Berbagai kelompok cukup
getol memaksakan kehendak. Mereka ambisi mengutamakan keseragaman ideologi.
Mereka berusaha mengubur jati diri bangsa Indonesia dengan menghapus Bhinneka Tunggal Ika. Mereka mengingkari
realitas historis para pendiri bangsa. Mereka mengesampingkan kenyataan, negeri
ini tersusun atas berbagai elemen.
Padahal, selama ratusan
tahun, agama, suku, dan ras, merupakan unsur-unsur yang membentuk fondasi
kebangsaan. Keberadaan mereka tak mungkin dinihilkan. Suku-suku di berbagai
penjuru Indonesia mempunyai kearifan lokal yang eksotis. Itulah banyak peneliti
meriset warisan budaya suku-suku tersebut.
Pluralitas etnik
menjadi khazanah yang memperkaya peradaban negeri ini. Keanekaan kultur tidak
lantas memperlebar jurang perbedaan, justru menyatukan identitas kebangsaan.
Inspirasi serta narasi
kerukunan, keguyuban, dan keharmonisan bangsa antara lain ditunjukkan Suku
Batak Toba, Betawi, dan Banjar. Para leluhur mereka telah mewariskan kearifan
lokal. Kehidupan Suku Batak Toba memuat tata tertib yang mengatur pertikaian
keluarga batih dan antarmarga (bius).
Untuk menyelesaikan permasalahan sosial, mereka memanfaatkan lembaga adat.
Setiap orang menjunjung
tinggi etika kepatuhan terhadap keputusan bersama. Lembaga mediasi yang dulu
diduduki raja huta dan tunggane-huta sangat menentukan
keputusan suatu perkara serta mempunyai kekuatan hukum untuk dihormati.
Sisa-sisa lembaga penyelesaian konflik yang asli suku Batak Toba masih dikenal
sekarang. Contoh, lembaga natua-tua ni
huta (tua-tua desa), raja huta
(kepala desa), pangituai (orang-orang
terkemuka), dan sebagainya.
Ada juga lembaga baru
seperti pangula ni huria (pimpinan
gereja) atau lembaga modern yang merupakan transformasi lembaga-lembaga
tradisional, yaitu pengurus punguan marga
(pengurus organisasi marga) dan pengurus
persahutaon (pengurus organisasi desa). Sayangnya, lembaga-lembaga ini
bersifat disfungsional karena lemahnya nilai kesatriaan, bergengsinya lembaga
peradilan negara, serta meredupnya peradilan adat (Bungaran Antonius
Simanjuntak, 2007: 25).
Muhammad Husni dan
Tiarma Rita Siregar (2000: 19–22) menyebutkan bahwa bagi suku Betawi, upacara
perkawinan merupakan sarana religiositas manusia. Perhiasan pengantin wanita
secara tidak langsung menunjukkan wujud penghambaan manusia kepada Tuhan. Tusuk
konde berbentuk Arab yang diselipkan pada penutup cadar menggambarkan
pengukuhan terhadap keesaan Allah.
Suku Dayak Ngaju di
Kalimantan Selatan mempunyai korpus sastra adat yang luas, terutama diwariskan
menurut garis keturunan laki-laki oleh ahli hukum adat selaku tetua desa,
kepala desa, atau kepala adat. Bagi suku Dayak, sastra profan mencakup legenda
mengenai sejarah atau asal kejadian tempat, arca, tumbuhan, dan sebagainya.
Mereka mengenal sansana sebagai salah satu genre sastra
yang dilantunkan dengan nyanyian dan bersifat didaktis moral. Sansana bukanlah milik golongan
tertentu, sehingga banyak orang Ngaju yang hafal dan menyampaikannya kepada
orang lain untuk pendidikan. Kadang-kadang, di luar pesta adat, seorang
perempuan tua diminta menceritakan Sansana
sebagai hiburan. Penduduk desa berkumpul serta mendengarkan sepanjang malam (JJ
Ras, 2014: 10).
Pada tahun 2002,
Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) melaksanakan program pemberdayaan
masyarakat tradisional untuk berpartisipasi dalam upaya pelestarian alam dengan
membantu Desa Nangga dan Jangga Manggu di Sumba Timur di perbatasan Taman
Nasional Laiwanggi-Wanggameti. Kehati berharap kearifan lokal dalam pengelolaan
keanekaragaman hayati tetap berkembang, sehingga Taman Nasional dilestarikan.
Bagi dua desa tersebut, hutan adalah pemberi kehidupan (pingi lata luri). Hutan memberikan pangan dan obat-obatan, bahan
tali dan bangunan, serta pewarna kain. Di samping itu, hutan menjadi kawasan
menggembalaan ternak dan menggelar upacara keagamaan.
Program Kehati di Desa
Nangga dan Jangga mendorong masyarakat bersama melaksanakan rotu (aturan tak tertulis yang menjadi
pedoman masyarakat Sumba Timur untuk bercocok tanam atau beternak, melindungi
tanaman dan hewan budi daya serta menjaga hutan di sekitarnya). Sejumlah
ketetapan yang digariskan antara lain penentuan jumlah pohon yang ditanam
setiap keluarga, larangan pembakaran hutan, kesepakatan lokasi penggembalaan.
Kemudian, perawatan
kebun hutan milik keluarga, mekanisme pembayaran sanksi atau denda ketika
pelanggaran, serta penunjukan pemantau implementasi rotu (Setijati D Sastrapradja 2010: 179). Dalam buku Belajar dari Bungo: Mengelola Sumber Daya
Alam di Era Desentralisasi (2008: 108) tercatat bahwa di Jambi, Suku Banjar
menetapkan aturan unik yang menggambarkan kearifan lokal.
Di desa-desa Pelepat,
Bungo, suatu lubuk dilarang dipanen
dalam 6–24 bulan. Masyarakat menetapkan, peralatan untuk mengambil ikan
terbatas alat-alat yang dapat menjamin kelestarian ikan. Pelanggar bakal
dikenakan sanksi adat yang disepakati ninik
mamak dan seluruh masyarakat. Sanksi diberikan secara bertahap dengan
jumlah denda tergantung pada kesalahan.
Di samping turut
mengampanyekan slogan go green,
aturan di atas juga mendorong meningkatnya kesejahteraan masyarakat melalui lubuk. Pengalaman sejarah membuktikan, lubuk menjadi kas desa untuk membiayai
pembangunan serta kepentingan lainnya. Salah satunya lubuk larang di Desa Batu Kerbau.
Rujukan
Pluralitas yang
berpijak pada kearifan-kearifan lokal inilah yang semestinya dihormati semua
golongan. Kesadaran terhadap keberagaman membuat manusia semakin bijak dalam
bersikap sehingga fanatisme berlebihan yang cenderung melahirkan perselisihan,
permusuhan, bahkan perpecahan dapat dihindarkan.
Sebagai dasar negara,
Pancasila selayaknya dijadikan rujukan hidup bersama. Pada dasarnya nilai-nilai
Pancasila bisa menjadi titik tolak untuk masuk (entry point) pembudayaan kawula muda. Hal ini terutama dirasakan
di beberapa desa yang relatif lebih kerap memanfaatkan pola komunikasi
tradisional dan nilai budaya cukup kuat.
Bahkan, sering kali
diungkapkan bahwa Pancasila sesungguhnya genap tertanam dalam kearifan lokal
orang desa. Anggapan ini kiranya tak berlebihan karena merupakan kristalisasi
budaya Nusantara (Sudjito dkk 2012: 140). Atas dasar itulah, terlepas dari pro
dan kontra sejumlah pihak atas penerbitan Perpu No 2 Tahun 2017, organisasi
kemasyarakatan (ormas) yang berhaluan anti-Pancasila harus dibubarkan.
Pemerintah dituntut
mampu membina dan mengarahkan orang-orang yang bergabung di dalamnya.
Ormas-ormas yang berideologi Pancasila juga dilarang menaruh dendam terhadap
mereka yang terlibat dalam organisasi terlarang. Bagaimanapun, pintu selalu
terbuka memperbaiki diri.
Selain itu, penghayatan
nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan-kearifan lokal tidak hanya dijadikan
jargon semata. Tapi, juga diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Jika wacana ini berhasil, kelak tidak ada lagi
kelompok-kelompok yang mengampanyekan “kebenaran tunggal.” Dengan demikian,
masa mendatang, organisasi-organisasi kemasyarakatan memiliki semangat
kebersamaan dengan Pancasila sebagai asasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar