Setiap daerah, pasti
memiliki seorang tokoh sentral nan bijak, yang banyak jasa terhadap keteraturan
daerah tersebut. Jejak mereka dikisahkan dari mulut ke mulut, sebagai bagian
dari kebudayaan folklor.
Figur-figur sentral
ini, lambat laun menjadi ikon lokalitas. Dalam beberapa situasi, folklor yang
menampilkan para pembesar taraf lokal dimunculkan oleh desa perdikan.
Jajat Burhanudin dalam
bukunya Ulama dan Kekuasaan; Pergumulan
Elite Politik Muslim dalam Sejarah Indonesia, menyebut bahwa sistem dan
budaya politik Jawa di desa perdikan menjadi sarana menciptakan dan mengawal
tata negara (njaga tata-tentreming
pradja).
Memandang agama ikut
andil penting dalam pemerintahan, para raja Mataram mengangkat sejumlah ulama
untuk ditempatkan di desa-desa tertentu. Mereka diberi tugas untuk memelihara
makam elite kerajaan dan kaum bangsawan, mengorganisasi bermacam kegiatan
keagamaan di tempat ibadah, dan menyebarluaskan syiar Islam.
Di desa-desa tadi,
ulama memiliki wewenang untuk mengatur hampir semua persoalan. Menariknya,
folklor juga memantapkan posisi figur sentral di puncak hierarki kewibawaan di
ranah lokal.
Mereka sangat
dihormati, baik sebelum ataupun setelah kematiannya. Saat masih hidup, mereka
dipilih sebagai pemimpin lokal atau lurah. Keturunannya berhak menjadi aparatur
desa.
Di dalam buku Prospek Pedesaan 1987 disebutkan bahwa
dalam masyarakat tradisional, pamong desa tumbuh dari “dalam”. Sedangkan kepala
desa adalah primus interpares—yang
pertama di antara sesama.
Melalui mereka,
pelaksanaan proyek diturunkan dari atas, dan dengan sendirinya lembaga desa
menjadi bagian terbawah dari hierarki birokasi.
Figur
Pemersatu
Di Bojonegoro, Jawa
Timur, ada sebuah folklor tentang tokoh yang berwibawa. Ia dipercaya sebagai
pembangun lima desa, yakni Slandeng, Tanggungan, Mruwut, Mbak Atu, dan Ndukoh,
menjadi satu desa besar bernama Semambung.
Dahulu, saat Belanda
masih berkuasa, kelima daerah tersebut saling selisih paham. Tingkat
kepercayaan dan kerukunan rendah. Ditambah lagi, sebagian penduduknya memiliki
kekuatan fisik dan kesaktian. Tak jarang, mereka saling baku hantam, adu
kesaktian.
Perkelahian semacam itu
menjadi alternatif utama untuk memecahkan masalah. Di dalam diri mereka, ada
kepercayaan bahwa kewibawaan dihadirkan dari seberapa kuat tubuh mengangkangi
musuh. Syak wasangka mendorong mereka, secara tak sadar, melestarikan tradisi
barbar.
Hadirnya Ki Ageng
Mruwut membawa angin segar bagi perubahan desa-desa itu. Perilaku orang desa,
perlahan mulai berubah. Pandangan terhadap realitas pun bergeser.
Sikap terbuka
diperlihatkan dengan menerima masukan dari luar. Mereka tak lagi kaku dalam
memaknai prinsip kehidupan leluhur. Pendekatan yang ditempuh Ki Ageng Mruwut
ternyata sanggup meluluhkan hati mereka. Kekolotan warga desa dihadapi dengan
luwes dan bijak. Kiprahnya menyebabkan daerah-daerah yang bermusuhan dapat
bersatu.
Ki Ageng Mruwut, yang
memiliki hubungan darah dengan Sunan Mahmudin Ashari (Sunan Bejagung), datang
dari Tuban. Setelah melewati hutan belantara dan melintasi sungai Bengawan
Solo, ia berhasil ke wilayah itu.
Saat itu, air sungai
mengalir dari barat Desa Ngrengel hingga kaki gunung Ngrengel. Lalu, peralihan
zaman menjadikan alirannya mulai surut, bahkan berhenti.
Ciri-ciri Bengawan
akhirnya benar-benar raib. Tak heran kalau sejumlah orang menyebutnya “Bengawan
mati”. Kemudian, aliran air pindah jalur, dan mengelilingi wilayah yang
nantinya bernama Semambung.
Kembali ke Ki Ageng
Mruwut. Selain dikenal sebagai pemersatu daerah-daerah yang bergejolak, ia juga
dinilai berjasa menyebar Islam. Bahkan, opini publik menganggapnya sebagai
tokoh perdana yang membawa Islam ke Desa Semambung.
Danyang
Nama Ki Ageng Mruwut
diabadikan sebagai sosok yang selama ini dipercaya mengenalkan Islam, bersama
dengan Kyai Cele, Kyai Tegal Agung, Kyai Thol Joyo Negoro, Kyai Joyo Negoro,
Kyai Masnegoro, Kyai Yahya, Kyai Sarafuddin, Kyai Panembusan, Kyai Pademangan,
dan Nyai Kademangan.
Kedudukan Ki Ageng
Mruwut diyakini cukup tinggi, baik di hadapan manusia maupun Sang Khalik. Umat
Islam di desa ini senantiasa menaruh hormat, sebab merasa berutang budi kepada
Ki Ageng Mruwut. Ialah “orang suci” yang genap menghibahkan pengetahuan tentang
halal dan haram.
Karena perannya inilah,
ia mengantongi kewibawaan yang cukup besar. Tak heran makamnya dikeramatkan.
Agenda tahunan yang
diselenggarakan masyarakat dengan maksud memperingati kematian Ki Ageng Mruwut
mengindikasikan bahwa kewibawaannya tetap diakui sepanjang masa. Hal ini juga
menunjukkan, tercabutnya ruh dari raga tidak lantas meruntuhkan martabatnya.
Kewibawaan tetap dibawa ketika ia berhijrah ke alam nir kasat mata.
Desa-desa lainnya juga
memiliki figur serupa Ki Ageng Mruwut. Biasanya, setelah meninggal dunia,
sebagian tokoh sentral dinobatkan sebagai danyang—roh pelindung desa.
Figur berwibawa yang meninggal
dunia dilegitimasi menjadi sosok yang dianggap mampu menyelamatkan desa dari
segala bentuk musibah dan malapetaka. Kewibawaan mengantarkan seseorang menjadi
makhluk astral yang dalam waktu-waktu tertentu memperoleh persembahan dan
sesaji.
Di dalam kebudayaan
Jawa, setiap desa memiliki ruh pelindung yang bersemayam dalam pohon rindang.
Menurut Zaini Muchtarom dalam Santri dan
Abangan di Jawa, warga desa kerap membayangkan roh-roh itu tinggal di
dalamnya, sebelum tanah dibersihkan untuk pembangunan desa.
Lantaran dianggap
angker, sejumlah titik yang dikuasai danyang dilarang berpenghuni manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar