Publik tengah
dikejutkan dengan temuan aparat kepolisian yang menyatakan bahwa sejumlah
perusahaan diduga telah mengoplos beras subsidi menjadi beras premium, menggencarkan
mis-selling, serta mencurangi
konsumen dengan menjual produk berkualitas lebih rendah dari label kemasan. Bermerk
“Maknyuss”.
Aksi nekat di atas
merupakan upaya sejumlah oknum untuk menjalankan usaha dengan cara ilegal.
Dengan cara mengotori iklim bisnis yang sehat sekaligus mengesampingkan
keselamatan pembeli, mereka ingin meraup sebanyak mungkin keuntungan.
Peluang menjadikan
beras sebagai sarana menggandakan laba berangkat dari kesadaran bahwa nasi merupakan
makanan pokok masyarakat Indonesia, terutama orang Jawa. Dalam kehidupan orang
Jawa, nasi menduduki posisi penting dan tak tergantikan. Betapa nasi turut
menentukan perkembangan sosio-kultur masyarakat Jawa. Nasi membentuk sikap,
perilaku, dan pola pikir masyarakat Jawa dari dahulu hingga sekarang.
Nasi menyuguhkan pesan
moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi sosial. Hikayat tentang
nasi menawarkan pemahaman tentang kearifan lokal, sehingga nilai-nilai budaya
masyarakat Jawa bisa diwariskan. Legenda Jaka Tarub sebagai salah satu cerita
rakyat yang diabadikan dalam naskah Babad
Tanah Jawi menyajikan secuplik kisah nasi.
Dikisahkan, Jaka Tarub
gemar keluar masuk hutan untuk berburu. Tanpa sengaja, ia melihat tujuh
bidadari sedang mandi di telaga, salah satunya Nawangwulan yang kemudian diperistri.
Sebelum menikah, Nawangwulan mengingatkan Jaka Tarub untuk tidak sekali-kali
menanyakan kebiasaannya menanak nasi dengan sebutir beras. Merasa penasaran,
Jaka Tarub membuka tutup penanak nasi. Akibatnya, kesaktian Nawangwulan raib
dan sejak itu ia menanak nasi lazimnya perempuan biasa.
Simbolisasi
Nasi menjadi simbol
penting dalam selamatan. Ritual yang
genap mendarah daging dalam masyarakat Jawa tersebut tak bisa terlepas dari
akar sejarah kepercayaan yang mereka anut. Sebagai wujud rasa syukur, orang
Jawa mengundang beberapa kerabat, teman, dan tetangga dengan menyajikan bermacam-macam
hidangan. Tujuan utamanya yaitu memperoleh keselamatan dan menghindarkan
bencana.
Berbagai jenis ritual selamatan keluarga Jawa, semisal tingkeban, babaran, sepasaran, selapanan,
pitonan, sunat, perkawinan, dan kematian menyajikan tiga macam nasi, yaitu
nasi putih, nasi merah dan bubur. Clifford Gerrtz (1969) menulis bahwa nasi
putih ditaruh di sekeliling (bagian luar) dan nasi merah diletakkan di tengah-tengah
meja. Putih menggambarkan pemuas ibu, merah adalah air bagi ayah, dan campuran
keduanya berguna untuk menjauhkan roh-roh jahat.
Nasi merupakan
prasyarat agar adat-istiadat Jawa bisa diterima. Nasi menjadi salah satu unsur
digelarnya tradisi suran dalam rangka
menyambut tahun baru dalam sistem penanggalan Jawa. Tradisi yang semula milik
elite dan kemudian menyebar di kalangan masyarakat jelata tersebut menggunakan
nasi sebagai sesaji.
Dalam lingkup istana
Surakarta, yang kental dengan kirap pusaka keraton dengan unsur magis dan
mitologis, suran selalu menyertakan
persembahan berupa nasi. Guna menuruti kegemaran penguasa Pantai Selatan Nyi
Ratu Kidul, dibuatlah nasi putih berbentuk kerucut dengan telur di ujungnya
(tumpeng megana dan tumpeng asahan).
Dalam peribahasa Jawa,
terdapat ungkapan “ana dina ana upa”
(ada hari ada sebutir nasi) yang memuat makna filosofis tinggi. Peribahasa ini
sebagai gambaran orang Jawa yang bisa menerima keadaan dengan tetap memupuk
optimisme. Masyarakat Jawa dianjurkan untuk senantiasa berusaha mencari rejeki
agar terhindar dari musibah kelaparan. Dengan demikian, peribahasa ini memiliki
hubungan dengan peribahasa Jawa lain, “sing
sapa gelem obah bakal owah” (barang siapa mau bergerak, niscaya nasib juga
berubah).
Mengutip pandangan
Suwardi (2014), peribahasa di atas merupakan ungkapan berpikir positif yang
menjadikan hidup orang Jawa semakin ringan. Pikiran positif mampu membuat jiwa
manusia semakin tenang, sehingga tidak dibayang-bayangi oleh apa yang
dikhawatirkan. Sebaliknya, pikiran negatif rentan membuyarkan tujuan yang ingin
dicapai dan hanya menjadi beban hidup. Sayangnya, dalam perkembangannya,
peribahasa ini mengalami salah tafsir. Sebagian masyarakat Jawa belum merasa
makan jika perutnya belum terisi nasi, meski sudah kenyang menyantap makanan
lain.
Pola
Kuliner
Boleh jadi, cara
berpikir sebagian masyarakat Jawa terhadap nasi mulai bergeser seiring dengan
terjadinya perubahan drastis aspek-aspek kehidupan di Nusantara pada 1870. Saat
itu, orang-orang Belanda mengubah corak penyajian nasi lebih bermartabat. Identitas
nasi sebagai makanan pribumi terangkat setelah mendapat atensi kaum kolonial.
Risttafel
sebagai konsep modern pertama dalam sejarah kuliner Indonesia lahir dari proses
akulturasi unsur budaya Jawa dan Eropa. Ketika makanan Eropa susah ditemukan,
muncul sifat adaptif orang-orang Belanda yang bersedia mengonsumsi nasi. Kebiasaan
dan pola konsumsi Wong Londo berubah,
sebab menyesuaikan dengan lingkungan sekitar.
Kombinasi makanan
pribumi dengan tata saji Barat menunjukkan perkembangan ragam penyajian dan
variasi hidangan, sehingga makanan pribumi dapat hadir dalam gaya Eropa (Fadli
Rahman, 2011: 90). Elemen budaya Nusantara,
salah satunya Jawa, barangkali berperan melahirkan faktor penentu perkembangan risttafel dalam periode selanjutnya.
Nasi juga mengubah pola
kuliner orang Jawa yang bermukim di perkotaan. Saat ini, kaum migran lebih suka
memilih nasi tradisional dibanding hidangan cepat saji (fast food). Nasi tradisional menjadi makanan favorit guna
mengganjal perut. Itulah mengapa, di sejumlah pusat jajanan, restoran, bahkan
kaki lima, tersedia aneka nasi tradisional.
Sebagai pemantik
klangenan masa lalu, orang-orang urban membeli nasi bak moi (Semarang), nasi
brongkos (Demak), nasi lengko (Brebes), nasi megono (Pekalongan), dan nasi
pecel (Ponorogo). Dalam ragam nasi tradisional tersebut tersimpan citra
kehidupan pedesaan yang asri, guyub, dan penuh keakraban. Ketika pola kehidupan
urban semakin keras, mereka membutuhkan fantasi yang dapat menjinakkan berbagai
tragedi. Yang ini tentu lebih maknyus dari beras merk Maknyuss, kan?
Yogyakarta, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar