Rabu, 02 Agustus 2017

BUMDes dan Ekonomi Lokal (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Suara NTB" edisi Rabu, 2 Agustus 2017)


Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) meresmikan PT Mitra Bumdes Nusantara sebagai holding (induk) Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Menjalin ikatan kerja sama dengan beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Holding Bumdes diharapkan mampu mempercepat laju ekonomi perdesaan. Langkah ini membuktikan, Kemendesa PDTT menyadari bahwa BUMDes memiliki posisi urgen dalam meningkatkan taraf hidup serta kesadaran ekonomi orang desa.
Dikukuhkan melalui Peraturan Mendagri No. 39 tahun 2010, BUMDes dipercaya memiliki fleksibilitas untuk selalu beradaptasi dengan keinginan masyarakat perdesaan. Sebagai aset yang dikelola oleh desa, BUMDes berupaya memajukan usaha-usaha perdesaan. Dengan demikian, BUMDes lebih mudah berperan selaku lembaga pembiyaan bagi mereka yang ingin meningkatkan usahanya di tingkat lokal. BUMDes menjadi alternatif pengelolaan potensi kearifan lokal serta pemberdayaan masyarakat yang berada di garis kemiskinan.
Keberlangsungan BUMDes bisa lebih terpelihara lantaran berdiri atas inisiatif masyarakat desa, dikelola serta dikontrol oleh masyarakat desa. Pemberdayaan BUMDes dilakukan demi mencapai kesejahteraan masyarakat desa dengan pola kehidupan yang kental dengan semangat gotong-royong. Pengawasan BUMDes berdasarkan norma sosial dan adat yang berlaku di desa tentu bisa meminimalisir perilaku menyimpang dalam kehidupan ekonomi perdesaan. Sebab ditopang oleh lembaga perekonomian yang dijiwai oleh semangat gotong-royong, kemandirian desa akan memperkokoh fondasi ekonomi nasional. Sehingga, terwujudnya keadilan sosial sebagai pengamalan Pancasila dan terciptanya negara berdikari bukanlah utopia belaka (Sudjito, dkk. 2012: 335-336).

Ekonomi Kapitalistik
Lahirnya BUMDes di desa diharapkan mampu meminimalisir efek dan dampak negatif kapitalisme. Dengan memegang teguh visi kebersamaan dan loyalitas, BUMDes diyakini sanggup memerangi aktivitas ekonomi modern yang cenderung liberal-individual. Apalagi, nilai-nilai globalisasi yang menancap sedemikian rupa di berbagai penjuru negeri genap melahirkan ekonomi kapitalistik.
Ekonomi dengan kapitalisme sebagai ideologi cenderung memaksakan pengaruhnya bagi orang desa yang dari dulu mempunyai tatanan sosial dan ekonomi yang berlainan dari Barat. Nilai-nilai materialisme yang ditawarkan ekonomi kapitalistik mendesak kehidupan ekonomi di tingkat lokal. Dalam taraf tertentu, keadaan ini mengakibatkan kerusakan berbagai tatanan yang ada. Stabilitas, keseimbangan, dan harmoni sosial akhirnya dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Ekonomi kapitalistik yang mulai tumbuh di desa juga menciptakan perubahan struktural dalam kehidupan masyarakat.
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, kapitalisme yang mengusung ide-ide Barat menjadikan orang desa seakan terusir dari tanah kelahiran. Para konglomerat yang memperluas usahanya hingga pelosok turut memperparah penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan desa. Kaum pengusaha yang sebenarnya dituntut memberikan peluang kerja bagi orang desa justru turut ambil bagian dalam upaya menyengsarakan orang desa. Mereka selalu berusaha agar keuntungan yang mereka peroleh semakin berlipat, tanpa memperhatikan nasib rakyat kecil.
Munculnya banyak mall tentu menggusur toko kecil, warung, dan kedai tradisional. Menjamurnya aktivitas pertambangan yang mengesampingkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) mengotori alam perdesaan yang sejak lama jauh dari polusi. Dalam konteks inilah, peran BUMDes selalu dinantikan. Sepak terjang orang-orang yang aktif di dalamnya diharapkan mampu melakukan transformasi di tingkat lokal. Sehingga, aktivitas ekonomi tidak didikte oleh keinginan the have (orang kaya) dan pengusaha, tetapi diatur dengan prinsip tolong-menolong, kerukunan, serta komunalitas.

Filosofi Kerja
Fungsi BUMDes bisa berjalan dengan baik dan maksimal, apabila filosofi kerja orang desa diperhatikan dan daya tawar (bargaining power) BUMDes dinaikkan. BUMDes dituntut menampung cara berpikir aktor penggeraknya. Sebagai garda terdepan dalam upaya pemanfaatan potensi desa, keberadaan BUMDes terkait erat dengan filosofi kerja orang desa. Dalam memenuhi kebutuhan hidup, mereka yang bermukim di wilayah pedalaman mengantongi pola dan mekanisme tersendiri dibanding mereka yang tinggal di wilayah perkotaan. Apa yang mereka kerjakan genap dipengaruhi oleh lingkungan dan pengalaman hidup. Inilah yang menyebabkan aktivitas ekonomi orang-orang desa berbeda dengan kaum urban.
Abdul Munir Mulkhan (2009: 95) mensinyalir bahwa orang desa memiliki filosofi kerja sendiri. Bagi mereka, kerja bukan sekadar berburu keuntungan atau kekayaan. Lebih jauh dari itu, kerja dianggap sebagai bagian dari cara menjalani kehidupan. Seluruh pekerjaan petani dan masyarakat perdesaan bukan dilandasi kesadaran bahwa mereka menganggap usaha utama dan sampingan sebagai bagian dari sistem produksi ekonomi. Apa yang mereka kerjakan  merupakan cara untuk mengisi waktu kosong yang mesti dijalani sebagai bagian dari kehidupan rohani yang bernilai dan mendalam.
Salah satu kiat mengatrol daya tawar (bargaining power) BUMDes adalah dengan jalan memberdayakan generasi muda. Melalui pemanfaatan dana desa, BUMDes bisa menyediakan lapangan kerja bagi mereka. Selama ini, wajah ekonomi perdesaan belum mengalami perubahan signifikan dikarenakan anak-anak desa yang berhasil meraih gelar sarjana enggan kembali ke tanah kelahiran. Mereka lebih memilih untuk bekerja di berbagai lembaga modern di daerah perkotaan, pinggiran kota, dan sentra pengembangan industri, dengan gaji yang lebih menjanjikan.

Yogyakarta, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar