Seorang satpam sebuah perusahaan
dikabarkan merusak patung Sapundu yang selama ini dikenal sebagai situs budaya
adat Dayak. Terkait hal ini, Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah genap membentuk
tim khusus guna mengetahui secara langsung kerusakan situs yang berada di Desa
Pondok Damar, Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Kotawaringin Timur, tersebut. Berdasarkan
hasil pantauan tim, Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah Agustiar Sabran menginformasikan
bahwa destruksi situs budaya adat benar-benar terjadi.
Apa yang dilakukan oleh
oknum tak bertanggung jawab di atas tentu mengingkari Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menggariskan bahwa adat istiadat desa
merupakan sebagian kewenangan desa. Di dalamnya termaktub ketentuan bahwa desa mengantongi
sejumlah kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan
desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, serta adat istiadat desa.
Pidana
Adat
Selain rentan
digolongkan kriminalitas, kegiatan merusak situs budaya adat juga dapat dikategorikan
sebagai pidana adat yang memuat adanya sanksi adat. Berbagai komunitas adat,
tak terkecuali suku Dayak di Kalimantan, kerap menuntut pelaku kejahatan untuk
membayar denda sebagai kompensasi atas pelanggaran yang genap diperbuat. Tuntutan
semakin berat manakala pelanggaran berhubungan dengan ranah publik yang lebih
luas. Dalam situasi tertentu, keluarga pelaku kejahatan juga dibebani tanggung
jawab terhadap kesalahan individu.
Dengan demikian, berlakunya
sanksi sosial tidak hanya mengenai pelaku kriminal, melainkan juga orang-orang
terdekat yang mempunyai hubungan darah dengannya. Bagaimanapun, aib anggota keluarga
mesti ditanggung bersama. Betapa sejak lama nilai dan etos kebersamaan menelusup
hingga ruang privasi. Inilah sebagian pembeda antara hukum pidana adat dengan
hukum pidana konvensional yang banyak dipengaruhi oleh paradigma berpikir Barat
dan cenderung individualistis. Budaya Timur menganggap komunalisme sebagai
bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Itulah mengapa, ruang-ruang
sosial kerap lebih dominan ketimbang ruang-ruang personal.
Terhadap kejahatan yang
berimbas pada keluarga atau individu tanpa mendatangkan disharmoni desa secara
keseluruhan, pada umumnya pengurus adat akan mengenakan sanksi setelah digelarnya
rekonsiliasi. Bermula dari pendekatan komunal inilah, kejahatan orang-orang berkedudukan
tinggi memperoleh konsekuensi lebih besar, sehingga hukuman yang dijatuhkan kepadanya
juga lebih besar. Semakin tinggi posisi seseorang, semakin berat pula hukuman
yang diterima. Hal ini disebabkan tanggung jawab hukum tergantung pada posisi
individu dalam masyarakat. Sejalan dengan prinsip tersebut adalah aturan hukum
pidana adat bahwa risiko kejahatan yang merusak kepemilikan suatu benda tanpa
berkaitan dengan para leluhur dinilai lebih kecil ketimbang kejahatan yang
merusak benda sakral yang berhubungan dengan nenek moyang. (Ratno Lukito, 2012:
38-39).
Ekspresi
Imajinasi
Aksi destruktif
terhadap situs budaya adat Dayak sangat disayangkan. Dalam taraf tertentu, ia
mengandung filosofi mendalam serta syarat keindahan. Suku Dayak mampu
mengekspreksikan imajinasinya dalam karya seni yang terabadikan sepanjang masa.
Ikhtiar merefleksikan serta menafsirkan perjalanan makhluk hidup di dunia ditunjukkan
dengan menciptakan berbagai hasil kreativitas yang artistik, eksotis, serta
filosofis. Dalam tubuh mereka mengalir “darah seni” yang diwariskan lintas
generasi. Tak heran apabila seni seringkali melandasi kegiatan-kegiatan individu
maupun publik yang diselenggarakan oleh mereka.
Bagi suku Dayak
Kalimantan, seni mempunyai banyak peran. Sebagai tolok ukur stratifikasi kedudukan
individu dalam masyarakat tradisional, seni menjadi sarana pemelihara tatanan
sosial yang berlaku umum. La Ode dalam Politik
Tiga Wajah (2013: 53) menyebutkan, suku Dayak Kalimantan juga memfungsikan
seni selaku sarana religius. Seni berperan penting dalam bermacam acara,
semisal upacara rumah tangga serta pesta desa dengan menampilkan hasil-hasil
karya. Oleh sebab itulah, seni mampu menjadi media pemuliaan personalitas serta
penjamin eratnya harmoni beragam kelompok masyarakat Dayak Kalimantan.
Situs budaya adat juga
menjadi penanda dan jatidiri suku Dayak. Ia menghadirkan ciri khas, karakter,
serta keberagaman suku bangsa di Indonesia. Boleh dibilang, ketika
mengunjunginya, seseorang berarti menapaki ingatan tentang leluhurnya. Keberadaan
situs budaya adat turut merekam catatan peradaban para pendahulu sekaligus
mengekalkan sejarah kehidupan nenek moyang. Atas dasar inilah, semua pihak sepatutnya menghargai dan menghormati keberadaan
adat-istiadat Dayak, termasuk menjunjung tinggi terpeliharanya semua situs adat
yang ada. Bagaimanapun, di samping mengandung ikhtiar mengokohkan fondasi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hal ini juga dikarenakan ekspresi kebudayaan
dan keberagaman masyarakat adat genap memperoleh perlindungan dalam konstitusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar