Hari-hari ini, terutama di
kota-kota besar, para perantau disibukkan dengan persiapan mudik alias pulang
kampung. Mereka meninggalkan hiruk-pikuk kota dengan segala kesibukannya. Bagi
mereka, alangkah celakanya jika Hari Raya dihabiskan dengan polusi udara,
kemacetan, dan kebisingan.
Jika hal itu terjadi, betapa nasib
telah mengempaskan mereka pada pusat kriminalitas dan tindak kekerasan. Berita
tentang pencurian, perampokan, pembunuhan dan pemerkosaan merupakan
"nutrisi" sehari-hari. Padahal, hari kemenangan seyogyanya dilalui
penuh khidmat tanpa gangguan yang berarti.
Untuk sementara mereka ingin
melupakan ritus kehidupan yang serba praktis. Atmosfer urban genap menjadikan
mereka lebih kaku, mekanis, dan kurang peka terhadap lingkungan. Intimitas
manusia seringkali menjadi tumbal perangkat-perangkat urban.
Modernitas sebagai capaian utama
kota-kota besar memberi jalan untuk mengesampingkan perasaan. Mereka adalah
robot-robot hidup yang selalu mengutamakan pertimbangan logis. Imbasnya, alasan
rasional kerap mendasari ucapan dan perbuatan.
Sikap serba terburu-buru menjadi
pedoman hidup mengalahkan kehati-hatian dan kewaspadaan. Sisi-sisi humanis kian
luntur oleh menjamurnya nilai-nilai pragmatis. Bagaimanapun, kota merefleksikan
pengaruh hedonisme dan materialisme. Di dalamnya terdapat rivalitas para
pemodal dan kapitalis yang sibuk berebut keuntungan.
Kota mewujudkan mimpi-mimpi semu
dan artifisial orang-orang yang bernafsu menggapai kesuksesan. Dengan
berkunjung ke desa, mereka berusaha meruntuhkan gejolak egoisme dalam diri. Hasrat
individualistis yang mulai tumbuh berusaha dipangkas sedemikian rupa.
Hubungan manusia yang syarat
kepentingan dibelokkan menjadi interaksi berbasis kekeluargaan. Kerja sama
tercipta tidak sekadar memenuhi persyaratan dunia kerja yang penuh formalitas
dan basa-basi, namun juga membangun harmonisasi kehidupan sehari-hari.
Kerukunan yang terjalin lebih didasarkan pada nilai-nilai toleransi,
kebersamaan, dan gotong-royong.
Desa merajut kembali ikatan
pertemanan dan kekerabatan yang mulai pudar. Kolektivisme orang desa mampu
menundukkan kesombongan, kewibawaan, dan kehormatan. Gairah berdesa menjadi
pemantik seseorang melepaskan jabatan, identitas formal, dan status sosial.
Hanya di desa, pepatah "duduk sama rata, berdiri sama tinggi" mampu terealisasi.
Jadilah manusia makhluk tanpa kasta.
Prinsip-prinsip demokrasi dijunjung
tinggi dengan menghargai segala bentuk perbedaan. Identitas agama, budaya, dan
suku bangsa melebur, menihilkan beragam perselisihan dan permusuhan.
Mereka menganggap desa sebagai sarana
peredam segala kerinduan. Meski sudah bertahun-tahun berada di tanah rantau,
mereka terikat dengan iklim perdesaan yang guyub, damai, dan tenang. Desa
menjadi tempat istirahat paling nyaman dan mengesankan. Desa menampung
romantisme masa kecil yang penuh kenangan. Di sana terbentang ribuan kenangan
yang menautkan masa kini dengan masa silam.
Semangat hidup kaum urban boleh
jadi dipupuk sejak kecil ketika masih menghirup udara perdesaan. Kebijakan dan
motivasi hidup bisa dengan mudah dipetik dari moda kehidupan sederhana, namun
menjanjikan kebahagiaan.
Masa depan gemilang tidak terlepas
dari "sejarah hidup" yang penuh proses. Jajanan perdesaan paling
tidak mampu menyelamatkan tubuh dari imbas junk food. Makanan instan yang kian
menjamur berusaha diimbangi dengan hidangan tradisional.
Pasang Surut
Otonomi
Tradisi mudik menggambarkan
kerinduan para perantau tentang romantisme desa yang otonom. Sejak masa
kerajaan, desa memiliki otonomi yang begitu besar. Sayangnya, telaah sejarah
dan produk legal menunjukkan bahwa bobot otonomi desa mengalami kemerosotan
drastis.
Pelemahan terhadap otonomi desa
terutama dilakukan oleh pemerintah dengan menerbitkan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini menghendaki adanya penyeragaman
bentuk pada pemerintahan desa. Tujuannya untuk memperkuat desa supaya mampu
menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, menyelenggarakan
administrasi desa yang lebih efektif dan efisien serta memberikan dorongan
perkembangan dan pembangunan masyarakat desa.
Selain itu, penyeragaman tersebut
bertujuan agar "Demokrasi Pancasila" bisa terwujud secara nyata. Akan
tetapi, realitas berbicara lain. Dengan adanya undang-undang tersebut,
masyarakat desa bukan diberdayakan, melainkan lebih dibudidayakan/diperlemah,
karena sumber penghasilannya dikeruk, hak ulayat mereka selaku masyarakat
tradisional diambil.
Masyarakat desa juga masih asing
dengan Demokrasi Pancasila. Yang perlu disesalkan yaitu politik penyeragaman
pemerintahan desa dilakukan tanpa mengindahkan keberagaman kultur masyarakat
adat dan bentuk pemerintahan asli lokal (Solekhan, 2012: 49).
Runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998
menjadi momen penting diadakannya perubahan besar-besaran terhadap pemerintahan
lokal. Pada era Reformasi ini, desentralisasi dan demokratisasi diangkat
menjadi isu utama perubahan politik negara. Euforia pembebasan yang bergaung
rupanya ikut menjangkiti desa.
Desakan masyarakat desa agar
diadakan perombakan besar-besaran terhadap pemerintahan desa dijawab pemerintah
pusat dengan berulang kali menerbitkan undang-undang tentang desa.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah peraturan
perundang-undangan terbaru yang diharapkan mampu mewujudkan demokrasi
perdesaan.
Urgensi
Partisipasi
Realitas tercerabutnya otoritas
asli, keswadayaan, dan kemandirian desa mengharuskan adanya penguatan otonomi
desa yang merupakan upaya sistematik dalam rangka mengubah wajah desa ke arah
terwujudnya tatanan masyarakat baru dengan berpijak pada prakarsa rakyat. Hal
paling mendasar yang perlu diperhatikan yaitu tingkat partisipasi aktif
masyarakat desa dalam menentukan arah dan bentuk tatanan yang berlaku di daerah
setempat.
Partisipasi masyarakat desa turut
menentukan masa depan desa. Perkembangan desa akan menunjukkan grafik yang
signifikan apabila masyarakat desa terlibat dalam keputusan-keputusan penting
mengenai desa. Mengingat, masyarakat desa merupakan pihak yang paling mengerti
tentang kebutuhan desa. Lebih dari itu, mereka juga berhak dalam proses serta
hasil dari penataan kehidupan mereka sendiri.
Terlebih lagi, setiap kebijakan
publik, termasuk di tingkat lokal, haruslah mencerminkan sinergi antara tiga
poros kekuatan dalam proses pengambilan keputusan. Ketiga kekuatan yang
dimaksud yaitu pemerintah desa, lembaga legislatif desa, serta masyarakat desa;
masing-masing pihak diberi kedudukan yang sama dalam mencetuskan kebijakan
publik.
Dalam kerangka teoritisnya, upaya
membangkitkan partisipasi masyarakat bisa dilakukan dengan menetapkan saluran
atau akses bagi masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan.
Bagaimanapun, pembangunan diselenggarakan untuk memenuhi kepentingan
masyarakat, bukan pejabat pemerintah. Oleh dasar itulah, masyarakat harus
dilibatkan dalam proyek pembangunan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pemanfaatan hasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar