Kasus Sri Rabitah yang
diduga kuat menjadi korban perdagangan orang dan perdagangan organ tubuh di
Qatar, empat tahun silam, seolah terkubur seiring dengan gencarnya berbagai
berita politik di media cetak dan daring. Padahal, tenaga kerja wanita asal
Desa Sesait, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat tersebut
sedang menanti keadilan. Penyidikan oleh Subdit IV Direktorat Reserse Kriminal
Umum (Ditreskrimum) Polda NTB sejak Bupati Lombok Utara Nazmul Akhyar
melaporkan kasus tersebut pada 11 April 2017 menunjukkan bahwa kasus Rabitah masih
berlanjut.
Apa yang dialami oleh
Rabitah merupakan secuplik dari rentetan panjang kisah penderitaan perempuan di
negeri ini. Terutama di wilayah pedalaman, perempuan kurang mengantongi akses
dan kesempatan untuk mengambil keputusan. Arah dan jalan hidup mereka seolah
hanya mengikuti ke mana bandul zaman bergerak.
Hingga saat ini, potret
perempuan desa direpresentasikan dengan gadis yang menikah pada usia belia
(10-15 tahun), terpaksa putus sekolah, mempunyai kesehatan reproduksi buruk,
tercemar lingkungan, serta angka kematian ibu (AKI) yang kian meroket. Kawasan
perdesaan yang pada mulanya merupakan “lumbung padi”, kini tak lebih sekadar
“penghasil” perempuan dan anak buruh migran sektor informal, gadis kecil yang sengaja
dilacurkan, korban trafficking, penderita
busung lapar, dan sebagainya. (Sulistyowati
Irianto [ed.], 2008: 279).
Melalui buku Dekonstruksi Seksualitas Poskolonial: dari
Wacana Bangsa hingga Wacana Agama, Yasir Alimi (2004: 79) menunjukkan bahwa
demi kepentingan bangsa, perempuan sebelum masa developmentalisme dianjurkan
untuk menghasilkan keturunan sebanyak mungkin. Sebaliknya, juga demi
kepentingan bangsa, perempuan didorong bahkan diwajibkan untuk membatasi angka
kelahiran. Pada masa developmentalisme, seorang ibu dituntut mempunyai maksimal
dua anak. Oleh perangkat desa, tak jarang perempuan yang mengesampingkan
program Keluarga Berencana (KB) dicap sebagai “komunis”.
Fakta di atas
mengindikasikan begitu rentannya posisi perempuan di ranah publik. Hak mereka
kerap diabaikan demi terpenuhinya misi penguasa. Beberapa program dan kebijakan
pemerintah yang diselundupkan hingga wilayah perdesaan telah mengerdilkan
hakikat perempuan.
Momok
Menakutkan
Celakanya, perampasan
hak kaum Hawa semakin dikukuhkan dengan praktik poligami. Betapa poligami telah
menjadi momok menakutkan bagi mereka. Sejumlah kasus menunjukkan bahwa
menjamurnya poligami tidak dilandasi dengan niat dan tujuan mulia. Seringkali
poligami dijadikan oleh para lelaki sebagai alibi mengumbar berahi, bukan
ikhtiar mengulurkan kasih sayang dan pertolongan kepada orang-orang yang
membutuhkan.
Praktik poligami
berdalih agama menggambarkan bahwa dalam lingkup rumah tangga, perempuan kerap
diposisikan sekadar sebagai konco wingking
(teman di belakang). Tak heran jika keseharian kaum Hawa identik dengan dapur,
sumur, dan kasur. Budaya patriarki yang cukup kuat mengakar dalam kehidupan
masyarakat membuat peran mereka dinihilkan.
Padahal, pada era
1980-an, pemerintah sempat mengurangi laju perkembangan poligami dengan
melarang pemimpin lokal beristri banyak. Sebagaimana diketahui, lantaran
menyandang perekonomian yang mapan, dahulu kala kepala desa gemar berbini. Hal
ini dilakukan antara lain demi menyokong kedudukan elite lokal di mata
masyarakat. Poligami merupakan salah satu kiat mengatrol status sosial
sekaligus memantapkan image (citra)
di hadapan publik. Pada beberapa kasus, poligami bahkan menjadi gaya hidup (way of life) para pemimpin di level lokal.
Berdasarkan pernyataan Memed Tohir, pada waktu itu disinyalir masih
banyak kepala desa beristri lebih dari satu. Harian Pikiran Rakyat edisi 09-02-1984 pernah mengutip ucapan Bupati
Cirebon tersebut, “Jadi kalau mereka yang punya isteri lebih dari seorang itu,
berminat kembali mengikuti pemilihan Kepala Desa tentunya mereka harus
menceraikan isteri-isterinya sampai benar-benar hanya beristeri seorang saja.”
Fondasi Peradaban
Upaya memperjuangkan hak Rabitah seakan menguap apabila eksistensi
perempuan di berbagai penjuru negeri ini masih direndahkan. Padahal, potensi
perempuan dapat dimanfaatkan sebagai medium pengukuh fondasi peradaban bangsa.
Atas dasar inilah, berbagai proyek pembangunan sebaiknya senantiasa melibatkan
tenaga dan pikiran perempuan. Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang desa antara lain menggariskan bahwa perempuan berhak disertakan
dalam keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa. Ini berarti, perempuan
mengantongi daya saing di hadapan kaum Adam.
Fakta-fakta di lapangan
menggambarkan tingginya produktivitas kaum Hawa. Dalam berbagai situasi, mereka
dinilai mampu memelihara motivasi bekerja. Berdasarkan realitas historis,
perempuan Nusantara sejak masa silam menggenggam etos kerja yang layak dibanggakan.
Keteguhan mereka dalam menyiasati beban hidup diturunkan lintas generasi.
Kelebihan ini, misalnya, terlihat jelas pada masa kolonialisme. Karakter tahan
banting antara lain dibuktikan oleh perempuan ketika Indonesia dikuasai oleh
Jepang.
Penelusuran
Hario Kecik (2009: 12) menunjukkan bahwa penjajahan Jepang genap menciptakan
istilah “bakul”. Kelompok baru di kalangan masyarakat perdesaan tersebut
terdiri dari para perempuan yang menjalankan aktivitas jual-beli antara desa
dan kota. Hasil tanaman di kawasan perdesaan, semisal rebung, pete, keluwak,
biji kopi mentah, dan lain-lainnya, dibawa demi mendatangkan keuntungan. Aneka
corak kebutuhan tersebut kemudian dijual atau ditukarkan dengan apa yang hanya
dijumpai di wilayah perkotaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar