Pada tahun ini, Kementerian
Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) fokus
membenahi mekanisme penyaluran dana desa, mengantisipasi penyalahgunaan dana
desa, serta memaksimalkan penyaluran. Barangkali kebijakan ini lahir dari
pertimbangan bahwa selama tiga tahun, jumlah dana desa terus meningkat. Pada
awal pencairannya, yakni pada tahun 2015, jumlah dana desa mencapai Rp 20,76
triliun. Pada tahun 2016, jumlah dana desa meroket menjadi Rp 46,98 triliun. Pada
tahun 2017, jumlah dana desa mencapai Rp 60 triliun. Adapun pada tahun 2018,
jumlah dana desa sama dengan tahun sebelumnya, yaitu Rp 60 triliun.
Penggunaan dana desa
tahap pertama (2015) dan tahap kedua (2016) lebih diarahkan untuk membangun
infrastruktur. Penggunaan dana desa tahap ketiga (2017) lebih didorong untuk
merealisasikan program unggulan kawasan perdesaan, pembuatan embung atau
bangunan penangkap air, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), serta sarana olahraga
desa. Sedangkan pada tahun 2018,
pemerintah berencana memfokuskan penerapan dana desa untuk program padat karya
tunai. Berpijak pada fakta-fakta di lapangan, sebenarnya tak sedikit sumbangan
yang diberikan oleh dana desa. Orang-orang yang bermukim di wilayah pedalaman
genap menerima manfaatnya. Implementasi asas utama rekognisi-subsidiaritas yang
diusung oleh UU No. 6/2014 benar-benar dirasakan.
Pentingnya
Data
Program pemetaan desa
berhasil diselenggarakan lantaran kucuran dana yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tersebut. Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir,
Kabupaten Malang, Jawa Timur, mempunyai program unggulan yang kerap menjadi
percontohan daerah lain, yaitu pemetaan desa. Program ini bukan sekadar
merupakan pemetaan spasial, melainkan juga pemetaan sosial. Dari pemetaan itu,
diharapkan potensi serta masalah-masalah lokal yang dijumpai di lapangan
semakin tampak. Data hasil pemetaan bakal menjadi rujukan dalam perencanaan
program-program desa. Dengan menerapkan global
positioning system (GPS), pemetaan menghabiskan dana desa sebesar Rp 25
juta. Meski bernilai kecil, tetapi manfaatnya luar biasa. Apalagi, ”peta desa”
bakal disinkronkan dengan sistem informasi desa (SID). Sehingga, hasil pemetaan
itu akan menjadi basis data digital lengkap bagi Desa Pandanlandung.
Apa yang ditunjukkan
oleh Desa Pandanlandung merupakan prestasi membanggakan. Desain program-program
di level lokal yang direncanakan selalu berbasis data. Pemakaian data sebagai
sumber rancangan beberapa program menggambarkan betapa pemerintah desa
senantiasa memperhatikan realitas dan kondisi yang ada di lapangan. Harapannya,
di samping mencapai target, apa yang direncanakan di masa depan juga tidak
sepenuhnya meleset. Sejumlah fakta menunjukkan bahwa ketimpangan antara
perencanaan dengan realisasi program, baik pada level nasional maupun lokal,
merupakan akibat dari minimnya data.
Dalam sejumlah kasus,
kegagalan program pemerintah kerap disebabkan oleh belum tersedianya data yang
memadai. Begitu pula sebaliknya. Keberhasilan program pemerintah kerap ditopang
oleh tersajinya data yang valid dan akuntabel. Di sinilah perlunya data dalam
menghindarkan segala bentuk kegagalan sekaligus memudahkan tercapainya
keberhasilan. Dengan demikian, data yang genap terkumpul menjadi sarana
optimalisasi fungsi dan peran pemerintah desa dalam memberikan pelayanan kepada
warga. Hal ini mengamini apa yang dikatakan oleh Nata Irawan bahwa dana desa
merupakan sumber daya yang dapat digunakan sebagai penunjang peningkatan
kinerja pemerintahan desa. (Nata Irawan, 2017: 103).
Ikhtiar memaksimalkan
obyek wisata swafoto di Desa Bejalen, Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang,
Jawa Tengah, juga “berutang budi” pada dana desa. Guna menarik minat wisatawan,
pengelola pariwisata mengoperasikan dana desa untuk mempercantik sudut-sudut
desa sekaligus menonjolkan keasrian alamnya. Padahal, berdasarkan pengakuan
Kepala Desa, Nowo, ketika Bejalen ditetapkan sebagai desa wisata oleh Pemkab
Semarang pada 2009, kemampuan warga setempat belum sepenuhnya bisa diandalkan.
Pada waktu itu, pola
pikir warga mengenai desa wisata belum terbentuk. Potensi wisata lokal pada
mulanya kurang terkelola dengan baik. Pola pikir pengembangan desa wisata mulai
terbangun seiring dengan semakin melonjaknya pengunjung ke Desa Bejalen.
Apalagi, optimalisasi desa wisata yang dilakukan antara lain dengan sosialisasi
saptapesona, yakni aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan
ternyata mampu mendongkrak wisatawan. Imbasnya, perekonomian warga ikut
terangkat. (Kompas, 3-1-2018: 24).
Tata kelola dana desa
berperan besar dalam mengenalkan ikon pariwisata lokal kepada publik. Sejumlah
lokasi wisata yang selama ini kurang terekspos oleh media cetak maupun daring
bisa dipromosikan secara luas. Terbatasnya informasi seputar lokasi wisata di
kawasan pedalaman merupakan imbas minimnya pemberitaan media tentang beberapa
tempat yang menjanjikan aneka wahana dan ragam hiburan. Apalagi, lantaran belum
banyak terjamah oleh pengunjung, potensi alamiahnya masih cukup menonjol. Dalam
konteks inilah, penggunaan dana desa menemukan relevansinya. Apabila dikelola secara
maksimal, tentu dana desa turut memberikan sumbangsih yang nyata dalam
mempromosikan kesejukan, ketentraman dan kenyamanan desa kepada khalayak.
Sehingga, keindahan desa yang selama ini hanya dinikmati oleh masyarakat
setempat juga dirasakan oleh pihak luar. Betapa udara yang segar serta
pemandangan yang menakjubkan merupakan eksotisme surgawi yang sayang untuk
dilewatkan.
Persepsi
Miring
Menyebarnya beragam
cerita sukses tentang dana desa semestinya memantik semangat semua pihak untuk
senantiasa mendukung pemerintah pusat dalam mengawal dana desa. Memang dalam
taraf tertentu, masih terdapat persepsi miring dan citra negatif mengenai dana
desa. Selama ini, di samping hanya memboroskan uang negara, dikucurkannya dana
desa juga dinilai telah melahirkan koruptor-koruptor kecil. Terdapat
kecenderungan bahwa kasus-kasus korupsi meluas dari level nasional ke level
lokal. Gagasan mulia untuk menghormati keberadaan orang desa melalui dana desa
dianggap kurang sebanding dengan “harga yang harus dibayar”. Dibanding kemaslahatan dana desa lebih banyak
mendatangkan kerusakan. Hal ini
berangkat dari fakta bahwa banyak desa belum mampu menggali potensi dana
tersebut secara maksimal.
Bahkan, akibat besarnya
dana yang diberikan kepada desa, elite-elite lokal tergiur untuk menggelapkan
uang negara, sehingga mereka terjebak pada perilaku koruptif. Tak heran jika
sebagian dari mereka akhirnya mendekam di balik jeruji besi. Mengutip Ratno
Lukito, kejahatan orang berkedudukan tinggi mengakibatkan konsekuensi lebih
besar sehingga hukum yang ditimpakan kepadanya juga lebih besar. Semakin tinggi
kedudukan sosial seseorang, semakin berat pula hukuman yang diterima. (Ratno
Lukito, 2012: 38).
Namun demikian, banyak
fakta menunjukkan bahwa korupsi yang dilakukan oleh kepala desa berawal dari
terbatasnya pemahaman tentang penggunaan dana desa. Meski tidak berniat
memperkaya diri, sebagian dari mereka terpaksa tinggal selama beberapa tahun di
bui lantaran telah alpa membelanjakan dana desa. Minimnya pengetahuan tentang
dana desa membuat mereka rela dipenjara. Dalam konteks ini, mereka sebenarnya
terjebak pada “pseudo korupsi”, di mana tindak pidana korupsi terjadi akibat
ketidaksengajaan. Hal ini menyajikan informasi bahwa sebagian kasus korupsi
bukan termasuk kejahatan murni, melainkan kekhilafan belaka. Nasib tragis yang
menimpa sebagian perangkat desa tidak semestinya menularkan apatisme dan pobia
terhadap dana desa, melainkan justru menggugah semangat semua pihak untuk memetik
pelajaran dan hikmah di baliknya. Jangan sampai dana yang bersumber dari APBN
tersebut dikelola secara serampangan. Segala hal yang berhubungan dengannya
mesti berpijak pada pemikiran yang arif dan bijak.
Lebih dari itu, kisah
“gagalnya” pemanfaatan dana desa di beberapa tempat tidak selayaknya memupus
harapan untuk mengangkat harkat dan martabat orang desa melalui dana desa.
Kepercayaan desa sebagai tulang punggung negara harus senantiasa dirawat oleh
pejabat, akademisi, peneliti, pegiat desa, serta stakeholder. Ketimbang pesimisme semua pihak lebih diharapkan
memupuk optimisme supaya dana desa dapat dicairkan sesuai target dan tujuan.
Bagaimanapun, kejayaan dan kemajuan negara ditopang oleh eksistensi desa selaku
penyangganya. Terutama di negeri ini, kondisi sosial, budaya, hukum, politik
dan ekonomi nasional kerap tergantung pada situasi lokal. Sehingga, bagi
pemerintah pusat, upaya memajukan desa merupakan keniscayaan.
Bojonegoro, 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar