Kamis, 13 Juli 2017

Implementasi Jaga Warga (Wacana_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Bernas" edisi Sabtu, 10 Juni 2017)


Delapan desa di Kulonprogo mengantongi kepercayaan untuk melaksanakan program Jaga Warga. Sejumlah desa yang dimaksud yaitu Giripeni dan Bendungan di Wates, Karangsari, Tawangsari, dan Margosari di Pengasih, Kedundang di Temon, Hargorejo di Kokap, serta Pendoworejo di Girimulyo. Masyarakat setempat diharapkan berkontribusi dalam upaya memelihara ketenteraman dan kesejahteraan sosial di lingkungan masing-masing.
Selama ini, gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat rentan menghambat kelancaran pembangunan daerah. Dengan diluncurkannya program ini, masyarakat desa hendaknya memiliki kepedulian supaya wilayah sekitarnya tetap aman, nyaman, serta kondusif. Mereka dituntut lebih peka terhadap problematika yang mengancam stabilitas daerah, seperti premanisme, narkoba, serta konflik antarwarga.

Urgensi Partisipasi
Di antara tujuan program Jaga Warga yaitu melibatkan masyarakat dalam urusan publik. Mereka diajak untuk bersama-sama memperhatikan kondisi sekitarnya. Dalam iklim yang demokratis, kedudukan warga negara benar-benar diakui, di mana hak dan kewajiban mereka genap diatur dalam Pasal 27 Sampai 34 UUD 1945. Mereka tidak lagi diperankan menjadi objek, melainkan sebagai subjek pembangunan. Di sinilah arti penting masyarakat dalam mendukung kebijakan pemerintah daerah. Guna mewujudkan prinsip-prinsip good governance di tingkat lokal, partisipasi merupakan keniscayaan.
Partisipasi menjadi sarana yang efektif dalam menumbuhkan kembali modal sosial di desa. Partisipasi menghendaki terbangunnya masyarakat yang mandiri dengan ikatan sosial yang kuat. Apalagi, merangseknya budaya urban ke wilayah perdesaan membuat semangat kekeluargaan dan kerja sama di tingkat grassroot (akar rumput) kian luntur. Padahal, sejak dulu, prinsip kebersamaan melekat pada diri orang desa. Dalam kehidupan desa berlaku gotong-royong, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan rakyat.
Pada masa kerajaan Majapahit, tradisi ini disebut rajakarya, atau dalam bahasa Jawa baru gugur gunung. Sebagaimana arti menurut susunan katanya, rajakarya tidak dikhususkan bagi kepentingan raja atau penguasa semata. Rajakarya juga diberlakukan untuk kepentingan masyarakat desa. Tradisi ini disemarakkan oleh para penghuni desa tanpa disertai upah (Slamet Muljana, 2005: 100-101).
Dalam negara demokrasi, pemberdayaan masyarakat dalam berbagai kepentingan publik merupakan hal yang urgen. Pemerintah daerah dituntut mampu melahirkan lembaga-lembaga atau organisasi non-negara yang menjadi saluran preferensi di aras lokal. Kehadiran lembaga atau organisasi tersebut tidak menghambat jalannya pemerintahan, melainkan justru membantu terlaksananya kebijakan. Agenda pendampingan yang dicanangkan bisa memfasilitasi peran lembaga atau organisasi non-negara dalam pembangunan daerah.
Demokratisasi sebagai salah satu prinsip kelembagaan lokal sangat penting karena sejumlah alasan. Pertama, meningkatkan partisipasi atau keterlibatan masyarakat dalam menginisiasi sekaligus mewujudkan kebijakan pemerintah supra desa. Kedua, membekali pendidikan politik bagi masyarakat dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik. Ketiga, membangun kepercayaan, baik sesama warga desa maupun antara masyarakat dengan pemerintah. Sebagaimana diketahui, akhir-akhir ini, kepercayaan kepada elite pemerintahan semakin melemah.

Perlu Solidaritas
Implementasi program Jaga Warga memerlukan solidaritas. Partisipasi orang desa dalam kegiatan-kegiatan publik dan sosial kemasyarakatan meniscayakan interaksi dan komunikasi yang intens. Semua yang terlibat dalam program ini harus mempunyai komitmen untuk mendukung kebijakan pemerintah daerah.
Agar bernuansa demokratis, partisipasi semestinya tidak meninggalkan perempuan. Bagaimanapun, kaum Hawa memegang peranan penting dalam mengintegrasikan kebutuhannya dalam program-program pemerintah daerah. Berbagai pengalaman di lapangan membuktikan bahwa budaya patriarkal membuat proses pengambilan keputusan di tingkat lokal berada dalam dominasi laki-laki. Padahal, iklim yang berpihak pada kaum Adam hanya menjadikan program Jaga Warga “jalan di tempat”.
Yang tidak kalah penting, terhadap berbagai macam permasalahan, masyarakat bisa menempuh langkah preventif yang dinilai lebih baik dibanding mekanisme “pemadam kebakaran”, di mana upaya penyelesaian dilakukan setelah masalah muncul ke permukaan. Karena berusaha mencegah risiko dan bahaya di masa mendatang, langkah ini membutuhkan perencanaan yang matang. Dalam konteks inilah, mereka dapat menggelar musyawarah formal dan informal. Dengan demikian, kecuali berhubungan dengan tindak pidana yang tentu menjadi domain aparat kepolisian, masalah-masalah sosial bisa teratasi dengan baik.

Yogyakarta, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar