Sebagaimana
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah, jalannya
pemerintahan desa tidak terlepas dari sosiologi masyarakat. Sisi-sisi kehidupan
manusia berpengaruh besar terhadap implementasi pemerintahan desa. Atas dasar pemikiran inilah, meneropong implementasi
pemerintahan desa tanpa mempertimbangkan aspek sosiologis merupakan
keteledoran.
Ketika menjalankan
fungsi, perangkat desa selalu menyesuaikan diri dengan jadwal kegiatan
sehari-hari. Di luar kewajibannya selaku organ pemerintahan desa, mereka juga berperan sebagai kepala atau
anggota keluarga. Mereka dibebani “kewajiban rumah tangga” layaknya warga desa pada umumnya. Hal ini menyebabkan sejumlah program desa terbengkalai.
Implementasi kebijakan pemerintah desa juga kurang
maksimal. Baik kepala desa maupun perangkat lainnya cenderung mengesampingkan kewajibannya.
Pelayanan Publik
Dalam banyak
kasus, ramainya balai desa tergantung pada kesibukan
masing-masing pamong. Adanya jadwal “jaga
kantor” menunjukkan sekadar formalitas yang bercorak seremonial.
Kehadiran mereka di balai desa berdasarkan situasi atau keadaan. Ketika memiliki
sedikit pekerjaan rumah, waktu yang mereka habiskan di balai desa lebih banyak.
Begitu pula sebaliknya. Inkonsistensi ini mengakibatkan warga kesulitan
memperoleh pelayanan memadai. Mereka harus mengorbankan waktu sekadar untuk
menunggu pamong yang kurang disiplin.
Bahkan, kerap mereka terpaksa
mendatangi rumah pamong lantaran yang ditunggu tidak lekas muncul di balai
desa. Masyarakat diposisikan sebagai pihak yang
memerlukan bantuan. Adapun pamong memerankan diri selaku pihak yang dibutuhkan,
sehingga mereka bertindak sesuka hati. Dalam konteks inilah, ciri, watak, dan
karakter birokrasi di level lokal
dilanggengkan.
Kondisi di
atas diperparah dengan fakta bahwa tugas pemerintah desa dalam praktiknya terkesan lebih banyak berhubungan dengan
urusan administratif, semisal pembuatan
akta kelahiran, Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu
Keluarga (KK), serta Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Saat beberapa urusan ini
berhasil diatasi, terdapat persepsi sebagian
kalangan bahwa tugas pemerintah desa telah diselesaikan.
Dengan demikian, pelayanan publik
identik dengan kegiatan surat-menyurat yang bersifat teknis dan prosedural.
Salah satu ukuran keberhasilan pemerintah desa yaitu penerbitan beberapa surat
dalam tempo yang dijanjikan. Masyarakat seolah didoktrin
bahwa tugas pemerintahan desa hanya seputar “pena di atas kertas”.
Problematika Ekonomi
Tak bisa
dimungkiri, sebagian pamong mampu membagi waktu secara
proporsional. Ada pembagian waktu yang jelas antara urusan keluarga dengan
urusan publik. Dalam menjalankan aktivitasnya, mereka memiliki skala prioritas.
Saat menunaikan tugas, mereka berpedoman pada program kerja dan job description yang telah ditetapkan.
Mereka menganggap bahwa jabatan pamong merupakan sarana pengabdian diri,
sehingga waktu mereka lebih banyak dicurahkan pada masyarakat. Mereka tidak
ingin mengorbankan kepercayaan dan melukai perasaan masyarakat. Integritas dan
profesionalitas senantiasa mendasari perilaku dan sikap mereka.
Namun, sebagian
lainnya cenderung berorientasi pada urusan pribadi. Tampaknya egoisme dan
individualisme cukup dominan dalam diri mereka. Meskipun demikian, kesan ini
merupakan imbas dari realitas sosial. Di samping mengurus pemerintahan desa,
mereka juga bekerja sebagai petani, peternak,
pedagang, guru, polisi, mandor, tukang batu, dan lain sebagainya. Tentu ada
konsekuensi logis jika mereka kurang serius dalam menjalankan profesi tersebut.
Lantaran genap disibukkan dengan mata pencaharian, perhatian mereka terhadap urusan publik sangat rendah.
Mereka direpotkan dengan urusan-urusan lain yang memforsir waktu, tenaga, serta pikiran. Minimnya intensitas
dan produktivitas kinerja disebabkan antara lain oleh terbatasnya
pendapatan. Daripada memfokuskan diri pada upaya menyejahterakan masyarakat
desa, mereka akhirnya lebih banyak memikirkan urusan perut. Kebutuhan sehari-hari
begitu menyita energi mereka.
Problematika ekonomi membuat mereka
lalai terhadap tugas yang dibebankan undang-undang. Jika ini terjadi, maka
fungsi dan peran perangkat desa dalam produk legislasi kurang berjalan sebagaimana semestinya. Bagaimanapun, peristiwa-peristiwa di desa menyiratkan perbedaan
praktik hukum dengan teorinya. Terdapat jurang pemisah atau kesenjangan antara das sein dan das sollen.
Hukum dalam kehidupan masyarakat lebih
merefleksikan tataran realitas ketimbang idealitas. Apa yang berlangsung di wilayah pedalaman menunjukkan kentalnya law in practice, bukan law in book.
Egosentrisme
Sayangnya, mentalitas di atas
terbawa ketika Dana Desa (DD) hadir dalam rangka mengatasi problematika
kehidupan desa. Tata kelola keuangan yang seyogyanya berdasarkan prinsip
komunal justru mengedepankan nilai-nilai egosentrisme. Dialirkannya dana yang bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut oleh pemerintah pusat ke semua desa membuat
elite lokal tergiur untuk menikmatinya.
Muncul
penyalahgunaan dan penyelewengan oleh sejumlah pihak dengan menjadikannya
proyek bancakan. Mereka seolah melakukan balas dendam terhadap nasib yang tak
kunjung berubah. Uang yang seharusnya digunakan untuk pengadaan dan perbaikan
fasilitas desa justru masuk ke kantong pribadi. Hal ini diperparah dengan
persepsi bahwa merupakan suatu kerugian apabila mereka enggan
mengambil peluang di depan mata.
Upaya menambah
penghasilan juga ditempuh dengan
melibatkan diri dalam bermacam proyek.
Orang-orang seperti ini merasa diuntungkan ketika kementerian, pemerintah provinsi, serta pemerintah kabupaten berencana mengadakan
atau memperbaiki fasilitas desa. Mereka menempuh berbagai cara demi ikut ambil
bagian dalam pengerjaan proyek. Bagi
mereka, melewatkan momentum berharga hanya akan melahirkan penyesalan
di kemudian hari.