Secara perlahan,
digitalisasi menyebabkan pergeseran sanksi sosial. Seiring dengan berubahnya
semangat zaman dan berkembangnya aturan hidup manusia, sanksi sosial mengalami
evolusi. Saat modernisasi dan globalisasi tak mungkin dinihilkan, muncul pola
dan karakter sanksi sosial yang sebelumnya tak dijumpai. Hal ini menggambarkan
bahwa sanksi sosial senantiasa menyesuaikan dengan realitas yang mengelilingi
manusia. Ada titik singgung antara pemikiran manusia yang semakin maju dengan
sanksi sosial bercorak baru.
Kini, sanksi sosial
juga menampung nilai-nilai modern seperti dalam dunia maya. Orang desa yang
melek teknologi menjadikan jagat virtual sebagai sarana menjatuhkan sanksi
sosial para pelanggar norma.
Dulu, pasangan kumpul kebo ditelanjangi dan diarak keliling
desa, sekarang suami atau istri yang berselingkuh cukup diabadikan dalam kamera
atau ponsel, lantas dilempar ke ruang publik. Masyarakat lintas desa, daerah,
bahkan negara diajak untuk bersama-sama menghakimi. Dengan demikian, risiko dan
konsekuensinya lebih besar. Rasa malu tidak lekas dapat disembuhkan. Trauma
seseorang yang telanjur berbuat kesalahan boleh jadi dirasakan selama
bertahun-tahun.
Sanksi sosial tidak
lagi berfungsi mendidik, melainkan untuk membalas dendam dan mencari pembenaran
terhadap segala bentuk kekerasan psikologis. Ditambah lagi, melalui media
sosial, siapa pun merasa berhak menjatuhkan sanksi sosial. Orang-orang yang
tidak tahu-menahu tentang duduk peristiwa atau latar belakang kejadian bisa
seenaknya ikut menghukum.
Akhirnya, kewenangan
mengadili berada di tangan semua orang. Para pesakitan digiring untuk dibawa ke
pengadilan rimba yang rasa keadilannya belum tentu memuaskan. Interpretasi
keadilan menjadi sangat relatif. Media sosial layaknya ajang pembantaian bagi
siapa saja yang telah berbuat alpa. Bagaimanapun, kesalahan tak bisa ditolerir.
Dalam taraf tertentu, manusia mulai enggan menerima alasan. Seseorang yang
berusaha mempertahankan kebenaran justru dianggap menyampaikan alibi
menyesatkan.
Bully
menjadi senjata menghancurkan kehidupan orang lain. Dalam berbagai situasi,
serapah dengan mudahnya dilontarkan. “Kata-kata jamban” yang kurang pantas
diucapkan memenuhi ruang publik. Setiap permasalahan dihadapi dengan
spontanitas dan ketergesaan. Seiring dengan begitu cepatnya roda kehidupan
manusia, keputusan dihasilkan dengan serba terburu-buru. Fakta dan opini
direspons tanpa menelusuri dan kroscek.
Berbagai peristiwa
berlalu tanpa filter dan pengendapan. Akhirnya melahirkan informasi abal-abal (hoax). Banyaknya orang yang terjerat UU
ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) menunjukkan, sikap dan
perilaku manusia mengesampingkan moralitas. Ketika rasionalitas semakin
didewakan, pertimbangan logis mengalahkan suara nurani.
Modal
Sosial
Ironisnya, berbagai
fasilitas yang ditawarkan jagat virtual menyebabkan orang desa pun mulai
melupakan modal sosial. Padahal, selama ratusan tahun, mereka menjadi pengawal
utama kebersamaan dan toleransi. Bagi masyarakat perdesaan, kebutuhan sosial
melebihi keperluan sehari-hari. Uang yang disediakan untuk aktivitas
tolong-menolong dan kerja sama seringkali lebih besar daripada modal untuk
menyekolahkan anak dan menyumpal perut. Boleh dibilang, kebutuhan sosial
bercorak primer lantaran keberadaannya mendesak dan tak mungkin ditangguhkan.
Sejak silam, di wilayah
perdesaan, sanksi sosial merupakan momok. Dicetuskannya sanksi sosial memaksa
mereka membedakan kewajiban dan larangan. Tampaknya cemooh dan gunjingan lebih
dikhawatirkan ketimbang risiko gizi buruk. Tak heran, orang desa rela
merendahkan diri untuk memperoleh pinjaman uang demi menghadiri pesta
perkawinan. Hal yang mungkin sukar dijumpai ketika seseorang ingin membeli susu
atau buah-buahan, misalnya.
Begitu pula dengan
respons musibah. Orang desa begitu sigap menghadapi kematian. Rasanya tak ada
yang mengalahkan kegesitan mereka saat menangani orang mati. Mereka memegang
teguh filosofi, penguburan cepat langkah terbaik bagi jenazah. Mereka percaya,
tindakan demikian dapat menghindarkan roh dari segala bentuk penyiksaan. Sebagaimana
semasa hidup, orang mati juga merasakan perhatian lebih atau tidak.
Dalam taraf tertentu,
kematian diratapi namun juga ditanggapi dengan hikmat dan bijak. Di balik
kesedihan tersimpan geliat berdesa. Di sinilah modal sosial begitu tampak dalam
aktivitas warga. Kebersamaan dan gotong-royong menyertai kehidupan
bermasyarakat. Ucapan bela sungkawa tidak mesti diwujudkan dengan sekadar
menampakkan kesedihan, namun juga gairah toleransi. Ketika salah seorang di
antara mereka meninggal, tetangga serta kerabat segera merawat dan mengubur.
Revitalisasi
Seiring dengan semakin
derasnya arus digitalisasi hingga perdesaan, dibutuhkan revitalisasi modal
sosial yang memang sangat penting dalam proses pendewasaan manusia dan
transformasi sosial. Pengalaman berbagai negara menunjukkan kuatnya keterkaitan
antara modal sosial dan potensi terbangunnya masyarakat mandiri. Modal sosial
juga berhubungan erat dengan semangat kebersamaan suatu bangsa.
Melalui corong Daulat Ra’yat No 75 edisi 10 Oktober
1933, Mohammad Hatta mensinyalemen semangat kebersamaan masyarakat asli
Indonesia bersumber dari proses kepemilikian dan pengolahan tanah. Di wilayah
perdesaan, tanah sebagai faktor produksi terpenting pada masa silam merupakan
milik bersama (keluarga, kaum, suku, dan masyarakat desa), bukan milik
perorangan atau penguasa.
Maka, penggunaan
sebagian tanah untuk memenuhi kebutuhan suatu keluarga hanya bisa diwujudkan
melalui jalan musyawarah dan kesepakatan bersama. Ini baik di kalangan
keluarga, kaum, suku, maupun warga desa keseluruhan. Namun demikian, keputusan
kolektif disertai catatan, tanah kembali berada dalam kepemilikan bersama
ketika tidak lagi dimanfaatkan keluarga tertentu. Kelak, tanah ini bisa
digunakan masyarakat lain dengan aturan serupa.
Asas kebersamaan inilah
yang seharusnya dipegang teguh ketika seseorang berselancar di dunia maya.
Pemanfaatan media sosial sebagai sarana komunikasi dan interaksi di ruang
publik semestinya diimplementasikan dengan menghargai hak orang lain. Harkat
dan martabat manusia senantiasa dihormati. Penerapan sanksi sosial tidak boleh
dilakukan dengan hanya mengedepankan nilai-nilai individualisme. Kolektivisme
harus diutamakan melebihi kepentingan individu yang berjangka sesaat.
Selain itu, perlu
diperhatikan munculnya benturan berbagai kepentingan akibat beroperasinya
sistem nilai kolektivitas dan sistem nilai individual secara bersamaan.
Apalagi, belakangan digitalisasi cenderung berpihak pada kapitalisme yang
menihilkan prinsip-prinsip kekeluargaan dan kekerabatan.
Gema liberalisme selama
beberapa dasawarsa terakhir mengakibatkan pemikiran manusia lebih diarahkan
kepada diri sendiri daripada orang lain. Maka, penggunaan produk teknologi dan
perangkat digital selayaknya berdasar pada falsafah, kearifan, dan kebajikan
warisan leluhur dengan tetap menampung ide-ide modernitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar