Sejarah Desa, Sejarah
Derita
Sejarah desa
menunjukkan sejarah yang kelam. Sejarah yang penuh dengan gema tangis, nada
miris, keluh getir, dan penderitaan. Desa selalu diamini sebagai wilayah kecil
dari sebuah negara, yang tidak banyak mendermakan andil dan pengaruh dalam
pembangunan.
Ikhtiar mendulang
‘apresiasi’ terhadap desa merupakan hal urgent
dalam menyongsong peradaban yang kokoh. Mustahil negara menjadi besar, jika
para penguasa di dalamnya enggan memberi kesempatan kepada desa untuk turut
ambil bagian dalam menjemput kemajuan. Dengan mengerahkan segala kemampuannya,
dapat dipastikan desa bakal menyajikan capaian yang bernas dan memuaskan. Desa
akan menunjukkan bahwa dirinya memang pantas dan layak untuk diajak serta dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan. Sayangnya, desa jarang sekali—atau bahkan
tidak pernah—mendapat kepercayaan untuk berunjuk gigi. Desa diperlakukan selaku
anak kecil yang sama sekali belum mengenyam pendidikan.
Sudah banyak bukti yang
tersebar, bahwa kehendak desa untuk tumbuh sering kali pupus, dikarenakan adanya
intervensi pihak luar. Lebih dari itu, celakanya, intervensi yang berkelanjutan
berubah menjadi otoriterisme. Padahal di manapun, otoriterisme memposisikan
pihak penguasa selalu memiliki dalih atau alasan untuk memeras pihak yang
dikuasai. Jadilah desa tidak terbentuk sesuai yang diinginkan. Apa yang
kemudian terjadi pada desa merupakan hasil rekayasa (buatan) dari kekuasaan di
atasnya yang lebih dulu ada. Kekuasaan itulah yang mengatur segala sesuatu
mengenai desa. Sehingga, selain menjadi kurang cakap, hal tersebut menyebabkan
desa kurang mandiri terhadap persoalan sendiri. Akhirnya desa menjadi pasif
sekaligus tergantung kepada keputusan pihak lain.
Di jaman feodal, desa
sangat sulit berkembang. Kebutuhan warga yang semestinya dicukupi desa tidak
pernah terwujud. Hal ini disebabkan budaya penguasaan tanah desa oleh raja,
selaku penguasa dalam kehidupan negara. Teori milik raja (vorstendomein), yang menetapkan bahwa raja adalah pemilik tanah
seluruh kerajaan, dengan semena-mena diberlakukan.
Sebagai contoh di Jawa.
Untuk menjadi petani saja, seseorang diwajibkan menyewa tanah dari bangsawan
atau raja, dengan biaya selangit. Di sinilah terletak ketimpangan yang
membabibuta. Tanah yang selayaknya bisa mereka manfaatkan untuk kepentingan
sendiri, rupanya disalahgunakan oleh penguasa. Bukan hanya itu. Orang-orang
yang bekerja untuk tuan mereka tidak
mampu berbuat apa-apa. Karena sedikit saja menunjukkan perlawanan, atau gelagat
yang kurang disukai, maka mereka akan menanggung risikonya: dijual kepada tuan lain atau dipasung. Akibatnya,
rakyat (petani) merasakan penderitaan luar biasa. Mereka disamakan dengan hamba
sahaya: diperas keringatnya, lalu hasil kerjanya dipersembahkan kepada raja.
Tak ayal, jika masa panen tiba, orang-orang berduyun-duyun ke kota guna
menyerahkan padi, jagung, palawija, serta hasil bumi lainnya untuk dinikmati
sang raja.
Di jaman kolonial,
nasib desa tidak banyak berubah. Momentum pembaruan desa yang sangat
diharapkan, sekadar halusinasi belaka. Hal ini terjadi karena perkembangan desa
berada di bawah kungkungan watak kolonial itu sendiri, dimana menurut
Kartodirjo (dalam Suhartono, dkk, 2000) kolonialisme mempunyai ciri pokok yang
berpangkal pada prinsip dominasi, eksploitasi, diskriminasi, dan dependensi.
Proses ekspansi bangsa Eropa untuk mengambil sebanyak-banyaknya rempah-rempah—yang
pada waktu itu menjadi komoditi penting di pasar Eropa—menjadikan desa sebagai
lahan basah.
Dengan datangnya
penguasa kolonial, tata hidup warga desa tidak menjadi lebih baik, justru
sebaliknya, penderitaan yang dialami kian membabibuta.
Jika diperhatikan lebih
seksama, kolonialisme membawa citra berlawanan. Di satu sisi, para penguasa
kolonial hendak membebasakan tanah dari genggaman raja atau kaum bangsawan.
Akan tetapi, di sisi lain (dan ini lebih parah), mereka menindas petani demi
mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Dan, semua yang terkandung di desa
dikeluarkan secara paksa, untuk dibawa pulang ke Eropa.
Mengistimewakan
Desa
Sebenarnya desa
mempunyai hak untuk diperlakukan istimewa. Sejak dahulu kala, “keistimewaan”
sudah semestinya dilekatkan ke desa. Bersandar pada sejarah lahirnya UUD 1945,
Mohammad Yamin (dalam Ni’matul Huda, 2005) pernah melampirkan suatu rancangan
sementara perumusan Undang-Undang Dasar yang berisi:
“Pembangunan daerah
Indonesia atas daerah yang besar dan kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat
dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa.”
Makna dan pengertian “hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa” dalam kalimat terakhir di atas belum sempat dibahas
dalam agenda rapat-rapat yang digelar BPUPKI. Namun setelah rancangan UUD
tersebut ditetapkan oleh PPKI dan diberi penjelasan resmi dalam Berita Republik
Indonesia, Penjelasan Pasal 18 menyatakan bahwa volksgemeenschappen, semisal desa, negeri, dusun, atau marga dapat
dianggap sebagai daerah bersifat istimewa. Meskipun demikian, ternyata sejarah
berceloteh lain. Desa dan sekian volksgemeenschappen
lainnya bernasib buruk, sebab tidak pernah dianggap istimewa.
‘Sejarah derita’ pada
desa tak perlu berulang. Oleh sebab itulah, sudah saatnya desa dikembalikan
pada ‘fitrah’-nya. Desa harus diperlakukan istimewa. Dalam rangka
mengistimewakan desa tersebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama,
seyogyanya RUU Desa didukung oleh semua pihak. Pansus DPR dalam rangkaian
kunjungan kerja ke China (pada tanggal 6-12 Juli 2012), tak perlu dicurigai
jalan-jalan semata, jika pada akhirnya tim penyusun RUU tersebut mampu memahami
konsep kedudukan pemerintahan kabupaten, provinsi, dan pemerintahan pusat di
sana.
Kunjungan dengan lokasi
tujuan di antaranya Hwangsi, yang dulu tergolong desa termiskin dan kini
menjadi desa lima besar terkaya di China, tidak mungkin dipermasalahan jika
benar-benar memberikan hasil yang maksimal. Dan lebih dari itu, apa yang
dipetik bisa diadopsi dan disesuaikan dalam rangka penyusunan RUU Desa.
Kedua,
desa tak boleh lagi dipandang sebelah mata. Desa merupakan kekuatan besar yang
menjadi pondasi kemajuan negara. Oleh sebab itu, desa harus diberikan wewenang
dan akses anggaran lebih longgar. Dengan demikian, dalam kondisi bagaimanapun,
desa dituntut cekatan serta cakap dalam mengelola dirinya sendiri. Selain bisa
meringankan tugas pemerintah pusat, hal tersebut secara bertahap dapat
menjadikan desa selaku salah satu penyokong ekonomi negara, sehingga
perekonomian Indonesia akan semakin membaik.
Ketiga,
sayap pergerakan ekonomi mulai dini harus diperlebar ke desa. Bukan saatnya
lagi mengandalkan kota sebagai satu-satunya penggerak perekonomian negara.
Dengan berbagai permasalahan pada kota, desa—yang notabene mempunyai
permasalahan lebih sedikit—merupakan alternatif terbaik untuk membantu
menjalankan roda perekonomian Indonesia.
Keempat,
jenis pekerjaan yang semula hanya ada di kota harus tersedia di desa. Sudah
barang tentu pekerjaan-pekerjaan yang cocok dengan demografi dan kultur desa.
Jangan sampai dengan meluasnya lahan pekerjaan, permasalahan di desa malah ikut
bertambah. Hal ini dalam rangka menghindari semakin banyaknya warga desa
berhijrah, memburu kerja ke kota. Lagu “Desa”
(Iwan Fals): Desa harus jadi kekuatan
ekonomi/ Agar warganya tak hijrah ke kota/ Sepinya desa adalah modal utama/
Untuk bekerja dan mengembangkan diri//, tampaknya perlu dihayati dan
direnungkan.
Hal kedua, ketiga, dan
keempat di atas mustahil dapat terrealisir tanpa adanya langkah nyata dari
pemerintah. Mulai sekarang pemerintah harus gencar memberdayakan desa. Karena
di desalah sejarah peradaban negara bermula. W.S. Rendra (1977) pernah berkoar
dalam “Sajak Sebatang Lisong”-nya: Kita mesti keluar ke jalan raya/ keluar ke
desa-desa/ mencatat sendiri semua gejala/ dan menghayati persoalan yang nyata//.
Yogyakarta, 2012