Di wilayah perkotaan, gejala
intoleransi beragama saat ini begitu nampak. Munculnya beberapa kasus seolah
menggambarkan pada dunia bahwa negeri ini membenci pluralitas. Padahal,
Pancasila genap dikukuhkan sebagai dasar negara. Perbedaan keyakinan merupakan
hal yang wajar, sehingga tidak perlu dipersoalkan.
Fakta ini menunjukkan
sulitnya masyarakat urban mewujudkan kerukunan umat beragama. Ada sinisme dan
apatisme terhadap siapa saja yang menganut kepercayaan berbeda. Atas dasar
inilah, mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (Pansus RUU) Desa,
Budiman Sudjatmiko, mengajak masyarakat urban belajar kerukunan beragama dari
desa. Ia menilai, pola keberagamaan di banyak perdesaan Indonesia begitu
toleran sehingga jarang terjadi konflik. Keberadaan desa merupakan modal besar
dalam upaya mengokohkan pilar-pilar toleransi.
Orang desa benar-benar menjunjung
tinggi harmonisme dan gotong-royong. Betapa demokrasi lokal dan interaksi
sosial tercipta karena sikap saling menghormati dan menghargai. Saat
menjalankan ibadah, orang desa jauh dari gejala fanatisme. Militansi keagamaan
yang bercorak magis, teologis, dan ideologis tidak mencinderai hubungan antar
umat beragama. Meskipun berbeda keyakinan, mereka tetap mengutamakan keselarasan.
Dalam dunia orang desa terdapat way of
life yang mesti dipatuhi bersama.
Memang masih muncul kasus-kasus
kekerasan di sejumlah desa. Akan tetapi, warga desa dapat menahan diri dari
sikap reaktif-emosional. Mereka berusaha meredam ego masing-masing dengan menjunjung
tinggi kepentingan publik. Setelah lahir konsensus dan mediasi, mereka hidup
secara berdampingan. Mereka senantiasa memegang prinsip kerukunan yang genap dikukuhkan
para leluhur selama berabad-abad silam.
Kultur Agraris
Boleh jadi merebaknya kasus
intoleransi beragama dikarenakan generasi masa kini mulai meninggalkan tradisi
bertani. Bidang pertanian hanya ditekuni oleh mereka yang sudah ‘bau tanah’. Padahal,
dalam proses pengolahan tanah tersimpan unsur sosiologi. Hubungan kerja antarpetani
tidak hanya bertujuan mencari keuntungan materi, namun juga mengukuhkan
nilai-nilai humanis. Pemenuhan kebutuhan hidup tidak lantas mengesampingkan
tanggung jawab sosial. Mereka memegang teguh apa yang disebut “hasrat
kolektif”.
Dengan bekerja bersama,
kolektivitas petani tetap terpelihara. Prinsip gotong-royong melandasi
aktivitas mereka. Di sela-sela mencangkul tanah, menanam jagung, menyebar
pupuk, dan memanen padi, mereka berusaha menjalin komunikasi. Keintiman,
kedekatan, serta keakraban lahir dari suasana informal. Mereka tidak memerlukan
situasi resmi demi mengekalkan jalinan persahabatan dan kekerabatan. Betapa
kultur pedesaan yang halus merupakan imbas dari corak kehidupan pertanian.
Berbeda dengan nuansa kota-kota di
Indonesia yang terkesan arogan, keras, dan kasar. Pengaruh
budaya global menyebabkan kota cenderung individual. Akibatnya, di samping
melahirkan perilaku ‘menang sendiri’, kultur urban juga membentuk kepribadian yang
sukar diatur. Munculnya kasus-kasus kekerasan dan penistaan agama dipicu oleh
merangseknya budaya urban dalam psikologi masyarakat. Inilah yang perlu
disayangkan. Dengan corak masyarakat plural dan heterogen, yang memuat sejumlah
unsur kehidupan sekaligus, seharusnya kota menjadi tempat menimba makna perbedaan.
Atas dasar inilah, melalui
kurikulum pendidikan, generasi muda didorong untuk mewarisi kultur agraris. Konsep
nasionalisme dalam buku pelajaran dan modul perkuliahan harus mengalami redefinisi.
Bentuk kecintaan terhadap negara bisa diwujudkan dengan bermukim di tanah
kelahiran dan menggarap sawah yang menjadi warisan nenek moyang.
Ukuran kesuksesan masyarakat
Indonesia juga harus dirombak. Orang sukses adalah mereka yang mampu
memanfaatkan potensi desa. Hal ini mengingat bahwa kaum
terpelajar terjerumus oleh paradigma bahwa kebahagiaan dinilai dari kekayaan
materi dan hidup di kota. Kerja menjadi tujuan akhir studi serta indikator
utama pendidikan yang berhasil. Narasi pendidikan melihat bahwa mereka yang
sukses yaitu pekerja bergaji besar. Meskipun fakta membuktikan bahwa biaya
hidup di kota relatif lebih tinggi ketimbang di desa (Junaidi Abdul Munif,
2013).
Yang tidak kalah penting yaitu restorasi
sistem pertanian. Jika pola tradisional kurang menarik minat kawula muda, maka
unsur-unsur modern mesti dihadirkan. Di samping alat-alat pertanian harus friendly dan mudah digunakan, hasil
pertanian juga bisa ditawarkan melalui lapak penjualan online. Dengan demikian, selain bertani, para pemuda tetap dapat
berselancar di dunia maya sebagai ajang perburuan eksistensi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar