Dalam sejarahnya,
setidaknya di negeri ini, kekuasaan (dalam arti politik) memiliki relasi
langsung dengan kekuatan (dalam arti fisik). Di mana ada kekuasaan di situ
tersimpan kekuatan. Maka, siapa saja yang dibekali kekuatan yang dapat
dibuktikan secara fisikal/material memiliki peluang kian besar pula untuk
mendapatkan kekuasaan.
Pola pikir masyarakat
kita yang sederhana dan tradisional itu mungkin dilatari oleh sejarah terbentuk
dan terebutnya kekuasaan di sebuah daerah atau kerajaan pada masa lalu yang
memang banyak didahului ”adu otot” ketimbang ”adu otak” semacam kampanye di
masa kini. Tak heran, bahkan para calon raja atau pemimpin lain di dalam hidup
tradisi kita harus memiliki latar belakang, pendidikan, atau latihan semacam kanuragan yang bisa memberi seorang
calon raja, misalnya, kekuatan atau ketangkasan fisik yang luar biasa.
Studi Onghokham
mengenai priayi dan petani memperlihatkan bukti pada abad XIX di mana sosok
jago(an) atau jawara secara natural menjadi pemimpin di perdesaan. Bagi
masyarakat desa, menurut Ong, jagoan dengan seluruh kapasitas fisikalnya
merupakan representasi dari semua kualitas kepemimpinan yang utama. Tingkat
kesaktian atau kapasitas itu menentukan tingkat kekuasaan yang bisa
direngkuhnya. Jagoan desa tentu saja belum apa-apa ketimbang priayi, apalagi
bupati dan terlebih seorang raja, sang ”jagoan super”, alias superhero.
Manusia
Pilihan
Kekuatan yang
didapatkan dari ”wahyu langit”, saking abstrak bahkan absurdnya, tentu saja
sulit diperoleh sembarang orang. Karena itu, ada semacam ”logika” kekuatan
semacam itu tidak dapat diajarkan, tetapi diwariskan. Inilah prosedur di mana
seorang penguasa besar, raja misalnya, selalu harus dimulai dari pertanda bahwa
sang calon (raja) telah menerima warisan (wahyu) kekuasaan lebih dulu.
Dalam cara berpikir
modern yang rasional-kritis, prosesus dan prosedur pemindahan kekuasaan itu
tentu saja menafikan kemampuan manusia sesungguhnya. Prinsip-prinsip
meritokratik tentu saja terbatalkan. Siapa saja, tak peduli jenis kelamin,
usia, bahkan kecacatan, jika ia dianggap telah membuktikan kewahyuan dalam
dirinya, ia pantas menjadi raja/pemimpin. Logika primordial ini berlaku
universal, di Inggris, Skandinavia, China, hingga di Jawa.
Pada titik ini,
kekuasaan wahyu tak lagi peduli pada hukum (yang diciptakan) manusia. ”Raja
adalah hukum”. ”L’etat c’est moi”,
begitu Raja Louis XIV menegaskan. Satu hukum yang berlaku di negeri kita hingga
ke tingkat bawah, di mana jagoan juga merasa diri di atas hukum yang berlaku.
Mereka bisa melanggarnya kapan saja tanpa perlu menanggung risiko yuridis apa
pun. (Willem GJ Remmelin, 2002: 112)
Pada abad XX, sosok
jagoan dalam tinjauan Onghokham dapat dihubungkan dengan jawara di Banten.
Karakter jago bisa ditemukan dalam diri jawara. Menurut Harry A Poeze (2008:
19), pada 1943 jawara punya posisi luar biasa. Pada umumnya, jawara adalah
petani muda yang memimpin kehidupan semi-ilegal. Di samping cukup ditakuti dan
disegani, mereka juga mengantongi kehormatan, pengaruh, dan wibawa.
Sebagian di antara
mereka berperan selaku penguasa bayangan, sedangkan sebagian lainnya menjadi
pelaku tindak kriminal. Mereka berada dalam jaringan gerombolan dengan ritme
kegiatan yang berubah-ubah seiring faktor sosial-ekonomi. Saat timbul keresahan
sosial, mereka tampil di depan dan bersatu dengan penduduk desa. Di beberapa
desa di Sumatera Selatan, misalnya, para jawara yang sebenarnya hidup sebagai
bandit di kota-kota lain dianggap pahlawan atau ”Robin Hood”. Alasannya, mereka
banyak melakukan aksi sosial hingga turut membangun desa. Hingga hari ini.
Maka, banyak masa para
jawara itu tampil mewakili petani, memegang kendali kuasa di desa, terutama
dalam menghadapi pihak asing yang hendak mengganggu ketenteraman desa. Meski
sifatnya tak resmi, mereka sanggup menunjukkan ”taringnya” di depan publik.
Eksistensi jawara menggambarkan betapa kaum petani tidak bisa dilihat sebelah
mata oleh pemerintah ataupun penguasa bangsa lain.
Sementara bagi
pemerintah, keberadaan jawara justru dianggap pencipta masalah. Perbuatan
mereka bertolak belakang dengan kehendak hukum, notabene kehendak
penguasa/pemerintah. Sebaliknya, dalam praktik kekuasaan lain, para jawara
malah menjadi kaki tangan penguasa untuk melanggengkan kekuasaan atau
memaksakan kehendak pemimpinnya. Penelitian Peter Carey di Jawa Tengah masa
perang Diponegoro mengisahkan bagaimana para jagoan atau jawara digunakan bukan
hanya untuk melindungi kekuasaan, melainkan juga rakyat jelata dari penindasan
kolonial, bahkan menjadi bagian dari tentara perang Diponegoro.
Jawara dan jagoan
seperti memiliki paradoks dalam peran sosial, politis, hingga kultural, dan
spiritualnya. Ini membuat publik pun sering terbelah dua dalam memahami dan
memosisikannya. Namun, dualisme atau paradoks itu pula yang membuat jawara dan
jagoan senantiasa dibutuhkan hingga saat ini.
Yogyakarta, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar