Sabtu, 17 Desember 2016

Desa dan Toleransi Agama (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara Merdeka" edisi Sabtu, 17 Desember 2016)


Di wilayah perkotaan, gejala intoleransi beragama saat ini begitu nampak. Munculnya beberapa kasus seolah menggambarkan pada dunia bahwa negeri ini membenci pluralitas. Padahal, Pancasila genap dikukuhkan sebagai dasar negara. Perbedaan keyakinan merupakan hal yang wajar, sehingga tidak perlu dipersoalkan.
Fakta ini menunjukkan sulitnya masyarakat urban mewujudkan kerukunan umat beragama. Ada sinisme dan apatisme terhadap siapa saja yang menganut kepercayaan berbeda. Atas dasar inilah, mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang (Pansus RUU) Desa, Budiman Sudjatmiko, mengajak masyarakat urban belajar kerukunan beragama dari desa. Ia menilai, pola keberagamaan di banyak perdesaan Indonesia begitu toleran sehingga jarang terjadi konflik. Keberadaan desa merupakan modal besar dalam upaya mengokohkan pilar-pilar toleransi.
Orang desa benar-benar menjunjung tinggi harmonisme dan gotong-royong. Betapa demokrasi lokal dan interaksi sosial tercipta karena sikap saling menghormati dan menghargai. Saat menjalankan ibadah, orang desa jauh dari gejala fanatisme. Militansi keagamaan yang bercorak magis, teologis, dan ideologis tidak mencinderai hubungan antar umat beragama. Meskipun berbeda keyakinan, mereka tetap mengutamakan keselarasan. Dalam dunia orang desa terdapat way of life yang mesti dipatuhi bersama.
Memang masih muncul kasus-kasus kekerasan di sejumlah desa. Akan tetapi, warga desa dapat menahan diri dari sikap reaktif-emosional. Mereka berusaha meredam ego masing-masing dengan menjunjung tinggi kepentingan publik. Setelah lahir konsensus dan mediasi, mereka hidup secara berdampingan. Mereka senantiasa memegang prinsip kerukunan yang genap dikukuhkan para leluhur selama berabad-abad silam.

Kultur Agraris
Boleh jadi merebaknya kasus intoleransi beragama dikarenakan generasi masa kini mulai meninggalkan tradisi bertani. Bidang pertanian hanya ditekuni oleh mereka yang sudah ‘bau tanah’. Padahal, dalam proses pengolahan tanah tersimpan unsur sosiologi. Hubungan kerja antarpetani tidak hanya bertujuan mencari keuntungan materi, namun juga mengukuhkan nilai-nilai humanis. Pemenuhan kebutuhan hidup tidak lantas mengesampingkan tanggung jawab sosial. Mereka memegang teguh apa yang disebut “hasrat kolektif”.
Dengan bekerja bersama, kolektivitas petani tetap terpelihara. Prinsip gotong-royong melandasi aktivitas mereka. Di sela-sela mencangkul tanah, menanam jagung, menyebar pupuk, dan memanen padi, mereka berusaha menjalin komunikasi. Keintiman, kedekatan, serta keakraban lahir dari suasana informal. Mereka tidak memerlukan situasi resmi demi mengekalkan jalinan persahabatan dan kekerabatan. Betapa kultur pedesaan yang halus merupakan imbas dari corak kehidupan pertanian.
Berbeda dengan nuansa kota-kota di Indonesia yang terkesan arogan, keras, dan kasar. Pengaruh budaya global menyebabkan kota cenderung individual. Akibatnya, di samping melahirkan perilaku ‘menang sendiri’, kultur urban juga membentuk kepribadian yang sukar diatur. Munculnya kasus-kasus kekerasan dan penistaan agama dipicu oleh merangseknya budaya urban dalam psikologi masyarakat. Inilah yang perlu disayangkan. Dengan corak masyarakat plural dan heterogen, yang memuat sejumlah unsur kehidupan sekaligus, seharusnya kota menjadi tempat menimba makna perbedaan.
Atas dasar inilah, melalui kurikulum pendidikan, generasi muda didorong untuk mewarisi kultur agraris. Konsep nasionalisme dalam buku pelajaran dan modul perkuliahan harus mengalami redefinisi. Bentuk kecintaan terhadap negara bisa diwujudkan dengan bermukim di tanah kelahiran dan menggarap sawah yang menjadi warisan nenek moyang.
Ukuran kesuksesan masyarakat Indonesia juga harus dirombak. Orang sukses adalah mereka yang mampu memanfaatkan potensi desa. Hal ini mengingat bahwa kaum terpelajar terjerumus oleh paradigma bahwa kebahagiaan dinilai dari kekayaan materi dan hidup di kota. Kerja menjadi tujuan akhir studi serta indikator utama pendidikan yang berhasil. Narasi pendidikan melihat bahwa mereka yang sukses yaitu pekerja bergaji besar. Meskipun fakta membuktikan bahwa biaya hidup di kota relatif lebih tinggi ketimbang di desa (Junaidi Abdul Munif, 2013).
Yang tidak kalah penting yaitu restorasi sistem pertanian. Jika pola tradisional kurang menarik minat kawula muda, maka unsur-unsur modern mesti dihadirkan. Di samping alat-alat pertanian harus friendly dan mudah digunakan, hasil pertanian juga bisa ditawarkan melalui lapak penjualan online. Dengan demikian, selain bertani, para pemuda tetap dapat berselancar di dunia maya sebagai ajang perburuan eksistensi.

Yogyakarta, 2016 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar