Setelah Lebaran, sebagian
orang desa berbondong-bondong pergi ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya demi
mengadu nasib. Sejumlah pemudik yang pulang ke kampung halaman mengajak teman,
kerabat, serta anggota keluarga untuk bekerja di tanah rantau. Dalam taraf
tertentu, derasnya arus urbanisasi kerap didukung oleh fakta bahwa orang desa
disilaukan dengan daya tarik kawasan urban.
Sayangnya, minimnya
keahlian orang desa yang berhijrah ke kota antara lain mengakibatkan angka
pengangguran di kantong-kantong urban semakin meroket. Pergeseran penduduk dari
desa ke kota kurang berimbang dengan tersedianya lahan pekerjaan. Tak ayal
apabila kesejahteraan, kenyamanan, serta keberlimpahan yang dijanjikan kota
hanya menjadi utopia. Impian mengatrol status sosial sekaligus membangkitkan
gairah hidup sirna lantaran kota ternyata tak mampu memberikan harapan.
Perangkat
Yuridis
Tingginya angka urbanisasi berkaitan
erat dengan hak atau kepemilikan atas tanah di desa. Kebijakan yang pro-pemodal
rentan menjadikan masyarakat kehilangan tanah. Investasi asing berjangka
panjang terbukti mengakibatkan sebagian penduduk desa terusir dari negeri
sendiri. Beberapa surat izin dari sejumlah instansi menjadi modal para cukong
yang lebih berpihak pada masyarakat golongan atas sekaligus menihilkan
masyarakat golongan bawah.
Meskipun bercorak legal-formal,
surat izin tersebut nyatanya justru menutup ruang ekonomi, merampas modal
sosial, menyulut disintegrasi sosial, serta menghancurkan sendi-sendi demokrasi
lokal. Surat izin pemanfaatan lahan terbit atas inisiatif politikus dan
birokrat nakal yang secara tidak langsung membuat tingkat kesejahteraan
masyarakat perdesaan kian timpang.
Parahnya, sebagian Undang-Undang
(UU), Peraturan Daerah (Perda), serta Peraturan Desa (Perdes) seolah
dikondisikan oleh para pemodal dan kaum pebisnis demi menyelundupkan
kepentingannya. Dengan demikian, harga diri para legislator yang berperan
mengawal amanat rakyat telah ditukar dengan layanan, akses, serta beraneka
kenikmatan sesaat yang ditawarkan oleh kaum kapitalis. Berbagai keuntungan
material telah menjadikan mereka “gelap mata”, sehingga nasib rakyat dengan
mudahnya dikorbankan.
Perangkat yuridis yang semestinya
mampu mewujudkan keadilan sosial justru dipakai untuk menggasak ribuan hektare
tanah orang-orang desa. Tanah yang dimanfaatkan oleh masyarakat perdesaan guna
menyambung hidup dirampas oleh kaum elite. Imbasnya, hilanglah apa yang
dinamakan dengan “hak ulayat”. Dalam konteks inilah, peraturan
perundang-undangan seakan beralih fungsi menjadi sarana eksploitasi.
Fenomena di atas mengingatkan kita
pada novel karangan Multatuli, Max Havelaar, yang menggambarkan betapa
bengisnya kaum kolonial. Peraturan perundang-undangan menjadi corong bagi
kepentingan kaum penjajah yang memanfaatkan kultur tradisional dan feodal.
Mengacu pada peraturan-peraturan penguasa, para kepala desa mengantongi tugas
menarik pajak, panen, dan hasil ladang. Darah dan keringat pribumi diperas demi
menambah pundi-pundi keuangan pejabat kolonial. Bahkan, demi menumpang hidup,
orang-orang desa harus menyewa tanahnya sendiri dengan harga selangit.
Kondisi demikian memaksa penduduk
desa melepaskan tanah dengan harga serendah-rendahnya. Sayangnya, uang yang
mereka terima hanya cukup untuk menyumpal perut. Padahal, sejak dahulu kala,
tanah bukan hanya berfungsi sebagai sumber ekonomi. Lebih dari itu, tanah
merupakan ruang menimba ilmu dan kebajikan yang genap diwariskan oleh nenek
moyang.
Kambing Hitam
Di sejumlah daerah, di mana tanah
berperan vital bagi kehidupan masyarakat, beralihnya kepemilikan tanah ke
tangan investor menimbulkan masalah serius. Karena tidak ada lagi tanah yang
bisa digarap, mereka akhirnya berbondong-bondong pergi ke kota demi mengadu
nasib. Sisa penjualan tanah digunakan sebagai bekal hijrah dan hidup di
kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Palembang, serta Makassar.
Celakanya, persyaratan formal,
semisal ijazah, usia, dan pengalaman kerja terkadang menutup peluang bagi
mereka. Formalitas telah menyuburkan ketimpangan antara “orang-orang
berpendidikan” dengan mereka yang tidak mengenyam bangku sekolah. Sebab tiada
pilihan lain, mereka mencoba bertahan dalam arus kehidupan urban. Untuk
sementara, identitas sebagai penjunjung tinggi kolektivisme dan kebersamaan ditanggalkan
demi menyesuaikan diri dengan lingkungan serba egoistis dan individualis
berlandaskan kepentingan.
Beruntung jika ada perusahaan yang
bersedia menerima mereka sebagai pekerja kasar. Meski berupah rendah, tetapi
mereka masih sanggup bertahan hidup di bawah standar hidup yang layak dan
sesekali mengirim uang kepada keluarga yang ditinggalkan. Namun demikian, tidak
sedikit dari mereka yang malah menambah angka pengangguran di kota.
Bagaimanapun, rasio peluang kerja belum sebanding dengan jumlah pencari kerja.
Apalagi, tersebar anggapan bahwa
menumpuknya problematika perkotaan antara lain merupakan imbas dari
membludaknya penduduk desa yang melakukan urbanisasi. Orang-orang yang
bermaksud meningkatkan taraf hidup justru menjadi kambing hitam tercemarnya
kebersihan dan keindahan kota. Mereka kerap dituduh selaku biang keladi mengapa
kota-kota besar sulit terbebas dari polusi.