Saat berkunjung ke sejumlah
daerah, Jokowi seringkali memperoleh informasi bahwa munculnya sengketa lahan lantaran
banyaknya pemilik tanah yang belum mengantongi sertifikat. Atas dasar inilah, Jokowi
berupaya meningkatkan target penerbitan sertifikat tanah melalui Badan
Pertanahan Nasional (BPN).
Sebagaimana diketahui, dari
126 juta lahan yang ada, baru 46 juta lahan yang bersertifikat. Ini berarti, masih
tersisa 80 juta lahan yang belum bersertifikat.
Pembagian sertifikat
tanah tentu memberikan kabar gembira bagi masyarakat adat. Apa yang dilakukan
oleh pemerintah dinilai turut mengukuhkan eksistensi mereka di ranah publik. Melalui
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 10 tahun 2016 tentang Tata Cara
Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang
Berada Dalam Kawasan Tertentu, keinginan masyarakat adat untuk memiliki
kepemilikan tanah bersama bisa diwujudkan.
Sertifikasi tanah
mengandung ikhtiar pemerintah dalam menghormati hak komunal. Eksistensi
masyarakat adat sebagai bagian dari narasi kenegaraan dan imajinasi kebangsaan
diwujudkan dengan menampung kepentingan publik dalam produk hukum.
Kepentingan
Publik
Dalam catatan historis,
upaya perlindungan kepentingan publik genap dijumpai sejak masa silam. Salah
satunya di desa Banjarsari, Banyuwangi, Jawa Timur.
Pada tahun 1951,
pemerintah desa menggelar sidang desa yang dihadiri sekitar 175 orang penduduk setempat.
Dalam sidang tersebut disepakati pembentukan Ikatan Rukun Desa Banjarsari.
Berazas kemasyarakatan dengan
bersendi kerakyatan, persamaan dan gotong royong, organisasi ini bertujuan
mempersatukan segenap masyarakat desa untuk mencapai kemakmuran desa, mengatur
dan memperbaiki keadaan desa serta melaksanakan pembangunan desa. Meski keberadaannya
sempat ditentang oleh sejumlah pihak, akan tetapi perkumpulan ini tetap berdiri.
Surat kabar Pewarta Soerabaia edisi 02-02-1951
mencatat bahwa sidang tersebut “mendesak kepada jang berwadjib, supaja tanah2
milik desa jang kini berada dalam tangan perseorangan, kembali mendjadi milik
desa. Selain dari itu, telah direntjanakan pula pembentukan lumbung2 desa,
koperasi dan pemberantasan buta huruf akan diaktifkan serta ditambah dengan
mengadakan kursus2 pengetahuan umum.”
Hal ini mengindikasikan
bahwa penduduk setempat bermaksud membangkitkan semangat kebersamaan sekaligus
mengubur egoisme dalam-dalam. Kentalnya ikatan sosial membuat orang-orang desa
mengutamakan komunalisme di atas individualisme. Dengan lahirnya Ikatan Rukun
Desa Banjarsari, mereka ingin senantiasa menguatkan jalinan kekeluargaan dan
persahabatan.
Kebijakan negara untuk
mengusung kepentingan publik juga pernah ditempuh dengan memunculkan konsep
desa percobaan. Maksud pemerintah mengadakan desa percobaan ialah untuk memberikan
semacam percontohan sekaligus menularkan inspirasi bagi desa-desa lainnya
tentang kiat mengadakan perbaikan dan kemajuan dalam berbagai bidang.
Berdasarkan pemberitaan
majalah Pesat edisi 27-02-1952, di
antara bidang yang dimaksud yaitu, “berichtiar mentjari sumber2 penghasilan,
seperti: pasar desa, peternakan-perikanan desa, menjewakan tanah2 desa dsb.
Maksudnja, ialah supaja desa mendapat penghasilan jg tjukup utk membeajai
segala perongkosannja, sesuai dengan tjita2 Otonomi Desa.”
Lahirnya desa percobaan
menghendaki bahwa kedudukan desa selalu mendapat penghormatan dan pengakuan dari
negara. Pemberdayaan sumber-sumber ekonomi lokal mencerminkan bahwa pemerintah bermaksud
mengutamakan penghasilan domestik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Rekognisi terhadap kekayaan dan pendapatan lokal dilakukan
supaya desa mampu mewujudkan otonominya.
Paham
Individualisme
Melalui Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 10 tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan
Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam
Kawasan Tertentu, semestinya masyarakat adat berpeluang untuk mempunyai tanah
bersama. Akan tetapi, dalam praktiknya, formalisasi hak komunal ternyata tidak
jauh berbeda dengan sertifikasi hak individual.
Dalam pandangan Dewi
Kartika (2017), semestinya masyarakat adat bisa mewujudkan kepemilikan tanah bersama
secara berkelompok melalui hak komunal. Namun, diberikannya sertifikat individu
kepada mereka justru dapat merusak tatanan masyarakat, karena nilai
gotong-royong yang ada semakin merosot.
Sekretaris Jenderal
(Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tersebut berpendapat bahwa kontrol
atas tanah yang berada di tangan individu, bukan kelompok, rentan melahirkan
mafia tanah dan spekulan yang berusaha membujuk masyarakat untuk melepas
tanahnya. Dengan demikian, upaya negara untuk melindungi kepentingan umum
justru dimanfaatkan oleh sejumlah oknum guna berburu keuntungan yang coraknya
individual.
Pada dasarnya pola
sertifikasi tanah tidak terlepas dari sejarah kelahirannya. Dalam buku Sosiologi Hukum: Kajian Hukum Secara
Sosiologis disebutkan bahwa sebenarnya pemilikan tanah dengan sertifikat
bukan termasuk budaya asli bangsa Indonesia.
Pada mulanya sertifikasi
tanah merupakan budaya Barat dengan paham individualisme. Dalam
perkembangannya, ikhtiar melindungi pemilikan tanah dengan sertifikat bercorak
legal-formal diselipkan dalam sistem hukum tanah nasional melalui Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA).
Dalam penerapannya,
ternyata sertifikasi tanah menimbulkan beragam masalah. Hal ini dikarenakan penguasaan
tanah pada masyarakat adat masih bersifat komunal, di mana sistem sertifikasi
tidak bisa diberlakukan. Pemberlakuan sistem sertifikasi barangkali rentan berimbas
negatif, terutama bagi sistem kekerabatan mereka. Bagaimanapun, nilai tanah
yang berada dalam kekuasaan komunal sangat berbeda dengan tanah yang dikuasai
secara personal.
Hingga kini, tanah
komunal-tradisional senantiasa dipelihara dan dipercaya oleh penduduk, terutama
sebagai warisan leluhur serta peninggalan pendiri desa. Itulah mengapa, tanah
komunal bukan saja dianggap sebagai lahan yang bersifat ekonomis, melainkan juga
mengandung nilai-nilai magis-religius.
Dalam taraf tertentu, tanah
jenis ini juga menjadi “katup penyelamat” bagi keluarga-keluarga inti yang memerlukannya
guna menyambung hidup. Sebagian keturunan mereka diberi sebidang tanah untuk
dimanfaatkan, dengan catatan bahwa tanah tersebut tetap bercorak komunal (Rianto Adi, 2012: 70).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar