Sukses bermusik dan
menelurkan sederet album ternyata tidak membuat personel grup band Slank
berpuas diri. Demi mendorong perkembangan kalangan usaha kecil dan menengah
(UKM), kini mereka merambah bisnis kopi.
Bisnis kopi saat ini
mulai menjamur di mana-mana. Mulai dari tempat elite hingga ke area perumahan
hingga di gang-gang sempit perkampungan. Bagaimana pun, dalam aspek sosiologis
dan ekonomis, keberadaan warung kopi (warkop) mempunyai kedekatan emosional dengan
masyarakat kecil yang bermukim di desa.
Merosotnya nilai rupiah
yang seolah semakin menjadi-jadi saat ini kemudian ditambah dengan melonjaknya
harga kebutuhan pokok serta menyempitnya lahan pekerjaan selalu disambut dengan
riang oleh masyarakat perdesaan. Bahkan, di sela-sela menghayati penderitaan,
mereka mampu menyelipkan semacam perayaan. Bila kaum urban menggelar pesta
dengan red wine, kaum rural
merayakannya dengan rokok dan secangkir kopi.
Seseorang dapat saja
terseok-seok saat melunasi SPP anak, membayar tagihan listrik, membeli sembako,
memenuhi kewajiban sosial, maupun keperluan lainnya. Akan tetapi, kebiasaannya
mengonsumsi rokok (merokok) dan meminum kopi (ngopi) mesti tetap berjalan. Kedua kegiatan tersebut menjadi
semacam hiburan sekaligus kiat melarikan diri dari realitas nan penat.
Berbeda dengan golongan
tua yang melakukannya atas dasar kebutuhan, kepergian para remaja ke warkop
terkesan hanya untuk mengikuti tren. Semangat zaman mengajak generasi now untuk senantiasa mengikuti
arus. Terutama bagi para lelaki, rokok dan kopi menunjukkan eksistensi.
Maskulinitas seolah
hanya diukur dari jumlah kopi dan rokok yang dikonsumsi semata. Betapa
keberadaan mereka diakui ketika seharian berada di warkop. Sambil dengan santai
memandang jalanan melihat sekeliling serta sesekali mengeluarkan sumpah serapah
dan kata-kata kurang terpuji.
Sayangnya, apa yang
mereka lakukan kurang mendapat apresiasi. Aktivitas merokok dan ngopi
mengundang banyak cibiran dari masyarakat. Persepsi negatif ditunjukkan kepada
kaum perokok dan penikmat kopi dengan tingkat kedewasaan yang rendah. Tak heran
jika golongan tua menuduh kaum milineal tersebut malas, suka berhura-hura, dan
gemar menghabiskan uang.
Muncul penilaian bahwa
kepergian mereka ke warkop sebenarnya lebih pada upaya berburu jaringan
internet via WiFi. Akhir-akhir ini fenomena warung kopi yang menyediakan WiFi
genap menjamur sedemikian rupa.
Selain dimanfaatkan
untuk bermedia sosial (medsos) secara leluasa, tersedianya jaringan internet
membuat para remaja bisa berselancar di dunia maya. Dan fasilitas ini bisa
membuat kaum muda betah berlama-lama di kedai kopi. Ini membuat betapa
keranjingan terhadap internet menjadikan mereka dinilai sudah lalai terhadap
tugas dan kewajibannya.
Budaya
Instan
Dalam konteks inilah,
citra warkop semakin merosot. Warkop tak lebih dari sekadar loka penyemaian
benih-benih individualisme. Pertemuan dua sahabat atau perkumpulan suatu
kelompok di warkop tidak lantas menjanjikan keakraban dan kedekatan personal.
Hal ini disebabkan
antara lain oleh tujuan mengunjungi warkop yang lebih diarahkan untuk menghibur
diri daripada berinteraksi. Meski sama-sama berada di satu tempat, mereka
saling menutup mulut. Lantaran lebih sibuk dengan gadget-nya, mereka merasa
keberatan untuk sekadar menyapa.
Masing-masing memilih
untuk mengakrabi diri di layar ponsel dan sambil sudah barang tentu bermedsos
ria. Jagat virtual ternyata lebih menarik daripada realitas yang tampak di
depan mata. Akhirnya, warkop hanya menjadi medium pelampias perasaan sekaligus
pengumbar kebencian.
Warkop yang tersambung
jaringan internet juga menyuguhkan pertemanan bercorak dangkal dan artifisial.
Komunikasi yang terjalin melalui Facebook, Instagram, Whatsapp, Line, dan
sebagainya sulit menghadirkan ikatan persahabatan yang kental. Bahkan, sebagian
di antaranya mengarah ke ikhtiar pembohongan dan penipuan.
Bagi remaja yang masih
sekolah, warkop jenis ini tentu melahirkan budaya instan. Fasilitas WiFi
menjadikan mereka cenderung meremehkan tugas-tugas yang diberikan oleh guru.
Materi-materi yang semestinya diperdalam melalui buku atau media pembelajaran
lainnya cukup ditelusuri dengan bantuan Google atau Yahoo.
Globalisasi dan
modernisasi membuat para pelajar berorientasi pada tujuan sekaligus
mengesampingkan kerja keras. Akhirnya, aktivitas pembelajaran yang mengutamakan
proses kerap dinihilkan oleh perilaku instan.
Padahal, dahulu kala,
warkop memiliki citra positif. Terutama di kawasan pedalaman, warkop turut
menenun ikatan pertemanan, kekerabatan, dan kekeluargaan.
Meski terbilang sangat
sederhana, warkop digunakan oleh orang desa untuk menjalin komunikasi secara intens.
Kuatnya ikatan sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
antara lain dikukuhkan keberadaan warkop. Dengan merokok dan ngopi bersama-sama, rasa kepedulian
semakin terpelihara satu sama lainnya. Terbentuknya sekat-sekat dan kelas-kelas
sosial secara otomatis langsung hilang akibat intensitas kebersamaan yang
tinggi.
Berkumpulnya beragam
lapisan masyarakat dalam satu ruang dan waktu dimanfaatkan untuk berbagi kisah
dan pengalaman sekaligus bertukar pengetahuan. Dari proses inilah, sebagian
permasalahan masyarakat dapat teratasi. Munculnya pemecahan atas kesulitan
ekonomi, misalnya, lantaran adanya urun
rembuk di antara para pengunjung warkop. Mereka terdorong untuk mengulurkan
pertolongan kepada sesama, baik dengan uang maupun sekadar memberikan saran.
Perkembangan zaman
menuntut adanya perhatian serius terhadap eksistensi warkop. Citra negatif yang
melekat padanya bukan selayaknya dihadapi dengan sinis dan pesimistis.
Bagaimanapun, menjamurnya warkop di wilayah perdesaan sejauh ini harus dinilai
sebagai indikator kebangkitan ekonomi lokal ketimbang berkecambahnya
nilai-nilai intoleransi dan kemalasan.
Di sinilah pemberdayaan
warkop menemukan urgensinya. Orang tua diharapkan senantiasa memberikan
tuntunan kepada buah hati untuk cerdas bersikap. Dengan layanan WiFi di warkop,
kaum muda bisa menawarkan karya dan kreativitas kepada publik.