Minggu, 14 Januari 2018

Simbolisasi Dokar dalam Politik (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Tribun Jateng" edisi Jumat, 12 Januari 2018)


Berada di atas dokar, pasangan Sri Hartini-Setia Budi Wibawa berangkat ke KPU guna mendaftarkan diri dalam ajang Pemilihan Bupati Kudus. Maju dengan diusung PKS, Gerindra, dan PBB, keduanya menaiki dokar dari Rumah Aspirasi Loram, Kudus menuju Jalan Ganesha nomor 4, Purwosari. Hartini mengaku bahwa pemilihan dokar sebagai alat transportasi merupakan kiat berbaur dengan rakyat kecil.
Dokar memang identik dengan simbol rakyat kecil yang bermukim di desa. Keberadaan alat transportasi tradisional tersebut menggambarkan perjuangan orang-orang desa menyiasati beratnya beban hidup. Dalam upaya mendongkrak tingkat perekonomian, dokar menjadi pilihan yang tepat untuk mengangkut barang dagangan sebelum transaksi jual-beli dilaksanakan.
Bagi masyarakat perdesaan, dokar merupakan salah satu sarana yang sangat penting dalam upaya mengokohkan bangunan harmoni. Dikukuhkannya ikatan sosial lantaran seringnya tetangga naik dokar bersama. Dalam taraf tertentu, alat transportasi yang memanfaatkan tenaga kuda tersebut turut menggerus ketimpangan sosial akibat munculnya kelas-kelas sosial dalam masyarakat.

Kemiskinan Akut
Meski akhir-akhir ini berjumlah terbatas, nyatanya keberadaan dokar justru menjadi daya tarik tersendiri. Bagi wisatawan lokal, dokar menjadi pemantik kenangan masa silam yang penuh gairah dan kegembiraan. Adapun bagi turis mancanegara, dokar mengandung nilai-nilai kehidupan pribumi serta kearifan lokal yang barangkali tidak ditemukan di negara asal. Itulah mengapa, di beberapa kawasan wisata, dokar sengaja disediakan guna menambah pundi-pundi pendapatan pemerintahan daerah dari sektor pariwisata.
Fakta di atas menunjukkan betapa dalam kehidupan sehari-hari orang desa membutuhkan sarana transportasi. Tak berlebihan jika keberadaannya membantu kepala desa dalam menjalankan salah satu tugasnya “mengembangkan perekonomian masyarakat desa” sebagaimana digariskan dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.
Ilustrasi mengenai urgensi media transportasi ditunjukkan oleh realitas sosial di desa-desa yang terletak di kawasan perbatasan di Kabupaten Entikong yang menunjukkan pemandangan ‘mengerikan’. Didahului oleh proses-proses tertentu, orang-orang yang hidup di sana mengalami kemiskinan akut. Hal ini antara lain disebabkan oleh minimnya jalan dan alat transportasi yang membuat desa-desa tersebut menjadi daerah terpencil dan jauh dari pusat kegiatan di Indonesia.
Desa-desa di Provinsi Kalimantan Barat yang terisolasi ternyata berdekatan dengan desa-desa di Sarawak yang terbilang makmur. Kemiskinan akut yang menimpa penduduk di desa-desa perbatasan ini menjadi absolut ketika disandingkan dengan kemakmuran orang-orang yang bermukim di desa-desa yang menjadi bagian dari Sarawak. Dalam Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di Indonesia: Sebuah Tantangan (2011: 19) disebutkan bahwa kenyataan inilah yang menyebabkan alasan seseorang untuk berpindah ke desa-desa tetangga sekaligus beralih kewarganegaraan menjadi warga Negara Malaysia semakin kuat.

Image Positif
Kemiskinan dan keterbelakangan desa bercorak struktural. Bagaimanapun, problematika kemiskinan terbelenggu dalam struktur ekonomi, sosial serta kebudayaan masyarakat desa. Tak heran jika upaya mengentaskan kemiskinan tidak dapat dicapai dengan langkah-langkah instan. Bagaimanapan, tanpa perombakan dan penyesuaian berbagai struktur kehidupan, problematika kemiskinan tak mungkin teratasi. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mengoptimalkan bidang transportasi sebagaimana gagasan Sarbini Sumawinata.
Dalam buku Politik Ekonomi Kerakyatan, ia menyatakan bahwa semua usaha yang berlaku di bidang industri manufaktur sebenarnya dapat diterapkan dalam bidang transportasi. Kegiatan-kegiatan ekonomi, baik di dalam desa maupun antardesa, hendaknya menghindari motorisasi. Meskipun demikian, di wilayah perdesaan diperlukan rancangan angkutan yang memaksimalkan fungsi roda dan kemudi. Dengan demikian, angkutan tersebut memiliki tingkat efìsiensi yang cukup tinggi. Dalam konteks inilah, perlu rancangan alat transportasi berupa gerobak modern yang ditarik dengan kuda.
Rancangan ini menjanjikan beberapa keuntungan. Pertama, menghemat energi. Kedua, menghindari polusi udara. Ketiga, meningkatkan produktivitas. Tersedianya alat pengangkut yang dihela oleh kuda tentu dinilai secara teknis lebih baik dibandingkan dengan cara dan alat transportasi berupa pikulan yang memakai tenaga manusia. Angkutan yang dirancang tersebut dipastikan bisa menambah produktivitas yang berlipat ganda. Di samping itu, sarana transportasi tersebut sudah cukup memadai dengan kebutuhan-kebutuhan suatu desa serta menjangkau jarak yang tidak terlalu jauh yang menghubungkan antara desa satu dengan desa lainnya. Dengan peralatan demikian, pengusahaan transportasi merupakan usaha kolektif dan kooperatif yang diusahakan oleh tenaga terlatih dari orang desa serta tetap berada dalam jangkauan kemampuan orang-orang desa (Sarbini Sumawinata. 2004: 204).
Munculnya wacana di atas mengindikasikan betapa dokar sejak lama memiliki image positif. Oleh karena itu, citra yang selama ini genap menempel pada dokar jangan sampai hilang tergantikan citra negatif lantaran menjadi unsur pemenangan bakal calon kepala daerah. Dengan ditariknya sarana tradisional tersebut dalam jagat politik, diharapkan dokar tetap identik dengan simbol harmoni dan peranti pengatrol ekonomi ketimbang media kampanye yang digunakan oleh elite politik untuk menyembunyikan jatidiri sekaligus merendahkan harga diri.

Bojonegoro, 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar