Berdasarkan lansiran tribunjogja.com (07/12), puluhan orang menggeruduk
Kantor Desa Tirtomulyo, Kretek. Mereka bermaksud menyoal hasil seleksi pamong
yang diterbitkan tim sembilan pada proses seleksi yang genap dilaksanakan
beberapa waktu lalu. Warga meyakini, hasil seleksi tersebut penuh keganjilan.
Terdapat indikasi bahwa tim sembilan selaku panitia serta pihak desa melakukan
kecurangan.
Di sinilah urgensi
partisipasi publik dalam pembangunan desa. Semua lapisan masyarakat mempunyai
hak yang sama dalam kehidupan desa. Salah satunya, mengetahui proses penjaringan
aparatur desa. Namun demikian, jangan sampai proses ini dicemari dengan aksi
provokasi. Beragam situasi dan tersebarnya desas-desus rentan membuat orang
bertindak kurang rasional. Oleh karena itulah, setiap orang dituntut berpikir
matang dan bijak sebelum berbuat.
Panitia dan pihak desa
juga dituntut lebih terbuka. Transparansi merupakan prinsip yang harus
dijunjung tinggi demi mencegah munculnya berbagai kecurigaan. Publik berhak
mengetahui informasi seputar seleksi pamong agar momentum tersebut berjalan
transparan, akuntabel, dan sesuai dengan prinsip-prinsip kejujuran.
Sesuai dengan logika
demokrasi, proses pemilihan aparatur desa melalui artikulasi, agregasi,
formulasi, dan konsultasi publik. Bagaimanapun, terpilihnya aparatur desa
diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Peran mereka turut menentukan
perjalanan nasib desa dan siapa saja yang bermukim di dalamnya. Maka,
orang-orang yang duduk dalam jajaran perangkat desa dituntut mampu memberikan
pelayanan terbaik. Apalagi, paradigma pamong sebagai birokrat lokal genap
mengalami perombakan. Terjadinya pergeseran corak pandang dan pola pikir
“dilayani” menjadi “melayani, menjadikan mereka selaku abdi masyarakat.
Di samping itu, pamong
memiliki fungsi “mengemong” yang lebih halus dan luas daripada “memerintah”.
Mengutip Bayu Suryaningrat (1985: 13), istilah “mengatur” yang mengandung arti
pembinaan ialah “mengemong”. Adapun orang atau lembaganya disebut pengemong
atau pamong. Itulah mengapa, pengatur atau pemerintah desa mengantongi julukan
pamong desa.
Manusia
Progresif
Demi membangun desa
yang maju dan berperadaban, dibutuhkan manusia-manusia progresif. Dalam konteks
inilah, perlunya progresivitas pamong. Mengingat, posisi dan keberadaan mereka
sangat urgen. Pamong menempati garda terdepan dalam upaya
mewujudkan prinsip-prinsip good
governance di desa.
Pamong atau tokoh
pemerintah desa, termasuk kepala desa, secara alamiah berpengaruh signifikan dalam
menentukan keputusan di tingkat desa. Posisi selaku pemerintah desa merupakan sumber
pengaruh mereka di hadapan masyarakat. Dibandingkan dengan kelompok lainnya, mereka
memperoleh informasi lebih awal dan lebih lengkap tentang proyek atau program
pembangunan yang masuk di desa (Tim Akatiga, 2010: 21)
Dengan misi yang futuristis, pamong
mesti mampu berpikir bahwa beragam bentuk pelayanan administratif ditujukan
bagi kepentingan manusia, dan bukan sebaliknya. Atas dasar inilah, jika
formalitas dianggap terlalu mengekang warga, bisa ditempuh langkah yang
memudahkan. Sebuah pelayanan mengutamakan tujuan akhir, bukan prosedur dan
persyaratan yang cenderung menyulitkan.
Untuk menjaring
manusia-manusia progresif, seleksi pamong semestinya terhindar dari isu rekrutmen
orang dekat. Gejala kongkalikong dan unsur nepotisme harus dihindari. Implementasi
pemerintahan desa tidak boleh berdasarkan prinsip saling menguntungkan. Dengan
demikian, dalam proses seleksi pamong desa Tirtomulyo, nilai-nilai
demokrasi selayaknya dijunjung tinggi.
Prinsip tradisional yang mendukung
pelembagaan kaum feodal sebaiknya mulai ditinggalkan. Sejak dulu kala,
feodalisme menuntut mereka yang berada dalam lingkup kekuasaan merupakan
orang-orang yang sejalan dengan keinginan penguasa. Sehingga, kehendak bersama
terbangun oleh harmoni, adapun kritik selayaknya dihindari. Dalam taraf
tertentu, prinsip tradisional rentan disusupi otoritarianisme.
Hal ini mengakibatkan terjadinya percampuran antara prinsip demokrasi dengan
oligarki. Sehingga, dalam diri elite lokal terjadi tarik-menarik antara
keinginan mengutamakan nilai-nilai komunal dan menyelipkan hasrat individual.
Yogyakarta, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar