Rabu, 14 Desember 2016

Progresivitas Pamong Desa (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jogja" edisi Rabu, 14 Desember 2016)



Berdasarkan lansiran tribunjogja.com (07/12), puluhan orang menggeruduk Kantor Desa Tirtomulyo, Kretek. Mereka bermaksud menyoal hasil seleksi pamong yang diterbitkan tim sembilan pada proses seleksi yang genap dilaksanakan beberapa waktu lalu. Warga meyakini, hasil seleksi tersebut penuh keganjilan. Terdapat indikasi bahwa tim sembilan selaku panitia serta pihak desa melakukan kecurangan.
Di sinilah urgensi partisipasi publik dalam pembangunan desa. Semua lapisan masyarakat mempunyai hak yang sama dalam kehidupan desa. Salah satunya, mengetahui proses penjaringan aparatur desa. Namun demikian, jangan sampai proses ini dicemari dengan aksi provokasi. Beragam situasi dan tersebarnya desas-desus rentan membuat orang bertindak kurang rasional. Oleh karena itulah, setiap orang dituntut berpikir matang dan bijak sebelum berbuat.
Panitia dan pihak desa juga dituntut lebih terbuka. Transparansi merupakan prinsip yang harus dijunjung tinggi demi mencegah munculnya berbagai kecurigaan. Publik berhak mengetahui informasi seputar seleksi pamong agar momentum tersebut berjalan transparan, akuntabel, dan sesuai dengan prinsip-prinsip kejujuran.
Sesuai dengan logika demokrasi, proses pemilihan aparatur desa melalui artikulasi, agregasi, formulasi, dan konsultasi publik. Bagaimanapun, terpilihnya aparatur desa diharapkan mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Peran mereka turut menentukan perjalanan nasib desa dan siapa saja yang bermukim di dalamnya. Maka, orang-orang yang duduk dalam jajaran perangkat desa dituntut mampu memberikan pelayanan terbaik. Apalagi, paradigma pamong sebagai birokrat lokal genap mengalami perombakan. Terjadinya pergeseran corak pandang dan pola pikir “dilayani” menjadi “melayani, menjadikan mereka selaku abdi masyarakat.
Di samping itu, pamong memiliki fungsi “mengemong” yang lebih halus dan luas daripada “memerintah”. Mengutip Bayu Suryaningrat (1985: 13), istilah “mengatur” yang mengandung arti pembinaan ialah “mengemong”. Adapun orang atau lembaganya disebut pengemong atau pamong. Itulah mengapa, pengatur atau pemerintah desa mengantongi julukan pamong desa.

Manusia Progresif
Demi membangun desa yang maju dan berperadaban, dibutuhkan manusia-manusia progresif. Dalam konteks inilah, perlunya progresivitas pamong. Mengingat, posisi dan keberadaan mereka sangat urgen. Pamong menempati garda terdepan dalam upaya mewujudkan prinsip-prinsip good governance di desa.
Pamong atau tokoh pemerintah desa, termasuk kepala desa, secara alamiah berpengaruh signifikan dalam menentukan keputusan di tingkat desa. Posisi selaku pemerintah desa merupakan sumber pengaruh mereka di hadapan masyarakat. Dibandingkan dengan kelompok lainnya, mereka memperoleh informasi lebih awal dan lebih lengkap tentang proyek atau program pembangunan yang masuk di desa (Tim Akatiga, 2010: 21)
Dengan misi yang futuristis, pamong mesti mampu berpikir bahwa beragam bentuk pelayanan administratif ditujukan bagi kepentingan manusia, dan bukan sebaliknya. Atas dasar inilah, jika formalitas dianggap terlalu mengekang warga, bisa ditempuh langkah yang memudahkan. Sebuah pelayanan mengutamakan tujuan akhir, bukan prosedur dan persyaratan yang cenderung menyulitkan.
Untuk menjaring manusia-manusia progresif, seleksi pamong semestinya terhindar dari isu rekrutmen orang dekat. Gejala kongkalikong dan unsur nepotisme harus dihindari. Implementasi pemerintahan desa tidak boleh berdasarkan prinsip saling menguntungkan. Dengan demikian, dalam proses seleksi pamong desa Tirtomulyo, nilai-nilai demokrasi selayaknya dijunjung tinggi.
Prinsip tradisional yang mendukung pelembagaan kaum feodal sebaiknya mulai ditinggalkan. Sejak dulu kala, feodalisme menuntut mereka yang berada dalam lingkup kekuasaan merupakan orang-orang yang sejalan dengan keinginan penguasa. Sehingga, kehendak bersama terbangun oleh harmoni, adapun kritik selayaknya dihindari. Dalam taraf tertentu, prinsip tradisional rentan disusupi otoritarianisme. Hal ini mengakibatkan terjadinya percampuran antara prinsip demokrasi dengan oligarki. Sehingga, dalam diri elite lokal terjadi tarik-menarik antara keinginan mengutamakan nilai-nilai komunal dan menyelipkan hasrat individual.

Yogyakarta, 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar