Korban minuman keras (miras)
oplosan kembali terjadi di DIY. Korban sia-sia yang membuat Gubernur DIY Sri
Sultan Hamengku Buwono X kembali mengimbau masyarakat senantiasa mengendalikan
diri dan menjauhi miras. Imbauan bermakna filosofis: bahwa segala sesuatu yang
rentan meluluhlantakkan masa depan anak bangsa layak dihindari. Bagaimanapun,
kemajuan negara tidak mungkin diraih jika masyarakatnya dalam kondisi teler.
Menurut catatan
historis, orang-orang yang gemar mabuk selalu mengantongi stereotip negatif,
baik di mata rakyat maupun penguasa. Muncul asumsi bahwa mereka yang kerap
berbuat onar dengan mengonsumsi miras rentan dijauhi masyarakat. Mereka dinilai
menerabas norma hukum, agama serta susila. Betapa ketenteraman, kenyamanan
serta keamanan masyarakat terganggu oleh kehadiran mereka. Siapa saja yang
nekat menenggak miras dinilai bukan hanya merusak diri sendiri, melainkan juga
menghancurkan sendi-sendi peradaban yang dibangun nenek moyang selama berabad
silam.
Kerajaan
Pada zamannya, kerajaan
enggan memberikan peluang bagi pecandu miras untuk tampil di depan publik.
Formalisasi dan legalisasi melalui peraturan perundang-undangan dilakukan demi
menghindarkan kekuasaan desa dari tangan mereka. Dicegahnya para peminum dari
jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan lokal bermaksud agar desa dapat
senantiasa dijauhkan dari gejala-gejala kehancuran. Bagaimana mungkin orang
yang telah teracuni minuman memabukkan mampu memikirkan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Itulah mengapa, kursi kepemimpinan lokal hanya boleh
diduduki oleh orang-orang berpikir sehat yang senantiasa berjarak dengan miras.
Dalam karya Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat
Mangkunegaran, Wasino (2008: 131) mencatat bahwa pecandu merupakan salah
satu golongan yang dilarang dikukuhkan menjadi kepala desa. Rijksblad Mangkunegaran nomor 10 tahun
1917 menggariskan, orang-orang yang tidak bisa diangkat menjadi kepala desa yaitu:
1). Perempuan. 2). Orang yang belum dewasa. 3). Mantan kepala desa dan pejabat
yang diberhentikan tidak hormat. 4). Para penggemar judi, pamadad, atau pecandu minuman keras. 5). Orang-orang yang dianggap
tidak mampu atau kurang layak menjadi pemimpin desa lantaran sakit, berusia
tua, lemah fisik atau mental. 6). Orang-orang yang pernah dikenai sanksi pidana
dan tidak mengantongi ampunan. 7). Orang yang tidak tinggal di desa setempat.
Berdasarkan penelitiannya,
Mohammad Sobary (2007: 120-121) menunjukkan bahwa di suatu desa tercatat unsur
pembeda antara ‘orang alim’, ‘orang nakal’ serta ‘kelompok menengah’. Ulama,
haji dan kaum fanatik beragama (Islam) dikategorikan selaku orang alim. Orang-orang
yang suka melanggar larangan-larangan agama digolongkan sebagai orang nakal.
Adapun di antara keduanya terdapat kelompok menengah, yaitu siapa saja yang
memiliki prinsip keagamaan kurang kuat. Dalam kehidupan sehari-hari, ketiga
kelompok tersebut saling menyindir dan melontarkan hujatan. Mereka mempertahankan
sikap dan pendirian masing-masing dengan didukung oleh pengikut-pengikut setia.
Tingkat
Kesalehan
Dalam praktiknya,
kategorisasi di atas seringkali melahirkan problematika akut. Munculnya
masalah-masalah sosial di beberapa daerah antara lain merupakan imbas dari
pengelompokan masyarakat berdasarkan tingkat kesalehan. Dalam tataran tertentu,
sebutan-sebutan negatif yang disematkan kepada seseorang menjadikannya
pesimistis. Motivasi hidup dan optimisme sulit dibangkitkan lantaran sebagian
masyarakat genap menjulukinya kaum terlaknat. Hal ini diperparah dengan
kegemaran sebagian organisasi masyarakat (ormas) bertindak sewenang-wenang.
Tanpa melibatkan pihak berwajib, golongan beraliran radikal tersebut menghakimi
mereka secara sepihak. Tak jarang, aksi tersebut diwarnai dengan kekerasan.
Persekusi ditempuh demi
menegakkan kebenaran dan perintah Tuhan. Menurut ormas ini, orang-orang yang
terjerumus dalam aktivitas mabuk-mabukan harus memperoleh peringatan sekaligus
ganjaran setimpal. Mereka yang terlanjur dicap sebagai pemabuk dianggap tidak
berhak menerima rahmat Tuhan. Klaim demikian mengukuhkan persepsi bahwa surga
seolah diciptakan hanya bagi kalangan tertentu. Padahal, adanya stratifikasi
sosial pemilah ‘yang baik’ dan ‘yang buruk’ semestinya tidak lantas membuat
psikologi peminum dan pecandu semakin terperosok.
Bagaimanapun, sejumlah
faktor acap mendahului terjebaknya seseorang dalam lubang kemaksiatan. Dalam
konteks inilah, diperlukan pendekatan multidisipliner guna menyelamatkan
generasi bangsa dari kejamnya ‘minuman setan’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar