Senin, 31 Juli 2017

Desa dan Industrialisasi Pertanian (Kolom_Riza Multazam Luthfy, terbit di laman "Detik" edisi Senin, 31 Juli 2017)


Banjir yang melanda kawasan perdesaan membuat padi di jutaan hektare sawah terpaksa harus ditanam ulang. Musibah ini mengakibatkan para petani mengalami kerugian besar. Padahal, selama ini sawah menjadi lokus utama sektor agraris.
Siklus kehidupan orang desa, khususnya para petani, kerap dipengaruhi oleh masa panen. Guna menyiasati keadaan, orang-orang yang tidak memiliki kerja sampingan harus memutar otak. Pada bulan-bulan sebelum panen, kerap mereka meminjam rupiah dari saudara, tetangga, bank, atau lembaga keuangan lainnya. Uang ini digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Untuk membeli kebutuhan sekunder, kaum tani harus menunggu panen. Di masa inilah para petani memegang uang dan menikmati jerih payah mereka.
Dalam taraf tertentu, sawah menyimpan hak komunal. Sawah menggambarkan bahwa kehidupan perdesaan dibangun oleh kebersamaan dan kolektivitas. Sawah menjadi simbol bahwa toleransi, kerja sama, dan gotong royong menjadi pijakan orang desa dalam bertindak. Selain menyumpal kebutuhan perut, hasil tanah juga dipakai untuk membiayai pendidikan buah hati sebagai aset terbaik di masa depan.
Urgensi sawah tampak dari realitas bahwa negara selalu menuntut petani untuk memasok bahan pangan. Apa yang mereka hasilkan dari sawah diangkut ke perkotaan. Keringat mereka diperlukan guna memenuhi kebutuhan makanan pokok. Sayangnya, saat petani berharap uluran tangan, negara tidak pernah hadir.
Negara enggan berkoar bahwa di balik kesengsaraan petani terdapat perlindungan pemerintah. Berbagai bentuk kerugian, mulai dari gagal panen, melonjaknya harga pupuk, hingga merosotnya harga beras ditanggung oleh petani. Boleh dibilang, secara tidak langsung terjadi eksploitasi tenaga kerja oleh negara. Di sinilah muncul tuntutan yang kurang berimbang. Pengorbanan petani tidak diimbangi oleh kesigapan negara melindungi hak mereka.

Kultur Agraris
Pada masa silam, saat globalisasi dan modernisasi belum sepenuhnya menyentuh wilayah pedalaman, rata-rata mata pencaharian orang desa adalah bertani. Profesi ini digeluti karena pada waktu itu belum banyak pilihan pekerjaan. Kekayaan alam, demografi, serta kondisi lingkungan mengharuskan mereka mengolah tanah sebisa mungkin.
Abdul Munir Mulkhan (2009: 95) menilai bahwa orang desa memiliki filosofi kerja yang tinggi. Bagi mereka, bekerja bukan sekadar berburu keuntungan atau kekayaan, tetapi bagian dari "ritual" menjalani hidup. Seluruh pekerjaan petani dan warga pedesaan bukan dilakukan karena mereka ingin menjadikan usaha utama dan sampingan sebagai bagian dari sistem produksi ekonomi. Lebih dari itu, apa yang mereka kerjakan merupakan cara mengisi waktu kosong yang menjadi penggalan kehidupan rohani yang bernilai dan mendalam.
Dalam catatan sejarah, kultur agraris mendarahdaging dalam diri orang Islam. Kuntowijoyo menyebutkan, transformasi profesi umat Islam dari pedagang ke petani terjadi menyusul kehadiran Belanda di Nusantara. Demi menghindari kontak dengan pihak kolonial, sejak abad ke-18 dan ke-19, mereka menjalankan aktivitas bertani serta bermukim di desa dan daerah terpencil (Lathiful Khuluq, 2008: 4).
Sektor agraris juga mampu menyokong kekuatan perekonomian negara. Saat menanggung dampak krisis ekonomi untuk menyerap limpahan tenaga kerja sektor informal dan perkotaan, daya tahan sektor pertanian terbukti cukup kuat. Itulah mengapa, pada periode 1998-2000, sektor pertanian menjadi salah satu unsur penyelamat ekonomi Indonesia.

Tiga Prinsip
Dalam rangka memajukan sektor agraris di wilayah pedesaan, industrialisasi pertanian merupakan keniscayaan. Setidaknya terdapat tiga prinsip industrialisasi pertanian yang kerap digunakan oleh negara-negara berkembang (Bustanul Arifin, 2005: 142-143). Pertama, pembangunan berbasis pertanian yang mengutamakan potensi pasar dalam negeri sekaligus memanfaatkan besarnya jumlah penduduk.
Upaya memompa daya beli masyarakat ditempuh melalui peningkatan produktivitas, perluasan peluang kerja, stabilisasi nilai tukar, serta pembangunan industri yang berhubungan dengan pertanian dan pedesaan. Kedua, pembangunan pedesaan yang dirangsang oleh agroindustri. Prinsip ini melihat bahwa lantaran mengandalkan lahan dan tenaga kerja, sumber daya di pedesaan lebih banyak menunjang produksi pertanian.
Biasanya sumber daya pedesaan lebih terampil dalam usaha tani di hulu, namun kurang terampil dalam produksi manufaktur di hilir. Di sinilah industrialisasi pertanian yang membidik daerah pedesaan akan mampu mengatrol kualitas sumber daya manusia pedesaan dan pembangunan perdesaan pada umumnya.
Prinsip tersebut menekankan urgensi keterkaitan ke depan dan ke belakang dari proses industrialisasi yang dapat menghasilkan nilai tambah cukup besar. Ketiga, pembangunan daya dorong yang berusaha meningkatkan produktivitas dan daya beli kaum miskin serta mendorong motivasi kaum berada.
Analogi yang sama dipakai untuk menggambarkan daya dorong pembangunan pedesaan (atau daerah secara umum) bagi pembangunan di daerah perkotaan (atau pusat aktivitas ekonomi dan kekuasaan). Prinsip industrialisasi ini memprioritaskan atensi pada kelompok miskin dan daerah pedesaan, bukan kelompok kaya dan daerah perkotaan.

Yogyakarta, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar