Kamis, 10 Agustus 2017

Pancasila Rujukan Berorganisasi (Gagasan_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Koran Jakarta" edisi Kamis, 10 Agustus 2017)

Berbagai kelompok cukup getol memaksakan kehendak. Mereka ambisi mengutamakan keseragaman ideologi. Mereka berusaha mengubur jati diri bangsa Indonesia dengan menghapus Bhinneka Tunggal Ika. Mereka mengingkari realitas historis para pendiri bangsa. Mereka mengesampingkan kenyataan, negeri ini tersusun atas berbagai elemen.
Padahal, selama ratusan tahun, agama, suku, dan ras, merupakan unsur-unsur yang membentuk fondasi kebangsaan. Keberadaan mereka tak mungkin dinihilkan. Suku-suku di berbagai penjuru Indonesia mempunyai kearifan lokal yang eksotis. Itulah banyak peneliti meriset warisan budaya suku-suku tersebut.
Pluralitas etnik menjadi khazanah yang memperkaya peradaban negeri ini. Keanekaan kultur tidak lantas memperlebar jurang perbedaan, justru menyatukan identitas kebangsaan.
Inspirasi serta narasi kerukunan, keguyuban, dan keharmonisan bangsa antara lain ditunjukkan Suku Batak Toba, Betawi, dan Banjar. Para leluhur mereka telah mewariskan kearifan lokal. Kehidupan Suku Batak Toba memuat tata tertib yang mengatur pertikaian keluarga batih dan antarmarga (bius). Untuk menyelesaikan permasalahan sosial, mereka memanfaatkan lembaga adat.
Setiap orang menjunjung tinggi etika kepatuhan terhadap keputusan bersama. Lembaga mediasi yang dulu diduduki raja huta dan tunggane-huta sangat menentukan keputusan suatu perkara serta mempunyai kekuatan hukum untuk dihormati. Sisa-sisa lembaga penyelesaian konflik yang asli suku Batak Toba masih dikenal sekarang. Contoh, lembaga natua-tua ni huta (tua-tua desa), raja huta (kepala desa), pangituai (orang-orang terkemuka), dan sebagainya.
Ada juga lembaga baru seperti pangula ni huria (pimpinan gereja) atau lembaga modern yang merupakan transformasi lembaga-lembaga tradisional, yaitu pengurus punguan marga (pengurus organisasi marga) dan pengurus persahutaon (pengurus organisasi desa). Sayangnya, lembaga-lembaga ini bersifat disfungsional karena lemahnya nilai kesatriaan, bergengsinya lembaga peradilan negara, serta meredupnya peradilan adat (Bungaran Antonius Simanjuntak, 2007: 25).
Muhammad Husni dan Tiarma Rita Siregar (2000: 19–22) menyebutkan bahwa bagi suku Betawi, upacara perkawinan merupakan sarana religiositas manusia. Perhiasan pengantin wanita secara tidak langsung menunjukkan wujud penghambaan manusia kepada Tuhan. Tusuk konde berbentuk Arab yang diselipkan pada penutup cadar menggambarkan pengukuhan terhadap keesaan Allah.
Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Selatan mempunyai korpus sastra adat yang luas, terutama diwariskan menurut garis keturunan laki-laki oleh ahli hukum adat selaku tetua desa, kepala desa, atau kepala adat. Bagi suku Dayak, sastra profan mencakup legenda mengenai sejarah atau asal kejadian tempat, arca, tumbuhan, dan sebagainya.
Mereka mengenal sansana sebagai salah satu genre sastra yang dilantunkan dengan nyanyian dan bersifat didaktis moral. Sansana bukanlah milik golongan tertentu, sehingga banyak orang Ngaju yang hafal dan menyampaikannya kepada orang lain untuk pendidikan. Kadang-kadang, di luar pesta adat, seorang perempuan tua diminta menceritakan Sansana sebagai hiburan. Penduduk desa berkumpul serta mendengarkan sepanjang malam (JJ Ras, 2014: 10).
Pada tahun 2002, Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) melaksanakan program pemberdayaan masyarakat tradisional untuk berpartisipasi dalam upaya pelestarian alam dengan membantu Desa Nangga dan Jangga Manggu di Sumba Timur di perbatasan Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti. Kehati berharap kearifan lokal dalam pengelolaan keanekaragaman hayati tetap berkembang, sehingga Taman Nasional dilestarikan. Bagi dua desa tersebut, hutan adalah pemberi kehidupan (pingi lata luri). Hutan memberikan pangan dan obat-obatan, bahan tali dan bangunan, serta pewarna kain. Di samping itu, hutan menjadi kawasan menggembalaan ternak dan menggelar upacara keagamaan.
Program Kehati di Desa Nangga dan Jangga mendorong masyarakat bersama melaksanakan rotu (aturan tak tertulis yang menjadi pedoman masyarakat Sumba Timur untuk bercocok tanam atau beternak, melindungi tanaman dan hewan budi daya serta menjaga hutan di sekitarnya). Sejumlah ketetapan yang digariskan antara lain penentuan jumlah pohon yang ditanam setiap keluarga, larangan pembakaran hutan, kesepakatan lokasi penggembalaan.
Kemudian, perawatan kebun hutan milik keluarga, mekanisme pembayaran sanksi atau denda ketika pelanggaran, serta penunjukan pemantau implementasi rotu (Setijati D Sastrapradja 2010: 179). Dalam buku Belajar dari Bungo: Mengelola Sumber Daya Alam di Era Desentralisasi (2008: 108) tercatat bahwa di Jambi, Suku Banjar menetapkan aturan unik yang menggambarkan kearifan lokal.
Di desa-desa Pelepat, Bungo, suatu lubuk dilarang dipanen dalam 6–24 bulan. Masyarakat menetapkan, peralatan untuk mengambil ikan terbatas alat-alat yang dapat menjamin kelestarian ikan. Pelanggar bakal dikenakan sanksi adat yang disepakati ninik mamak dan seluruh masyarakat. Sanksi diberikan secara bertahap dengan jumlah denda tergantung pada kesalahan.
Di samping turut mengampanyekan slogan go green, aturan di atas juga mendorong meningkatnya kesejahteraan masyarakat melalui lubuk. Pengalaman sejarah membuktikan, lubuk menjadi kas desa untuk membiayai pembangunan serta kepentingan lainnya. Salah satunya lubuk larang di Desa Batu Kerbau.

Rujukan
Pluralitas yang berpijak pada kearifan-kearifan lokal inilah yang semestinya dihormati semua golongan. Kesadaran terhadap keberagaman membuat manusia semakin bijak dalam bersikap sehingga fanatisme berlebihan yang cenderung melahirkan perselisihan, permusuhan, bahkan perpecahan dapat dihindarkan.
Sebagai dasar negara, Pancasila selayaknya dijadikan rujukan hidup bersama. Pada dasarnya nilai-nilai Pancasila bisa menjadi titik tolak untuk masuk (entry point) pembudayaan kawula muda. Hal ini terutama dirasakan di beberapa desa yang relatif lebih kerap memanfaatkan pola komunikasi tradisional dan nilai budaya cukup kuat.
Bahkan, sering kali diungkapkan bahwa Pancasila sesungguhnya genap tertanam dalam kearifan lokal orang desa. Anggapan ini kiranya tak berlebihan karena merupakan kristalisasi budaya Nusantara (Sudjito dkk 2012: 140). Atas dasar itulah, terlepas dari pro dan kontra sejumlah pihak atas penerbitan Perpu No 2 Tahun 2017, organisasi kemasyarakatan (ormas) yang berhaluan anti-Pancasila harus dibubarkan.
Pemerintah dituntut mampu membina dan mengarahkan orang-orang yang bergabung di dalamnya. Ormas-ormas yang berideologi Pancasila juga dilarang menaruh dendam terhadap mereka yang terlibat dalam organisasi terlarang. Bagaimanapun, pintu selalu terbuka memperbaiki diri.
Selain itu, penghayatan nilai-nilai yang terkandung dalam kearifan-kearifan lokal tidak hanya dijadikan jargon semata. Tapi, juga diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jika wacana ini berhasil, kelak tidak ada lagi kelompok-kelompok yang mengampanyekan “kebenaran tunggal.” Dengan demikian, masa mendatang, organisasi-organisasi kemasyarakatan memiliki semangat kebersamaan dengan Pancasila sebagai asasnya.

Yogyakarta, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar