Kamis, 22 Desember 2016

Dilema Pendamping Desa (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bernas" edisi Kamis, 22 Desember 2016)



Belum lama ini, muncul penolakan terhadap pendamping desa di sejumlah tempat. Ternyata penolakan ini memilah mereka menjadi tiga. Pertama, para penjunjung tinggi idealisme yang memilih berhenti. Mereka berprinsip bahwa lebih baik resign daripada bekerja nir-nurani.
Kedua, para pengagum pragmatisme yang tetap bekerja meski kurang aktif dan produktif. Dengan kata lain, gaji yang mereka terima dari negara kurang sebanding dengan prestasi. Kehadiran mereka di desa hanya bermaksud “mengisi presensi” tanpa mengetahui lebih dalam tentang perkembangan desa.
Ketiga, mereka yang berada di antara kedua kelompok di atas. Sebab menyadari dalam posisi terjepit, kelompok ini terpaksa mengundurkan diri. Gertakan dari beragam pihak membuat nyali mereka menciut. Mereka tidak tahan dengan sikap perangkat desa yang terkesan angkuh. Apalagi, mentalitas priayi genap membentuk diri kepala desa sulit menerima kritik, saran, serta perubahan.
Sejarah mencatat bahwa selama ratusan tahun kepala desa mempunyai strata sosial yang tinggi. Tersebar asumsi publik bahwa kepala desa memerankan sosok pengayom dan pelindung. Abdur Rozaki (2005: 181) menilai, anggapan ini menjadi faktor utama mengapa kehidupan desa berjalan secara timpang. Relasi sosial-politik terhambat oleh budaya ‘ewuh pakewuh’ dan patron-client.

Sikap Dingin
Kian maraknya penolakan terhadap pendamping desa terutama disebabkan oleh kegelisahan kepala desa. Posisi mereka tentu terancam, jika pendamping desa dibiarkan terus melenggang. Kemunculan pendamping desa senantiasa meresahkan para pemegang teguh status quo yang selama ini genap terbebani dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Berdasarkan peraturan perundang-undangan, BPD diberi wewenang untuk mengadakan kontrol terhadap pemerintahan desa, agar kinerja kepala desa beserta jajarannya bisa terarah. Di satu sisi, BPD berperan besar dalam terwujudnya demokrasi desa. Ruang kontrol dan keseimbangan kekuasaan di desa jadi lebih terbuka. Kepala desa yang memiliki sense of legitimacy tentu merasa diuntungkan dengan hadirnya BPD.
Di sisi lain, ternyata BPD tidak memberikan sumbangan berarti terhadap pelembagaan demokrasi desa secara maksimal. Timbul masalah baru, sebab lembaga perwakilan tersebut menjalankan kewenangannya secara kebablasan. Tidak sedikit kepala desa yang mengeluh dan melaporkan bahwa dirinya telah didzalimi. Mereka menganggap bahwa BPD terlalu “menekan”, sehingga tak heran jika mereka menyebutnya dengan Badan Provokasi Desa. Menurut kepala desa, BPD juga sering melakukan pelanggaran terhadap batas-batas kekuasaan yang telah digariskan kepadanya (Ade Chandra, 2005: 230).
Untuk sementara, kegelisahan ini mampu disikapi secara “dingin”. Kepala desa menganggap bahwa dibanding BPD posisi pendamping desa kurang berpengaruh, meski keduanya sama-sama dibekali tugas pengawasan (ketetapan legislasi menetapkan bahwa BPD berperan mengawasi jalannya pemerintahan desa, sedangkan pendamping desa mengawasi penggunaan dana desa).
Lain halnya dengan BPD yang terkesan sulit dijinakkan, pendamping desa cenderung rentan dikondisikan. Para birokrat lokal menilai bahwa pendamping desa adalah “anak kemarin sore” yang minim pengalaman. Mereka kurang memahami dinamika politik lokal. Jika BPD mampu menunjukkan taringnya, maka pendamping desa ibarat macan ompong yang takut bahkan terhadap mangsanya sendiri. Hal ini dikarenakan terbatasnya jumlah pendamping desa.

Perlunya Harmonisme
Semestinya dibentuknya pendamping desa adalah bertujuan agar dana desa yang dicairkan di setiap desa tersalurkan dengan baik. Mereka mendapat mandat untuk membimbing pemerintah desa dalam mengelola dana desa secara akuntabel dan transparan. Digelontorkannya dana desa terutama dalam rangka memperbaiki sarana desa, semisal jalan, jembatan, gorong-gorong, irigasi, dan lain-lain.
Akan tetapi, realitas berkata lain. Pemanfaatan dana desa terbukti menyalahi prosedur. Rupiah yang digelontorkan dari pemerintah pusat ternyata dijadikan “bancakan” bagi tokoh-tokoh lokal. Kasus-kasus penyelewangan terjadi di beberapa tempat. Penggelembungan dana (mark up) atas pembangunan desa sering kali ditemukan. Parahnya, berdiri sejumlah CV dadakan yang dimanfaatkan sebagai kedok oknum yang ingin memperkaya diri.
Pendamping desa hanya menjadi “bulan-bulanan” elit-elit desa. Mereka menjadi korban kekejaman aktor politik lokal. Mereka adalah tumbal bagi pihak yang bernafsu mengekalkan kekuasaan dan gelimang materi. Pemerintah desa merasa terganggu dengan kehadiran pendamping desa. Mereka dianggap “perusuh” yang mengobrak-abrik tatanan. Siklus permainan politik di tingkat lokal terancam buyar seiring dengan dukungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi atas eksistensi pendamping desa.
Pendamping desa menghadapi dilema. Di satu sisi, keberadaannya dibutuhkan pemerintah pusat dan masyarakat. Namun, di sisi lain, mereka ditolak oleh perangkat desa. Dengan posisi ini, kinerja pendamping desa bisa dipastikan kurang maksimal. Dalam menjalankan tugas, mereka dibayangi oleh beragam intimidasi, baik fisik maupun psikologis. Bahkan, ketika menulis laporan, kerap pemerintah desa mempersulit mereka dalam urusan administratif. Sikap ini menyebabkan pendamping desa menyimpan dendam terhadap elit-elit lokal, khususnya kepala desa.
Fenomena di atas mengakibatkan masyarakat pedesaan terkotak-kotak. Secara tidak langsung, orang-orang desa terfragmentasi menjadi dua bagian: pendukung kepala desa yang anti-perubahan dan penyokong pendamping desa yang menghendaki kemajuan.
Dengan demikian, sinergitas harus tercipta antara pemerintah desa dengan pendamping desa. Harmonisasi bukan berarti upaya mensinergikan berbagai kepentingan, namun lebih pada ikhtiar menjalankan fungsi masing-masing pihak dengan mekanisme checks and balances.

Bojonegoro, 2016

1 komentar:

  1. menarik sekali pak.. sesuatu yang kurang di perhatikan masyarakat.. terkait penyelewengan dana.. dan pasti ada oknum pendamping desa yang berkongsi dengan desa yang di dampinginya untuk menyelewengkan dana desa.

    BalasHapus