Belakangan ini, publik
dihebohkan dengan insiden vandalisme situs Majapahit. Melalui media sosial, seorang
warga Mojokerto mengunggah sebuah foto yang menunjukkan aktivitas penjarahan
batu bata dari struktur bangunan bersejarah di Desa Kumitir, Kecamatan
Jatirejo, Kabupaten Mojokerto.
Kegiatan destruktif ini
merupakan pelanggaran hukum yang dapat dikenai sanksi pidana. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Pasal 66 Ayat (1), “Setiap orang dilarang
merusak cagar budaya baik seluruh maupun bagian-bagiannya”. Adapun Pasal 105
undang-undang ini menuturkan, “Pelaku perusakan terancam hukuman penjara paling
singkat satu tahun dan paling lama 15 tahun dan/atau denda sebesar 500 juta rupiah
hingga 5 miliar rupiah”.
Ironisnya, meski
pengambilan batubata kuno secara ilegal telah berlangsung sejak lama, namun pemerintah
setempat mengaku tidak mengetahuinya. Hal ini mengindikasikan bahwa perhatian
terhadap keberadaan desa sangat rendah. Padahal, rusaknya situs purbakala dalam
suatu desa rentan meluluhlantakkan semangat hidup warga desa. Betapa warisan
historis turut melekatkan identitas kultural bagi orang desa yang terkenal ulet
dan tangguh. Dari satu generasi ke generasi selanjutnya, situs purbakala mampu
menularkan kepribadian dan keperkasaan para leluhur pada masa silam. Itulah
mengapa, meski kerap terbelit dengan urusan perut, mereka tetap mampu menjalani
hidup dengan tegar.
Kesadaran
Berdesa
Saat
Majapahit masih berjaya, pemerintah memiliki perhatian besar terhadap
eksistensi desa beserta kekayaan kultural di dalamnya. Sikap ini berangkat dari
fakta bahwa desa merupakan embrio negara. Cikal-bakal Majapahit bermula dari sebuah
desa di sebelah timur Sungai Brantas yang pada tahun 1292 mengalami
pembangunan. Dengan pembukaan hutan Tarik oleh Nararya Sanggramawijaya, desa yang
telah direnovasi diberi nama Majapahit. Para penduduknya adalah orang-orang Madura
dan Singasari yang menaruh simpati kepada Nararya Sanggramawijaya selaku kepala
desa. Menurut Tafsir Sejarah
Nagarakretagama, setelah nekat memecundangi Raja Jayakatwang serta berhasil
mengusir tentara Tartar, Nararya Sanggramawijaya mengambil alih kekuasaan
Kediri. Ia kemudian mengatrol “status” Majapahit menjadi ibu kota kerajaan
dengan terlebih dahulu memperluas wilayahnya. Pada saat inilah, Majapahit
berubah dari desa menjadi negara sekaligus pusat kerajaan.
Kesadaran berdesa
dipegang teguh oleh raja-raja Majapahit. Dengan mendaulat beberapa orang
menjadi buyut, raja melimpahkan
tanggung jawab penuh bagi para pemimpin lokal tersebut dalam mengurus kesejahteraan
masyarakat di wilayah pedalaman. Undang-undang pratigundala dijadikan pedoman untuk mengatur pemerintahan dan
kehidupan desa. Perhatian para pembesar kerajaan terhadap keamanan desa antara
lain ditunjukkan oleh Hayam Wuruk yang percaya bahwa demi membentuk negara yang
digdaya, kelestarian desa merupakan prasyarat utama. Lebih jauh, ia meyakini
bahwa kerusakan desa berarti kerusakan negara.
Perjalanan
Hayam Wuruk ke sejumlah daerah menggambarkan rasa simpati terhadap desa serta
bangunan suci di dalamnya. Di samping memeriksa realisasi tugas pejabat
pemerintahan pusat, lawatan sang prabu yang disambut hangat oleh para warga tersebut
juga dimaksudkan untuk menyaksikan kondisi kehidupan rakyat di desa-desa kekuasaan
Majapahit. Tentu ia belum merasa puas dengan cukup mendengar laporan bawahannya
tentang nasib wong cilik. Tujuan lain
perjalanan Hayam Wuruk yaitu supaya semua durjana lenyap dari wilayah kerajaan.
Itulah sebabnya semua desa dikunjungi, ditelusuri, diteliti, meski berada di tepi
pantai laut (Slamet Muljana, 2005: 96). Fakta ini menunjukkan, penguasa
berupaya menjauhkan desa dari segala bentuk kriminalitas dan aksi vandalisme.
Primary Actor
Penyelamatan nasib desa
beserta apa yang dikandungnya merupakan hal yang urgen dan mendesak. Insiden perusakan
situs purbakala di Mojokerto harus segera ditangani secara serius. Seiring dengan
semakin tergerusnya bukti kebesaran nenek moyang, masa depan bangsa seolah tergadaikan.
Guna mengatasi vandalisme batubata bersejarah, dua langkah berikut mesti segera
ditempuh.
Pertama,
aparat kepolisian bergerak cepat dengan mengusut tuntas insiden tersebut. Demi
memberikan efek jera, mereka yang terbukti sebagai pelaku layak menerima
hukuman setimpal. Ringannya sanksi pidana hanya akan memancing tindakan serupa
di masa mendatang. Apalagi, kasus semacam ini genap terjadi berulang kali. Betapa
tahun demi tahun menjadi saksi atas keberingasan para penjarah benda-benda bernilai
historis. Pengusutan meniscayakan penggalian informasi secara mendalam terhadap
kemungkinan adanya “otak” di balik tindakan perusakan situs kuno. Sehingga, sanksi
hukum bukan saja menjerat oknum lokal, melainkan juga jaringan regional dan nasional.
Kedua,
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur meminta bantuan pemerintah
desa dalam upaya menguak vandalisme. Selama ini, muncul asumsi bahwa para elite
lokal jarang dilibatkan dalam menyelesaikan kriminalitas dengan aset historis
sebagai sasarannya. Lemahnya pengawasan terhadap peninggalan purbakala antara
lain dikarenakan minimnya kontribusi pemerintah desa. Padahal, semestinya mereka
menjadi primary actor (aktor utama) yang
senantiasa memelihara, mempertahankan, serta menjunjung tinggi warisan
bersejarah. Ketetapan mengenai hal ini terpampang dengan jelas dalam peraturan
legislasi. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 Pasal 26 Ayat (2) menyebutkan bahwa
aparatur desa berwenang mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat desa.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus