Belum lama ini, muncul penolakan
terhadap pendamping desa di sejumlah tempat. Ternyata penolakan ini memilah mereka
menjadi tiga. Pertama, para penjunjung tinggi idealisme yang memilih berhenti. Mereka
berprinsip bahwa lebih baik resign daripada bekerja nir-nurani.
Kedua, para pengagum pragmatisme
yang tetap bekerja meski kurang aktif dan produktif. Dengan kata lain, gaji
yang mereka terima dari negara kurang sebanding dengan prestasi. Kehadiran
mereka di desa hanya bermaksud “mengisi presensi” tanpa mengetahui lebih dalam tentang
perkembangan desa.
Ketiga, mereka yang berada di
antara kedua kelompok di atas. Sebab menyadari dalam posisi terjepit, kelompok
ini terpaksa mengundurkan diri. Gertakan dari beragam pihak membuat nyali
mereka menciut. Mereka tidak tahan dengan sikap perangkat desa yang terkesan
angkuh. Apalagi, mentalitas priayi genap membentuk diri kepala desa sulit
menerima kritik, saran, serta perubahan.
Sejarah mencatat bahwa selama
ratusan tahun kepala desa mempunyai strata sosial yang
tinggi. Tersebar asumsi publik bahwa kepala desa memerankan sosok pengayom dan
pelindung. Abdur Rozaki (2005: 181) menilai, anggapan ini menjadi faktor utama
mengapa kehidupan desa berjalan secara timpang. Relasi sosial-politik terhambat
oleh budaya ‘ewuh pakewuh’ dan patron-client.
Sikap Dingin
Kian maraknya penolakan terhadap
pendamping desa terutama disebabkan oleh kegelisahan kepala desa. Posisi mereka
tentu terancam, jika pendamping desa dibiarkan terus melenggang. Kemunculan
pendamping desa senantiasa meresahkan para pemegang teguh status quo
yang selama ini genap terbebani dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Berdasarkan peraturan
perundang-undangan, BPD diberi wewenang untuk mengadakan
kontrol terhadap pemerintahan desa, agar kinerja kepala desa beserta jajarannya
bisa terarah. Di satu sisi, BPD berperan besar dalam terwujudnya demokrasi
desa. Ruang kontrol dan keseimbangan kekuasaan di desa jadi lebih terbuka. Kepala
desa yang memiliki sense of legitimacy tentu
merasa diuntungkan dengan hadirnya BPD.
Di sisi lain, ternyata
BPD tidak memberikan sumbangan berarti terhadap pelembagaan demokrasi desa
secara maksimal. Timbul masalah baru, sebab lembaga perwakilan tersebut
menjalankan kewenangannya secara kebablasan. Tidak sedikit kepala desa yang
mengeluh dan melaporkan bahwa dirinya telah didzalimi. Mereka menganggap bahwa
BPD terlalu “menekan”, sehingga tak heran jika mereka menyebutnya dengan Badan
Provokasi Desa. Menurut kepala desa, BPD juga sering melakukan pelanggaran
terhadap batas-batas kekuasaan yang telah digariskan kepadanya (Ade Chandra,
2005: 230).
Untuk sementara, kegelisahan ini
mampu disikapi secara “dingin”. Kepala desa menganggap bahwa dibanding BPD
posisi pendamping desa kurang berpengaruh, meski keduanya sama-sama dibekali
tugas pengawasan (ketetapan legislasi menetapkan bahwa BPD berperan mengawasi jalannya
pemerintahan desa, sedangkan pendamping desa mengawasi penggunaan dana desa).
Lain halnya dengan BPD yang
terkesan sulit dijinakkan, pendamping desa cenderung rentan dikondisikan. Para
birokrat lokal menilai bahwa pendamping desa adalah “anak kemarin sore” yang minim
pengalaman. Mereka kurang memahami dinamika politik lokal. Jika BPD mampu
menunjukkan taringnya, maka pendamping desa ibarat macan ompong yang takut
bahkan terhadap mangsanya sendiri. Hal ini dikarenakan terbatasnya jumlah pendamping
desa.
Perlunya Harmonisme
Semestinya dibentuknya pendamping
desa adalah bertujuan agar dana desa yang dicairkan di setiap desa tersalurkan dengan
baik. Mereka mendapat mandat untuk membimbing pemerintah desa dalam mengelola
dana desa secara akuntabel dan transparan. Digelontorkannya dana desa terutama dalam
rangka memperbaiki sarana desa, semisal jalan, jembatan, gorong-gorong, irigasi,
dan lain-lain.
Akan tetapi, realitas berkata lain.
Pemanfaatan dana desa terbukti menyalahi prosedur. Rupiah yang digelontorkan
dari pemerintah pusat ternyata dijadikan “bancakan” bagi tokoh-tokoh lokal. Kasus-kasus
penyelewangan terjadi di beberapa tempat. Penggelembungan dana (mark up)
atas pembangunan desa sering kali ditemukan. Parahnya, berdiri sejumlah CV
dadakan yang dimanfaatkan sebagai kedok oknum yang ingin memperkaya diri.
Pendamping desa hanya menjadi “bulan-bulanan”
elit-elit desa. Mereka menjadi korban kekejaman aktor politik lokal. Mereka
adalah tumbal bagi pihak yang bernafsu mengekalkan kekuasaan dan gelimang
materi. Pemerintah desa merasa terganggu dengan kehadiran pendamping desa.
Mereka dianggap “perusuh” yang mengobrak-abrik tatanan. Siklus permainan
politik di tingkat lokal terancam buyar seiring dengan dukungan Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi atas eksistensi
pendamping desa.
Pendamping desa menghadapi dilema.
Di satu sisi, keberadaannya dibutuhkan pemerintah pusat dan masyarakat. Namun,
di sisi lain, mereka ditolak oleh perangkat desa. Dengan posisi ini, kinerja pendamping
desa bisa dipastikan kurang maksimal. Dalam menjalankan tugas, mereka dibayangi
oleh beragam intimidasi, baik fisik maupun psikologis. Bahkan, ketika menulis
laporan, kerap pemerintah desa mempersulit mereka dalam urusan administratif. Sikap
ini menyebabkan pendamping desa menyimpan dendam terhadap elit-elit lokal,
khususnya kepala desa.
Fenomena di atas mengakibatkan
masyarakat pedesaan terkotak-kotak. Secara tidak langsung, orang-orang desa terfragmentasi
menjadi dua bagian: pendukung kepala desa yang anti-perubahan dan penyokong
pendamping desa yang menghendaki kemajuan.
Dengan demikian, sinergitas harus
tercipta antara pemerintah desa dengan pendamping desa. Harmonisasi bukan
berarti upaya mensinergikan berbagai kepentingan, namun lebih pada ikhtiar menjalankan
fungsi masing-masing pihak dengan mekanisme checks and balances.
menarik sekali pak.. sesuatu yang kurang di perhatikan masyarakat.. terkait penyelewengan dana.. dan pasti ada oknum pendamping desa yang berkongsi dengan desa yang di dampinginya untuk menyelewengkan dana desa.
BalasHapus