Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) meresmikan PT Mitra Bumdes
Nusantara sebagai holding (induk) Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Menjalin
ikatan kerja sama dengan beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Holding
Bumdes diharapkan mampu mempercepat laju ekonomi perdesaan. Langkah ini
membuktikan, Kemendesa PDTT menyadari bahwa BUMDes memiliki posisi urgen dalam
meningkatkan taraf hidup serta kesadaran ekonomi orang desa.
Dikukuhkan melalui Peraturan
Mendagri No. 39 tahun 2010, BUMDes dipercaya memiliki fleksibilitas untuk selalu
beradaptasi dengan keinginan masyarakat perdesaan. Sebagai aset yang dikelola
oleh desa, BUMDes berupaya memajukan usaha-usaha perdesaan. Dengan demikian,
BUMDes lebih mudah berperan selaku lembaga pembiyaan bagi mereka yang ingin
meningkatkan usahanya di tingkat lokal. BUMDes menjadi alternatif pengelolaan
potensi kearifan lokal serta pemberdayaan masyarakat yang berada di garis
kemiskinan.
Keberlangsungan
BUMDes bisa lebih terpelihara lantaran berdiri atas inisiatif masyarakat desa,
dikelola serta dikontrol oleh masyarakat desa. Pemberdayaan BUMDes dilakukan
demi mencapai kesejahteraan masyarakat desa dengan pola kehidupan yang kental
dengan semangat gotong-royong. Pengawasan BUMDes berdasarkan norma sosial dan
adat yang berlaku di desa tentu bisa meminimalisir perilaku menyimpang dalam
kehidupan ekonomi perdesaan. Sebab ditopang oleh lembaga perekonomian yang
dijiwai oleh semangat gotong-royong, kemandirian desa akan memperkokoh fondasi ekonomi
nasional. Sehingga, terwujudnya keadilan sosial sebagai pengamalan Pancasila dan
terciptanya negara berdikari bukanlah utopia belaka (Sudjito, dkk. 2012:
335-336).
Ekonomi
Kapitalistik
Lahirnya BUMDes di desa
diharapkan mampu meminimalisir efek dan dampak negatif kapitalisme. Dengan
memegang teguh visi kebersamaan dan loyalitas, BUMDes diyakini sanggup
memerangi aktivitas ekonomi modern yang cenderung liberal-individual. Apalagi, nilai-nilai
globalisasi yang menancap sedemikian rupa di berbagai penjuru negeri genap
melahirkan ekonomi kapitalistik.
Ekonomi dengan
kapitalisme sebagai ideologi cenderung memaksakan pengaruhnya bagi orang desa
yang dari dulu mempunyai tatanan sosial dan ekonomi yang berlainan dari Barat. Nilai-nilai
materialisme yang ditawarkan ekonomi kapitalistik mendesak kehidupan ekonomi di
tingkat lokal. Dalam taraf tertentu, keadaan ini mengakibatkan kerusakan berbagai
tatanan yang ada. Stabilitas, keseimbangan, dan harmoni sosial akhirnya
dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Ekonomi kapitalistik yang mulai tumbuh di
desa juga menciptakan perubahan struktural dalam kehidupan masyarakat.
Dalam beberapa
dasawarsa terakhir, kapitalisme yang mengusung ide-ide Barat menjadikan orang
desa seakan terusir dari tanah kelahiran. Para konglomerat yang memperluas
usahanya hingga pelosok turut memperparah penderitaan, kemiskinan, dan
keterbelakangan desa. Kaum pengusaha yang sebenarnya dituntut memberikan peluang
kerja bagi orang desa justru turut ambil bagian dalam upaya menyengsarakan
orang desa. Mereka selalu berusaha agar keuntungan yang mereka peroleh semakin
berlipat, tanpa memperhatikan nasib rakyat kecil.
Munculnya banyak mall tentu menggusur toko kecil, warung,
dan kedai tradisional. Menjamurnya aktivitas pertambangan yang mengesampingkan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) mengotori alam perdesaan yang sejak
lama jauh dari polusi. Dalam konteks inilah, peran BUMDes selalu dinantikan. Sepak
terjang orang-orang yang aktif di dalamnya diharapkan mampu melakukan
transformasi di tingkat lokal. Sehingga, aktivitas ekonomi tidak didikte oleh keinginan
the have (orang kaya) dan pengusaha,
tetapi diatur dengan prinsip tolong-menolong, kerukunan, serta komunalitas.
Filosofi
Kerja
Fungsi
BUMDes bisa berjalan dengan baik dan maksimal, apabila filosofi kerja orang
desa diperhatikan dan daya tawar (bargaining
power) BUMDes dinaikkan. BUMDes dituntut menampung cara berpikir aktor
penggeraknya. Sebagai garda terdepan dalam upaya pemanfaatan potensi desa,
keberadaan BUMDes terkait erat dengan filosofi kerja orang desa. Dalam memenuhi
kebutuhan hidup, mereka yang bermukim di wilayah pedalaman mengantongi pola dan
mekanisme tersendiri dibanding mereka yang tinggal di wilayah perkotaan. Apa
yang mereka kerjakan genap dipengaruhi oleh lingkungan dan pengalaman hidup.
Inilah yang menyebabkan aktivitas ekonomi orang-orang desa berbeda dengan kaum
urban.
Abdul
Munir Mulkhan (2009: 95) mensinyalir bahwa orang desa memiliki filosofi kerja
sendiri. Bagi mereka, kerja bukan sekadar berburu keuntungan atau kekayaan.
Lebih jauh dari itu, kerja dianggap sebagai bagian dari cara menjalani
kehidupan. Seluruh pekerjaan petani dan masyarakat perdesaan bukan dilandasi
kesadaran bahwa mereka menganggap usaha utama dan sampingan sebagai bagian dari
sistem produksi ekonomi. Apa yang mereka kerjakan merupakan cara untuk mengisi waktu kosong yang
mesti dijalani sebagai bagian dari kehidupan rohani yang bernilai dan mendalam.
Salah
satu kiat mengatrol daya tawar (bargaining
power) BUMDes adalah dengan jalan memberdayakan generasi muda. Melalui
pemanfaatan dana desa, BUMDes bisa menyediakan lapangan kerja bagi mereka.
Selama ini, wajah ekonomi perdesaan belum mengalami perubahan signifikan
dikarenakan anak-anak desa yang berhasil meraih gelar sarjana enggan kembali ke
tanah kelahiran. Mereka lebih memilih untuk bekerja di berbagai lembaga modern
di daerah perkotaan, pinggiran kota, dan sentra pengembangan industri, dengan
gaji yang lebih menjanjikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar