Sejumlah desa di
berbagai penjuru tengah dilanda bencana alam, terutama banjir. Selain
mengakibatkan rusaknya fasilitas publik dan hilangnya harta benda, malapetaka
ini juga membuat penduduk desa terluka bahkan meninggal dunia.
Hebatnya, munculnya
musibah tidak lantas membuat ikatan orang desa rapuh, melainkan semakin kuat.
Dengan konsensus tak tertulis, mereka bahu-membahu menghilangkan rasa sedih,
depresi serta trauma.
Komunalisme membimbing
mereka untuk turut serta merasakan penderitaan orang lain. Dengan berbagi
perasaan, mereka bermaksud menyelipkan hiburan bagi siapa saja yang tertampar
musibah.
Pengalaman sejarah
memberikan pelajaran berharga bagi orang desa untuk sebisa mungkin menjaga
kebersamaan. Interaksi sosial terjalin dalam kegiatan sehari-hari. Psikologi
dan sosiologi perdesaan terbentuk lantaran ketika memperoleh musibah, orang
desa menghadapinya dengan bijak.
Kepemimpinan
Lokal
Bagi masyarakat
perdesaan, usaha meringankan penderitaan sesama genap terlembaga selama ratusan
tahun silam. Muncul kebijaksanaan bahwa kesedihan yang menimpa salah satu atau
sebagian anggota desa ditanggung oleh semua warga.
Kearifan lokal inilah
yang terbukti sanggup menguatkan solidaritas dan kepercayaan di antara mereka.
Dengan demikian, ikhtiar mengatasi kesedihan tidak hanya berada di pundak
individu, melainkan juga tanggung jawab banyak orang.
Berjalannya kehidupan
di desa meniscayakan atensi besar terhadap segala bentuk kenestapaan. Dalam
upaya mengusir kesengsaraan, pemimpin memegang amanah yang lebih berat.
Bagi masyarakat
Gorontalo, misalnya, kepemimpinan berdasarkan nilai kearifan hileia, yaitu kemampuan kepala dalam
menanggulangi bala (dembulo), seperti
kematian, bencana alam, serta musibah lainnya.
Menurut bahasa
setempat, hileia bermakna dulialo atau takziah menghibur keluarga
yang berduka. Pemimpin tidak boleh “tebang pilih” saat menyambangi siapa saja
yang didera kemalangan. Ia harus memperlakukan semua lapisan masyarakat secara
adil dan sederajat.
Selaku warga, setiap
orang berhak menerima belaian “kasih sayang” sang pemimpin. Hak mendapat
kunjungan dan simpati kepala desa bukan berlandaskan kelas sosial, akan tetapi
bermukimnya individu di suatu tempat.
Dengan demikian, tidak
hanya mengatur tata kehidupan desa, menjalankan pelayanan administratif, serta
bertanggung jawab kepada pemerintahan di atasnya, kepala desa juga dituntut
hadir dalam kesedihan warga.
Di sinilah fungsi dan
peran pemimpin lokal diuji. Dalam taraf tertentu, ia bukan hanya terlibat dalam
perkara formal-mekanis, namun juga kultural-psikologis. Ketentuan demikian
sesuai dengan Pasal 26 Ayat (4) UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Keramahan dan
kepedulian pemimpin lokal Gorontalo digenapi dengan kesigapan warga saat
mengulurkan bantuan. Para tetangga memindahkan dapurnya dan memasak berbagai
hidangan di rumah keluarga yang tertimpa musibah dengan bergotong-royong.
Hal ini terutama
ditemukan dalam kasus kematian. Di samping peralatan dapur, setiap warga
membawa pula bahan makanan, semisal beras, sayur, ikan (ayam), serta bumbu
dapur sesuai kemampuan masing-masing untuk kemudian dimasak bersama seraya
menghibur keluarga yang berduka (Jans Wilianto Nasila, 2014: 148).
Membangun
Kesadaran
Sayangnya, di beberapa
tempat, kearifan lokal semacam ini mulai ditinggalkan. Industrialisasi dan
gejala mengkota pada desa-desa Indonesia berimbas pada meningkatnya
individualisme masyarakat perdesaan.
Kini, orang desa lebih
disibukkan dengan urusannya sendiri daripada memerhatikan kepentingan orang
lain. Aktivitas berbagi perasaan diwujudkan dengan berkoar di media sosial
(medsos). Akhirnya, dunia maya menjadi sarana melarikan diri dari realitas.
Apalagi, muncul
prediksi bahwa pada tahun 2035, penduduk desa tinggal 30%. Adapun sisanya
memilih kota sebagai loka bermukim. Kecenderungan di atas mengindikasikan
hilangnya kesadaran tentang desa sebagai akar dan identitas kultural.
Merupakan suatu
kebanggaan ketika mereka sanggup mengatrol “status” dari wong ndeso menjadi kaum urban. Betapa hari-hari mereka dipenuhi
dengan hasrat dan cita-cita urban. Dengan demikian, telah terjadi pergeseran
konsep urbanisasi dari ranah fisik ke ranah psikologis.
Urbanisasi tidak hanya
dimaknai sebagai aktivitas fisik, tetapi juga paradigma berpikir masyarakat.
Dalam konteks inilah,
diperlukan upaya serius dari semua pihak untuk memupuk kesadaran generasi muda
bahwa desa merupakan tempat hunian yang senantiasa menjanjikan kenyamanan,
ketenteraman dan kesejahteraan.
Dana desa yang
bersumber dari APBN dapat digunakan untuk membangkitkan perekonomian lokal,
sehingga mereka tidak tergiur untuk berburu rupiah di wilayah perkotaan.
Apabila kesadaran ini terbangun dengan baik, niscaya prinsip kehidupan leluhur
dan nenek moyang tetap diwariskan lintas generasi.
Berbagai wujud kearifan
lokal para pendahulu bisa dibangkitkan kembali sebagai sarana meringankan
penderitaan korban bencana alam, khususnya banjir. Kearifan lokal yang dimiliki
oleh orang-orang desa dapat diadopsi oleh mereka yang tinggal di kota-kota
besar.
Sehingga, upaya
membendung derasnya air, tidak cukup dilakukan dengan mengandalkan gelontoran
uang dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah semata, melainkan juga melalui
kearifan lokal yang diimpelementasikan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar