Rabu, 10 Januari 2018

Miras dan Stratifikasi Sosial (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Kedaulatan Rakyat" edisi Rabu, 10 Januari 2018)


Korban minuman keras (miras) oplosan kembali terjadi di DIY. Korban sia-sia yang membuat Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X kembali mengimbau masyarakat senantiasa mengendalikan diri dan menjauhi miras. Imbauan bermakna filosofis: bahwa segala sesuatu yang rentan meluluhlantakkan masa depan anak bangsa layak dihindari. Bagaimanapun, kemajuan negara tidak mungkin diraih jika masyarakatnya dalam kondisi teler.
Menurut catatan historis, orang-orang yang gemar mabuk selalu mengantongi stereotip negatif, baik di mata rakyat maupun penguasa. Muncul asumsi bahwa mereka yang kerap berbuat onar dengan mengonsumsi miras rentan dijauhi masyarakat. Mereka dinilai menerabas norma hukum, agama serta susila. Betapa ketenteraman, kenyamanan serta keamanan masyarakat terganggu oleh kehadiran mereka. Siapa saja yang nekat menenggak miras dinilai bukan hanya merusak diri sendiri, melainkan juga menghancurkan sendi-sendi peradaban yang dibangun nenek moyang selama berabad silam.

Kerajaan
Pada zamannya, kerajaan enggan memberikan peluang bagi pecandu miras untuk tampil di depan publik. Formalisasi dan legalisasi melalui peraturan perundang-undangan dilakukan demi menghindarkan kekuasaan desa dari tangan mereka. Dicegahnya para peminum dari jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan lokal bermaksud agar desa dapat senantiasa dijauhkan dari gejala-gejala kehancuran. Bagaimana mungkin orang yang telah teracuni minuman memabukkan mampu memikirkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Itulah mengapa, kursi kepemimpinan lokal hanya boleh diduduki oleh orang-orang berpikir sehat yang senantiasa berjarak dengan miras.
Dalam karya Kapitalisme Bumi Putra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran, Wasino (2008: 131) mencatat bahwa pecandu merupakan salah satu golongan yang dilarang dikukuhkan menjadi kepala desa. Rijksblad Mangkunegaran nomor 10 tahun 1917 menggariskan, orang-orang yang tidak bisa diangkat menjadi kepala desa yaitu: 1). Perempuan. 2). Orang yang belum dewasa. 3). Mantan kepala desa dan pejabat yang diberhentikan tidak hormat. 4). Para penggemar judi, pamadad, atau pecandu minuman keras. 5). Orang-orang yang dianggap tidak mampu atau kurang layak menjadi pemimpin desa lantaran sakit, berusia tua, lemah fisik atau mental. 6). Orang-orang yang pernah dikenai sanksi pidana dan tidak mengantongi ampunan. 7). Orang yang tidak tinggal di desa setempat.
Berdasarkan penelitiannya, Mohammad Sobary (2007: 120-121) menunjukkan bahwa di suatu desa tercatat unsur pembeda antara ‘orang alim’, ‘orang nakal’ serta ‘kelompok menengah’. Ulama, haji dan kaum fanatik beragama (Islam) dikategorikan selaku orang alim. Orang-orang yang suka melanggar larangan-larangan agama digolongkan sebagai orang nakal. Adapun di antara keduanya terdapat kelompok menengah, yaitu siapa saja yang memiliki prinsip keagamaan kurang kuat. Dalam kehidupan sehari-hari, ketiga kelompok tersebut saling menyindir dan melontarkan hujatan. Mereka mempertahankan sikap dan pendirian masing-masing dengan didukung oleh pengikut-pengikut setia.

Tingkat Kesalehan
Dalam praktiknya, kategorisasi di atas seringkali melahirkan problematika akut. Munculnya masalah-masalah sosial di beberapa daerah antara lain merupakan imbas dari pengelompokan masyarakat berdasarkan tingkat kesalehan. Dalam tataran tertentu, sebutan-sebutan negatif yang disematkan kepada seseorang menjadikannya pesimistis. Motivasi hidup dan optimisme sulit dibangkitkan lantaran sebagian masyarakat genap menjulukinya kaum terlaknat. Hal ini diperparah dengan kegemaran sebagian organisasi masyarakat (ormas) bertindak sewenang-wenang. Tanpa melibatkan pihak berwajib, golongan beraliran radikal tersebut menghakimi mereka secara sepihak. Tak jarang, aksi tersebut diwarnai dengan kekerasan.
Persekusi ditempuh demi menegakkan kebenaran dan perintah Tuhan. Menurut ormas ini, orang-orang yang terjerumus dalam aktivitas mabuk-mabukan harus memperoleh peringatan sekaligus ganjaran setimpal. Mereka yang terlanjur dicap sebagai pemabuk dianggap tidak berhak menerima rahmat Tuhan. Klaim demikian mengukuhkan persepsi bahwa surga seolah diciptakan hanya bagi kalangan tertentu. Padahal, adanya stratifikasi sosial pemilah ‘yang baik’ dan ‘yang buruk’ semestinya tidak lantas membuat psikologi peminum dan pecandu semakin terperosok.
Bagaimanapun, sejumlah faktor acap mendahului terjebaknya seseorang dalam lubang kemaksiatan. Dalam konteks inilah, diperlukan pendekatan multidisipliner guna menyelamatkan generasi bangsa dari kejamnya ‘minuman setan’. 

Bojonegoro, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar