
Dalam kehidupan warga
kampung, ada konsensus tak tertulis bahwa ketika memperoleh uluran tangan,
mereka wajib membalasnya. Tuntutan ini biasanya membuat mereka merasa kurang
nyaman. Sampai-sampai muncul rasa bersalah jika belum ‘mengembalikan’ kebaikan
yang telah diterima. Dalam beberapa situasi, mereka bahkan ingin membalasnya
dengan lebih baik. Ketika yang terakhir berhasil dilakukan, ada kebahagiaan dan
kepuasan tak terkira. Capaian keberhasilan warga kampung bukan didasarkan pada
seberapa banyak harta dikumpulkan, melainkan seberapa besar manfaat disebarkan.
Konsensus ini berjalan selama berabad-abad dan lintas generasi, di mana sesepuh
atau golongan tua senantiasa mewariskannya kepada kaum muda. Itulah mengapa
tradisi ‘membalas kebaikan’ kerap ditemukan dalam komunitas kampung. Sejak
kecil, warga kampung dibesarkan dengan sikap mengutamakan kebaikan daripada
memperoleh keuntungan. Dalam diri mereka terdapat kesadaran bahwa kekayaan
spiritual melampaui capaian material. Bila demikian, apakah kita rela
kampung-kampung di negeri ini perlahan raib ditelan bumi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar