Darwin putus asa. 35
tahun bukanlah usia muda lagi. Rasanya, tiada puan yang mau dengannya. Siapa
pula hendak kawin dengan lulusan SMA, yang belum mengantongi pekerjaan tetap.
Sekarang pengamen. Lusa menjelma pengecer koran, cleaning service, buruh, kenek, atau kuli bangunan. Didukung dengan
tampang lumayan amburadul, penampilan compang-camping, bertato cacing, serta
berjenggot tebal. Puan mana yang tega menadah cintanya. Kalau pun toh ada,
mungkin nenek tua yang sececah lagi nyemplung kuburan. Paling mentok, perawan
renta dengan otak tengah terganggu. Atau janda yang butuh sandingan, demi menghindarkan
diri dari setan.
Darwin mulai berburu
hiburan guna menundukkan stres. Stres merencah nasib. Stres menyambut julukan
yang terlanjur lengket di tubuhnya, ‘bujang
lapuk’. Melamun di teras berteman secangkir kopi, ia teringat Nanang,
tetangga yang rumahnya teronggok di ujung gang. “kalau gak ada kerjaan, main-main
aja ke sini.” Kalam yang muncrat dari lidah Nanang, terakhir kali dikunjungi
Darwin.
***
Awalnya, Darwin urung membongkar
perasaan. Dalam benaknya, jika nekat mengatakan, pasti si gondrong bergigi mancung
itu menertawakannya atau menggunjing habis-habisan: “edan!”, “eiy, kamu ngomong
apa?”, “masih waras kan, Dar?”.
Lambat laun Darwin tak
sanggup menahan perasaan yang kian meluap. Berulang kali ia berusaha membakar
perasaan terkutuk tersebut. Bukannya lenyap, justru malah menguat. Melebihi
perasaannya pada Jariyah, Atun, Dewi, Henik, dan Siti. Puan-puan yang sempat
menempel di kepalanya.
Akhirnya, ia mentransfer
sms ke Nanang. Sms singkat: “lg ngapain?”. Hingga ayam berkokok, HP-nya mematung,
tanda sms tak berbalas. Darwin kecewa berat. Berhari-hari ia meringkuk di
kamar. Badannya dingin panas. Bibirnya menggigil. Giginya pening. Kepalanya
pusing sebab sibuk memikirkan sms yang dilayangkan.
Selasa malam, selingkar
jam 8, HP-nya meraung. Di inbox muncul identitas ‘N’. “Maaf, baru puny pulsa. Da
pa?”. Seketika, ia bangkit dari ranjang. Sakitnya seakan hilang. Peluang ia
manfaatkan sebaik-baiknya dengan menyerang pengirim sms sampai kira-kira jam 1
dini hari. Setelah itu, kata-kata Darwin rajin sekali menyerbu nomor Nanang. Terkadang,
sengaja ia gunakan nomor baru; pura-pura nyasar. Perjuangannya berbuah. Nanang berhasil
ia ajak malam Minggu-an di alun-alun kota Salgita. Memandangi wajah bulan serta
menikmati jagung rebus Pak Simo.
***
Darwin menjalin
hubungan dengan Nanang, layaknya sepasang sir-siran. Dalam HP-nya, entah berapa
ratus sms yang tersimpan. Sms dari lelaki yang sungguh ia sayang, juga
menyayanginya. Sms yang kalau dibaca lekas membuat hati terbang ke angkasa. Sms
yang berujar: “met bobok. Mimpi indah, ya”, kala waktu mengisyaratkan jam 10
malam. Juga rayuan sedikit menggombal: “uda makan lum? Sini sy suapin.” Atau semacam
pertanyaan yang pura-pura iseng: “uda mandi lum?”. Dan banyak lagi sms mesra yang
kurang pantas jika dituturkan di sini.
Ya, Darwin tahu ini
cinta terlarang. Cinta sesama jenis. Cinta sesama makhluk Adam. Begitu pula
sebaliknya dengan Nanang. Tapi apa boleh buat. Darwin memilih Nanang, karena
hanya Nanang yang siap menerima dirinya apa adanya. Nanang pun demikian. Ia
menjatuhkan pilihan pada Darwin, bukan miskin pertimbangan. Darwin ia kenal selaku
sosok sederhana, agak nyeleneh, dan setia menampung curhat-curhatnya. Memang,
selama ini tiada yang bersedia mendengar keluh-kesah yang dipelihara.
Maklumlah, pelukis kelas kambing ini hidup terkoteng-koteng. (Hal ini
dikecualikan dengan kucing loreng-loreng yang ia asuh). Tak seorang pun hafal seluk-beluk
keluarganya, berapa jumlah saudaranya, di mana kota kelahirannya, termasuk ia
sendiri. Persis makhluk buangan. Makanya, batin Nanang acap melempar tanya:
“apa aku ini anak jadah?”
***
Berpacaran 3 tahun,
Nanang bosan menenggak gunjingan. Alangkah sukar mempertahankan cinta yang jarang
dicerna logika. Usai berdebat panjang dengan hatinya, ia goreskan pena pada
sehelai kertas lusuh dan menaruhnya di gardu dekat kebun Pak Lurah, loka dimana
ia beranjangsana dengan Darwin.
“Jalan ini yang harus
kutempuh, Sayang. Kuharap kau mengerti keputusanku.”
Itulah kalimat pemungkas
surat Nanang. Melankolis namun tragis.
***
Meraup recehan di
perempatan Jalan Pattimura, Darwin—dengan keringat masih mengucur deras— ergegas
menuju sebiji mall. Gitar kesayangannya dititipkan ke Pak Munal, penjahit sol
sepatu di samping toko buku Gramedia. Sebenarnya, Darwin hendak memborong 2 kardus
mie instan—tipe makanan murah meriah yang jadi idola. Saat mata berayun ke sana
kemari, ia dapati boneka cantik tergolek dalam etalase, bercampur dengan asesoris
remaja. Entah apa yang nongkrong di otaknya, tiba-tiba saja Darwin membatalkan
hasrat dan menyambar boneka bergaun merah berbandrol 30.000 rupiah. Tentu, harga
yang tinggi bagi pengobral suara sepertinya.
Tiba di rumah, Darwin
langsung membaringkan tubuh boneka, mengepang rambut boneka dengan karet nasi
bungkus yang dibeli dari Mbok Sri. Belum pernah ia temui boneka semenawan itu. Darwin
memberinya nama Lily, boneka yang kelak ia persunting sebagai istri.
Menggantikan Nanang, yang terburu-buru meninggalkan dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar