“Bersukarialah
semua makhluk hidup,
karena
mahkota umat manusia yang begitu indah pernah hidup!”
(Epitaf di nisan Newton)
Selingkar tahun 1922,
dunia digemparkan dengan maklumat yang dilempar oleh seorang pemburu berita
kelahiran Georgetown. Ialah Carr V. Van Anda, wartawan yang pernah masyhur
sebagai managing editor terpenting
dalam sejarah New York Times. Apa yang dilakukan? Demi menyibak tabir kebenaran,
Van Anda membuka ruang liputan yang begitu lebar untuk penemuan makam Raja
Mesir Tutankhamen.
Beragam data yang dihimpun
dari berbagai loka, dijelmakan Van Anda selaku sarana mendedah peristiwa yang
masih ditudungi kabut tebal itu. Berbekal kecermatan dan analisis mendalam,
sejumlah foto hasil pembongkaran makam tersebut ditelaah satu persatu. Van Anda
menaksir bahwa telah terjadi pemalsuan yang berlangsung kurang lebih 4.000
tahun silam, yaitu persulihan tanda tangan sang raja oleh komandan militer
Mesir kala itu.
Kesimpulan yang dipetik
Van Anda menuturkan bahwa, raja muda Mesir tersebut meninggal akibat dihabisi
oleh Horemheb, komandan tentara Mesir. Beberapa saat kemudian, pernyataan Van
Anda mengunyah angin segar. Apa yang disingkapnya naga-naganya mendapat
pengesahan dari ahli bidang Mesir kuno.
Keberhasilan Van Anda dalam
menguak misteri ribuan tahun itu bukanlah sebiji kebetulan. Kemampuannya dalam menggali
hieroglyphics (tulisan Mesir kuno)
yang tak diragukan, mengantarnya sanggup membeberkan pemalsuan tersebut seusai
membaca dan menyelami aksara yang melekat pada batu nisan Raja Tutankhamen.
Memungut
Berkah Lewat Petuah
Epitaf bukan sekadar
tulisan ringkas pada batu nisan yang diukir guna mengenang seseorang yang
dikubur. Sesuai kapasitasnya, ia juga mendermakan petuah-petuah bagi mereka
yang masih bernafas. Di dalam epitaf terkandung sejumlah amar, tuntunan, nasehat,
nilai, juga ungkapan bijak, yang menawarkan percikan kebajikan sekaligus bebulir
norma kehidupan. Hal ini, misalnya, bisa dirunut dari epitaf John Locke, Francois
Villon, juga Florentine.
Dengan beragam kelemahan
yang dipanggul, John Locke menyadari bahwa tiadalah manusia makhluk baka; dekat
dengan sempurna. Manusia cuma makhluk sementara yang rimbun cacing dalam
perutnya. Atas dasar itulah, meski kelak ketika nyawa rontok dari raga, pengarang
disertasi politik aliran liberal berjudul “Two
Treatises of Government” itu berhasrat tetap garang menggaungkan kebenaran.
Tak heran, jika pada waktu jasadnya dibaringkan untuk selamanya, di batu
nisannya tersua kata-kata: “wahai para
pejalan kaki, berhentilah sejenak! Di sini terbaring John Locke. Kalau Anda bertanya,
orang seperti apa dia. Dia akan menjawab: seorang yang hidupnya puas dengan
hal-hal sederhana. Dia memang dibesarkan oleh ilmu pengetahuan. Namun, apa yang
telah dijalankan seluruh hidupnya adalah pengabdian kepada kebenaran.”
Seorang penyair,
pencuri dan gelandangan Perancis, Francois Villon (dalam Melani Budianta, 2006:
70)—melalui puisi—menyajikan epitaf yang syarat dengan imperatif moral: Saudaraku seumat yang hidup sesudah kami/ Jangan
terhadap kami hatimu kau batukan/ Adapun, bila kau belasi kami yang malang ini/
Kaupun lantas saja diampuni oleh Tuhan/ Kau lihat kami lima-enam orang
bergantungan/ Daging kami, terlalu kami padati dengan makanan/ Hampirlah busuk
seluruhnya hancur berantakan/ Lalu kami, kerangka, menjadi tepung dan debu/ Kami
yang malang ini janganlah tertawakan/ Tapi doakan: Tuhan mengampuni kami dan
kamu.
Adapun Florentine—di
Belanda dikenal dengan julukan “Janda Hitam” (Black Widow)—sebelum meninggal pada 24 Maret 2007, sempat memesan
batu nisan berhiaskan kalimat “de
Waarheid Maakt Vrij” atau “kebenaran
akan mendatangkan kebebasan”. Sungguh merupakan corak satir tersendiri terhadap
slogan mayoritas kamp konsentrasi “Arbeit
Macht Frei” atau “kerja akan
mendatangkan kebebasan”.
Latar belakang lahirnya
epitaf tersebut adalah ketika Florentine menyangkal adanya Holocaust, menyesali kejatuhan Dritte Reich Jerman dan ancaman
terhadap kemurnian rasial. Akibatnya, istri kedua van Tonnigen itu dikecam
habis bahkan oleh ketiga anaknya. Oleh karena van Tonnigen pernah menjadi
anggota parlemen di tahun 1930-an, Florentine tetap menerima pensiun dari
negara selaku janda anggota parlemen. Saat media massa memublikasikan berita
tersebut tahun 1986, timbul kehebohan. Akibatnya, parlemen pun bersidang. Akan
tetapi, tidak ada yang bisa dilakukan, sebab penerimaan pensiun tersebut sah
menurut hukum. (Fernando R. Srivanto, 2008: 11)
Epitaf Florentine di
atas, selain menghibahkan pesan mulia, juga mengurai gambaran realitas bagi
suatu masa. Masa di mana aktifitas ‘kerja’ menempati posisi tinggi memecundangi
segalanya.
Epitaf
dan Penderitaan
Epitaf tak hanya menyimpan
petuah, melainkan juga memeram raung kesengsaraan. Sebagaimana epitaf di sebuah
kota kuno bertuliskan: “Deleta Silentia”.
Sesuai kronik Imelda Saputra (2010), motif di balik munculnya tulisan pada batu
nisan tersebut termuat dalam kisah usang.
Konon, suatu hari,
pangeran penguasa kota itu pernah terkejut tanpa sebab. Semenjak itulah, ia
menerbitkan titah kepada warga istana agar tiada satu pun berita buruk
dihidangkan ke telinganya, terutama kabar seputar penderitaan dan kematian. Celakanya,
ia justru melumat siang dan malam untuk bersenang-senang, berfoya-foya, serta
mereguk aneka rupa kenikmatan dunia.
Semua anak buahnya
mematuhi perintah tersebut. Meski terkesan agak ganjil, mereka teguh
mengindahkannya. Bahkan, ketika pihak musuh tiba di gerbang kerajaan, para
penjaga urung melontarkan isyarat; seolah enggan, dengan membocorkan berita
buruk tersebut, mereka dicap durhaka.
Akhirnya, sang pangeran
terperanjat mencerap erang kesakitan para prajurit yang sekarat tatkala
istananya terbakar. Dan, dalam waktu relatif singkat, kota itu direbut dan
diduduki musuh.
Dalam kisah lain, seorang
tahanan politik Boven Digul bosan menerima perlakuan yang begitu keji. Betapa dalam
keterkungkungan dan penindasan yang membabibuta, ia merasakan penderitaan yang
luar biasa. Kendati demikian, ia tetap membesarkan jiwanya dan berusaha
semaksimal mungkin merawat harapan. Harapan yang barangkali akan terwujud
setelah datang kematian. Itulah mengapa, di batu nisannya, terpajang sebuah
puisi—ditujukan kepada seseorang yang mewariskan inspirasi tiada henti: Bagi kami kau tak hilang tanpa bekas/ Hari
ini telah tumbuh dari masamu/ Tangan kami yang akan meneruskan/ Kerja agung
jauh hidupmu…….// Kami tancapkan kata mulia/ Hidup penuh harapan/ Suluh dinyalakan dalam malammu/ Kami yang
meneruskan……./ Sebagai pelanjut
angkatan…….
Begitu kecut dan getirnya
kehidupan, tak ayal, jika di batu nisan Soe Hok Gie terpahat kata-kata: “nobody knows the troubles I’ve seen, nobody
knows my sorrow.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar