Judul:
Lupa Endonesa
Penulis:
Sujiwo Tejo
Terbit:
Cetakan Ketiga, Oktober 2012
Penerbit:
Bentang
Tebal:
xiv + 218 halaman
Harga:
Rp. 44.000,-
Buku yang berada di
genggaman pembaca ini merupakan kumpulan pedalangan Sujiwo Tejo saban hari
Minggu di harian Jawa Pos dengan
tajuk Wayang Durangpo. Dari tulisan-tulisannya
itulah menunjukkan bahwa kemampuan Sujiwo Tejo mendalang di koran sebanding
dengan keahliannya memainkan wayang di suatu pakeliran. Maklum, Sujiwo Tejo adalah wartawan tulis yang andal dan
fenomenal. Kiprahnya selama sepuluh tahun menjadi kuli tinta di harian Kompas menjadi salah satu bukti
kepiawaiannya dalam menulis.
Dalam kata
pengantarnya, Dahlan Iskan sampai-sampai menyinggung ketertarikannya pada sosok
Sujiwo Tejo yang begitu lincah menyajikan kisah pewayangan yang unik, keluar
dari pakem dan mainstream. Menteri
Negara BUMN tersebut mengaku terlarut ketika menyimak tulisan Sujiwo Tejo
tentang Kurawa. Ini lantaran tulisannya cenderung “kurang ajar”. Dahlan Iskan
terpancing untuk mencari tahu kenapa Kurawa menjadi keluarga yang jahat. Di
akhir pencariannya, ia memilih bersimpati kepada orangtua Kurawa, sehingga
dalam forum apa pun, tidak segan-segan ia mengatakan bahwa tokoh wayang
idolanya adalah Dursasana! Bukan Bima, Prabu Kresna, ataupun Gatutkaca. Menurut
Dahlan Iskan, Dursasana tidaklah jahat. Ia hanya bodoh dan mempunyai selera
humor tinggi. Humornya ditunjukkan dengan cara mengejek diri sendiri. Padahal, sebaik-baik
orang adalah orang yang masih mampu mengejek diri sendiri. Apalagi, ejekan
terhadap diri sendiri itu dilakukan sebelum mengejek orang lain. (halaman
viii-x)
Adapun dari prakatanya
“Nglindur Bareng”, Sujiwo Tejo
mengatakan bahwa Wayang Durangpo merupakan singkatan dari wayang ngelindur
bareng Punokawan. Dari sini terkuak, bahwa yang namanya ngelindur (mengigau), tiada yang mustahil untuk dikatakan. Prabu
Baladewa boleh tiba-tiba muncul di Jembatan Suramadu bersama Pak Sakerah dan
rombongan Star Trek. Begitu juga Suster Ngesot dan penyair Kahlil Gibran, bisa
tepergok Gareng, Petruk, dan Bagong dalam kisah Ramayana dan Mahabarata.
Tak ada yang salah, namanya juga ngelindur.
(halaman xi)
Dengan konsepnya
tentang apa yang disebut ngelindur, sujiwo
Tejo bisa dengan leluasa dan seenaknya mengomentari ketimpangan-ketimpangan
yanga ada. Dia juga boleh mengkritisi berbagai kebijakan penguasa yang dinilai
merugikan rakyat dan negara. Dalam ngelindur-nya,
Sujiwo Tejo akan menyentil perilaku para aparat yang sama sekali tidak memiliki
integritas. Pun juga menyelipkan pesan dan nasehat bagi pejabat, konglomerat
maupun orang-orang yang berkategori melarat.
Mirip pengguna komputer
yang menata file-filenya, Sujiwo Tejo menyimpan tulisan-tulisannya dalam
beberapa folder. Sesuai tema yang diangkat, ia memberikan nama pada folder yang
ia bagi menjadi enam. Pertama Cinta Tanah
Air, kedua Dasar Manusia, ketiga Lupa-lupa Ingat, keempat Fulus, Oh, Fulus, kelima Kecanduan Berharap, serta yang terakhir Negeri Mimpi. Folder-folder tersebut
memuat sejumlah tulisan yang mempunyai kedekatan bahkan kemiripan dasar
berpikir, sehingga memudahkan para pembaca untuk melacak mana saja tulisan yang
berada dalam satu alur dan tempat pijak yang sama.
“Lupa
Endonesa” merupakan judul tulisan yang dipungut dari folder Cinta Tanah Air. Dalam tulisan tersebut,
Sujiwo Tejo menyoroti kekurangwaspadaan penguasa terhadap iming-iming dari
luar. Demi meraup keuntungan yang tidak seberapa, harga diri rakyat digadaikan
bahkan diperjualbelikan. Kenikmatan akhirnya hanya boleh dirasakan oleh segelintir
orang. Inilah yang dapat mengakibatkan negara terperosok dalam lubang
hitam-pekat dan dikelilingi oleh hewan buas.
Dari percakapan antara Sariwati
dan Gareng, Sujiwo Tejo menyisipkan masukan yang berarti bagi penguasa.
Menurutnya, guna mensejahterakan rakyat, Indonesia tidak memerlukan campur
tangan modal asing untuk membuka lapangan kerja. Alih-alih memberikan kedamaian
dan kenyamanan, perusahaan asing atau organisasi multinasional hanya akan
menghancurkan Indonesia secara perlahan. Bagaimana tidak, bila ditelisik lebih
cermat, bantuan tersebut memiliki pamrih mengeruk kekayaan bumi Indonesia,
termasuk yang paling vital, yaitu air. Ibarat gelas emas berisi racun, bantuan
yang ditawarkan sebenarnya bersifat mematikan. Dari luar terlihat menyejukkan,
namun tampak kejam dari dalam.
Dalam tulisan “Antara ‘Yayang’ dan ‘Yang Mulia’” Sujiwo
Tejo mencibir bahwa peradilan di Indonesia tidak lebih dari aksi unjuk gigi
bagi para sarjana hukum. Mereka dengan sebutan “Yang Mulia” lihai menyulap
undang-undang demi beragam kepentingan. Sekadar formalitas belaka, syarat
menjadi hakim yang utama adalah alumnus kampus hukum, bukan kredibitas dan
kualitasnya. Sehingga perkara administratif-prosedural lebih tampak ketimbang
muatan esensial dan vital. Karena masyarakat yang sudah tidak percaya dengan
hakim-hakim bertipe seperti ini, akhirnya diangkatlah Gareng, Petruk dan
Bagong. Akan tetapi, setelah dilantik, mereka bertiga merasa tidak nyaman
dengan julukan “Yang Mulia” dan lebih suka dipanggil “Yang Reng”, “Yang Truk”,
dan “Yang Gong”, yang didasarkan pada nama masing-masing. Adapun “Yang Mulia”,
hanya akan menambah jarak antara sang hakim dengan para pihak yang menuntut
keadilan.
Adapun tulisan “Jejak Pendapat Para Dewa” memberikan
komentar bahwa pendidikan suatu bangsa tidak bisa dinilai dari harga. Salah
jika ada yang berpendapat bahwa semakin mahal sekolah, semakin bagus kualitasnya.
Lebih salah lagi jika hal ini diyakini oleh pembesar negara. Suatu negeri antah
berantah, melalui menteri pendidikannya, mengumumkan, “kalau sudah tahu biaya
di sekolah tersebut mahal, ya, cari alternatif sekolah murah. Semua ada kastanya.
Ada yang pakai mobil, ada yang pakai sepeda motor. Kastanisasi sifatnya tidak SARA
atau diskriminatif. Itu sifatnya kompetitif…” (halaman 87)
Ucapan di atas
menyiratkan adanya diskriminasi dalam bidang pendidikan. Jadi, hanya orang
berduit yang bisa masuk sekolah berkualitas. Oleh sebab itulah, kepada stafnya,
Batara Guru memerintahkan agar ucapan tersebut segera diralat, demi melindungi
kepentingan bersama. Pendidikan harus bisa dinikmati oleh semua kalangan.
Percakapan antar tokoh,
humor, dan plesetan cerdas Sujiwo Tejo dalam buku ini secara langsung maupun
tidak sesungguhnya mengajak pembaca untuk berpikir sambil merenung dalam suasana
gaduh dan riang.
Yogyakarta, 2012
Keren wayangnya. Udah baca semua di sujiwotejo.com. Jadi ndak usah beli bukunya. Paling sama-kan isinya?
BalasHapus