Boleh dibilang,
hubungan antara Indonesia dengan Malaysia semakin renggang. Hal ini antara lain
disulut oleh tindakan orang-orang Malaysia yang semena-mena. Insiden terhangat
yang gencar dipublikasikan oleh media yaitu terbaliknya bendera merah-putih
pada buku Opening Ceremony SEA Games 2017 di Kuala Lumpur, Malaysia (20/8/2017).
Peristiwa tersebut terkesan disengaja oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab,
agar memancing emosi orang-orang Indonesia.
Bukan kali ini saja kasus
“pelecehan” yang dilakukan oleh warga Malaysia. Yang paling sering dilakukan
yaitu perlakuan membabibuta terhadap para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mengundi
nasib di negeri jiran tersebut. Seolah mendaulat diri sebagai majikan, mereka pun
memperlakukan orang-orang Indonesia seperti budak. Bahkan, pemerintah Kerajaan
Malaysia juga kerap melakukan deportasi terhadap TKI. Karena kasus
keimigrasian, sebanyak 103 TKI sempat diusir dan dikurung selama berbulan-bulan
di penampungan warga asing Malaysia.
Perlu disesalkan
memang. Padahal, bila ditinjau dari segi kultural, antara Indonesia dengan
Malaysia dapat ditarik garis lurus. Bagaimana tidak, kedua negara ini terikat
dalam kultur melayu. Dengan latar belakang serumpun inilah sebenarnya tiada
dalih untuk berseteru antara satu dengan yang lain. Sebaliknya, keduanya harus
saling menguatkan dengan memupuk rasa persaudaraan.
Janggalnya, kerukunan kedua
negara ini dalam perjalanannya masih jauh panggang dari api. Bukannya menampilkan
ritme keharmonisan, hubungan dua negara ini kian lama kian akut, dengan
ditandai munculnya gejala permusuhan tiada akhir. Terlebih lagi, sikap pongah Malaysia
yang turut memperdalam jurang perselisihan, sehingga memupus harapan bagi yang
berhasrat menyemai kerukunan.
Problem
Apatisme
Bila dicermati, aksi
main hakim sendiri oleh pemerintah Kerajaan Malaysia mengindikasikan bahwa
Malaysia ingin menunjukkan diri sebagai negara digdaya. Celakanya, cara yang
diambil telah menyalahi norma sekaligus etika. Dengan kedigdayaannya, Malaysia ingin
meyakinkan pada dunia bahwa pemerintahan Indonesia sangatlah lemah. Terbukti
dengan keterlambatan atau bahkan pembiaran terhadap kasus yang menimpa para
TKI.
Indikasi di atas seolah
menemukan pembenaran, sebab pemerintah Indonesia kurang memiliki komitmen
serius serta agenda yang rigit dalam menindaklanjuti kesewenangan Malaysia. Hal
tersebut menandakan bahwa perlindungan para TKI bukanlah menjadi prioritas
utama. Bahkan, beban penderitaan penyumbang devisa terbesar tersebut kerap
ditanggung sendiri. Perlindungan yang semestinya dinikmati para warga ternyata
tidak diberikan. Padahal konstitusi secara tegas mengaturnya (Pasal 27 Ayat 1,
Pasal 28, Pasal 29 Ayat 2, Pasal 30 Ayat 1, dan Pasal 31 Ayat 1).
Realitas ini rentan menimbulkan
problem apatisme. Kepercayaan warga terhadap negara akan berangsur-angsur hilang.
Akibatnya, idealisme dan nasionalisme tergadaikan. Fakta bahwa sebagian warga
Indonesia, terutama di daerah perbatasan, merasa hak dan kesejahteraan mereka
dipenuhi oleh Malaysia—mulai dari listrik, makanan, hingga gas elpiji yang
lebih murah—merupakan wujud apatisme yang dimaksud.
Aksi
Nyata
Apabila tidak ingin
berlarut-larut, maka problem di atas sudah saatnya ditangani dengan serius. Yang
perlu dilakukan bukanlah sekadar menebar janji belaka, seakan pemerintah
memerankan diri selaku pejuang retorika. Bukan pula tindakan reaktif atas
gencarnya tuntutan kelompok penekan (pressure
group), baik LSM, partai politik maupun kelompok akar rumput (grass root community). Namun, lebih pada
inisiatif dan kesadaran pemerintah dalam menunaikan kewajiban.
Beberapa langkah yang
perlu diambil yaitu: pertama, menyediakan lahan pekerjaan seluas mungkin bagi
warga. Kebijakan ini membawa konsekuensi bagi semua perusahaan untuk lebih
mengutamakan orang-orang pribumi. Pemerintah pusat, melalui tangan pemerintah
daerah, harus menginstruksikan agar prosentase tenaga kerja putra daerah yang
ditampung dalam perusahaan ditingkatkan hingga 80-90 %. Harapannya, kisah
orang-orang tertindas dan terusir dari daerah sendiri tidak lagi terdengar.
Semisal suku Sakai di Riau, suku Tobelo Dalam di Maluku Utara, juga orang-orang
yang sejak lama bermukim di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara,
serta Nusa Tenggara Barat.
Kedua, pemerintah harus
berani menjanjikan kesejahteraan warga dengan upah yang layak. Tidak bisa
dimungkiri, alasan pilihan bekerja di luar negeri di antaranya adalah berburu
upah lebih besar. Jika keringat tenaga kerja benar-benar dihargai, niscaya mereka
lebih suka bertahan di negeri sendiri. Ditinjau dari segi psikologis dan
sosiologis, mereka sebenarnya lebih suka berada di dekat teman dan keluarga. Mereka
terpaksa melalangbuana ke berbagai negara lantaran kesejahteraan dari pemerintah
tidak kunjung tiba.
Ketiga, pemberlakuan moratorium
impor terhadap Malaysia. Jika sementara ini, masih banyak barang dan bahan
pangan yang sulit ditemukan atau diproduksi dalam negeri, pemerintah bisa bekerjasama
dengan negara lain, selain Malaysia, untuk menyuplai. Tujuannya agar Indonesia
tampil sebagai negara kuat, tidak menjadi pengemis di hadapan Malaysia.
Bagaimana dengan moratorium
tenaga kerja? Itu hanyalah siasat “pemadam kebakaran” yang sebenarnya tidak
menyentuh persoalan, bahkan bisa jadi sekadar menumpuk api kebencian dan amarah
warga yang setiap saat bisa diluapkan. Mereka menuding negara hanya berfungsi sebagai
petugas pencatat pelbagai keluhan dan lebih identik dengan “negara penjaga
malam” (night-watchman state).