Banyak desa di berbagai
penjuru tengah dilanda bencana banjir. Di samping rusaknya fasilitas publik dan
raibnya harta benda, malapetaka ini juga membuat penduduk desa terluka bahkan
meninggal dunia. Dalam konteks inilah, waduk selaku instrumen pengendali banjir
diperlukan guna menekan kerugian material dan meringankan beban psikologis.
Oleh sebagian orang,
waduk dianggap sebagai pengukuh kedaulatan bangsa. Lantaran fungsinya yang
strategis, waduk dapat menjadi penunjang kedaulatan air, pangan, dan energi.
Menurut Basuki Hadimuljono (2015), pembangunan waduk sebagai infrastruktur
sumber daya air diperlukan guna mendukung ketersediaan air bagi para petani.
Apalagi, tekad pemerintah membangun waduk dilandasi beberapa manfaat. Di
antaranya peningkatan ketersediaan air baku, pencegahan banjir, pengadaan
pembangkit listrik tenaga air, transportasi air, perikanan, serta pariwisata.
Namun demikian, waduk
semestinya tidak hanya dilihat dalam bingkai positif. Selama ini, realisasi
pembangunan waduk masih jauh panggang dari api. Belum lagi, waduk berpotensi
mendatangkan beragam risiko dan bahaya. Selain menyebarkan penyakit (misalnya
demam berdarah), mencaplok lahan pertanian, serta mengubah ekosistem, waduk
juga kerap menyisakan problem-problem sosial.
Kentalnya Problem Sosial
Di setiap daerah telah
disediakan kawasan tertentu sebagai ruang terbuka hijau (RTH) yang menjadi tangkapan
air. Dengan demikian, waduk tidak mungkin dibangun di sembarang tempat. Jadi,
alih-alih menyokong kedaulatan air, pangan, dan energi, pembangunan waduk yang
tidak pada tempatnya justru rentan menyulut masalah.
Sebenarnya, melalui
instrumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), pemerintah telah
mengkaji masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan atas pembangunan sejumlah
waduk. Namun demikian, Suhardi Suryadi (2015) mensinyalir bahwa dalam banyak
kasus, penyusunan amdal cenderung bersifat legal-formal, sehingga sukar
dikontrol, non-partisipatif, dan kurang transparan.
Saat ini, keberadaan waduk
dianggap kurang sustainable, baik
secara ekonomi, politik, maupun sosial. Besarnya biaya pembangunan dan
pemeliharaan tentu merugikan pelaksana proyek dan pemberi pinjaman. Ditambah
lagi, problem-problem sosial menjadi latar belakang mengapa terjadi penolakan
masyarakat terhadap pembangunan waduk.
Proyek pembangunan Waduk
Jatigede, Jawa Barat, misalnya, terkesan mengesampingkan fakta bahwa warga
sekitar memiliki ikatan sosio-kultural. Keterbatasan pemerintah memahami psikologi
masyarakat perdesaan menyebabkan kasus-kasus pembangunan waduk kerap disambut resistensi.
Setiap protes dan perlawanan yang digencarkan berdalih mempertahankan tanah
leluhur.
Di wilayah penggenangan
waduk tersimpan situs-situs sejarah bernilai keramat. Sebagian besar lahan
dikelola bukan berlandaskan nilai ekonomi semata. Dianggap sakral, harta pusaka
peninggalan nenek moyang dipegang teguh, dipelihara, dan dilestarikan. Bagaimanapun,
masyarakat perdesaan tidak ingin tercerabut dari nilai, prinsip, dan kearifan para
pendahulu.
Dalam kasus Waduk
Jatigede, faktor sosial, ekonomi, dan politik saling memintal antara satu
dengan yang lain. Pembangunan waduk ini diwarnai dengan sulitnya warga
direlokasi akibat minimnya kompensasi ribuan kepala keluarga (KK), kurang
dihargainya kekayaan penduduk, dan ketidakjelasan pembangunan permukiman baru. Padahal,
relokasi warga merupakan di antara prasyarat normalisasi waduk.
Masalah di atas diperkeruh
dengan munculnya oknum yang memanfaatkan situasi dengan membangun ribuan rumah
baru di kawasan yang bakal terendam air. Menjamurnya “rumah hantu” (harapan
tunai) tersebut menggambarkan keinginan sejumlah pihak memperoleh ganti rugi
dari Pemda (Bappeda). Kehadirannya tidak terlepas dari permainan yang
melibatkan aktor-aktor di level desa hingga kabupaten. Tersebar dugaan, mereka
merupakan para tokoh masyarakat dan elit-elit lokal yang dibekali jejaring
informasi strategis tentang pembebasan lahan.
Simbol Harmonisasi
Waduk selayaknya
menjadi simbol harmonisasi. Pemerintah dan masyarakat bisa bersama-sama
merumuskan rencana pembangunan waduk, permasalahan serta solusinya. Supaya proses
pembangunan berlangsung dalam suasana guyub, pemerintah bisa membuka ruang
diskusi dan komunikasi dengan menempuh sejumlah langkah. Hal ini penting
dilakukan, mengingat kebijakan pembangunan yang kurang aspiratif tentu rentan
mengulang kembali “kesalahan masa lampau”.
Pertama, di samping
melibatkan akademisi dan pengembang, pengelolaan kawasan waduk juga melibatkan
warga. Dari sinilah, arah dan strategi pengembangan kawasan menjadi RTH bisa
dirumuskan. Dengan demikian, waduk bisa diterima semua lapisan masyarakat (socially accepted) dan menjamin persetujuan
tanpa paksaan (free prior informed
consent).
Kedua, SIDCOM (survey, investigation, design, operation, dan
maintenance) menjadi acuan dalam
merealisasikan proyek pembangunan. Jika semua tindakan berdasarkan hasil studi
kelayakan, ketersediaan dana, serta pelaksanaan teknis, maka bisa dipastikan
tidak ada lagi keluhan mengenai ganti rugi.
Ketiga, pemerintah mendorong
partisipasi masyarakat sipil dalam pengawasan pihak-pihak yang terkena dampak
proyek demi perbaikan tata kelola pembangunan waduk. Aktor-aktor nakal yang memanfaatkan
situasi bisa dilaporkan untuk segera ditindak oleh aparat kepolisian.
Keempat, jika uang
tunai disebut sebagai pengganti tempat penampungan pemukiman, maka pemerintah
harus memberi pandangan ke mana warga harus berhijrah. Boleh jadi, lokasi
hunian baru memiliki demografi, iklim, dan sosiokultur yang berbeda dengan
lokasi asal. Dalam hal ini, mesti ada rekayasa sosial guna membangun budaya
baru, sehingga tempat tinggal baru menjadi kawasan ramah lingkungan yang mampu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar