Sepatu menyimpan
berbagai identitas diri. Dari yang sederhana hingga paling luks sekalipun.
Identitas-identitas tersebut melekat seiring dengan laju perjalanan kehidupan
manusia yang semakin kencang.
Dahulu kala, penggunaan
sepatu ditengok dari satu sudut pandang saja, yaitu berdasarkan fungsi.
Siapapun yang memakai sepatu pada umumnya bertujuan untuk melindungi kaki dari
ancaman duri, paku, pecahan kaca, atau benda berbahaya lainnya yang bisa
mengakibatkan seseorang terluka saat berjalan. Selain itu, sepatu juga
dimanfaatkan untuk menghindarkan tubuh, utamanya kaki, dari kebekuan saat musim
dingin tiba. Dengan kulit atau bahan baku lainnya, sepatu dipercaya mampu
mengusir bengalnya kedinginan dan menghadirkan bulir-bulir kehangatan.
Namun demikian,
menggelindingnya bola waktu nyatanya menunjukkan kegunaan sepatu kian beragam.
Sepatu tidak lagi melulu sebagai pelindung kaki. Lebih dari itu, sepatu telah
dilegitimasi menjadi simbol kemapanan, kesopanan, serta profesionalitas.
Harga diri sepatu pun
meningkat, sebab menjelma menjadi lambang gengsi kehidupan. Itulah mengapa,
guna menopang penampilan dan meyakinkan orang lain bahwa dirinya adalah
eksekutif sejati, maka seorang perempuan membutuhkan simbol-simbol kebudayaan (icon) yang membungkus tubuhnya sepanjang
hari, di antaranya mode sepatu hak tinggi dengan ujung sempit. (Sidik Jatmika,
2009: 138). Dengan mengenakan sepatu tersebut, niscaya image rendah perempuan dengan sendirinya akan hilang.
Mengenai harga diri
sepatu ini, Darmawijaya (1994) mencatat bahwa Michael Jordan pernah dijanjikan
mengantongi kompensasi sangat tinggi apabila bersedia memakai sepatu Nike dalam
pertandingan bola basket. Betapa hanya dengan menempel pada kaki pemain basket
dunia, derajat sepatu juga turut melambung. Berbanding terbalik dengan apa yang
dialami Sadisah, seseorang bermatapencaharian penjahit sepatu. Ia menjahit
sepatu tersebut di Tangerang dengan menghabiskan waktu sekitar dua minggu dan
dituntut bekerja ekstra keras selama 10 jam saban hari untuk bisa membeli
sepatu yang biasa dijahitnya. Demikianlah, dengan mudahnya pemakai sepatu Nike
memperoleh gengsi tinggi, namun begitu sulit bagi para pembuatnya untuk meraih
gengsi tersebut.
Penyalahgunaan
Sepatu
Meskipun terkesan
remeh, fakta berkoar bahwa dalam sepatu terkandung kekuatan besar yang tak
boleh dipandang sebelah mata. Sayangnya, kelebihan yang melekat pada sepatu
justru kerap disalahgunakan. Misalnya, demi kepentingan pragmatis, sepatu
dimanfaatkan para penguasa untuk melindas rakyat. Pada saat itulah sepatu
berperan sebagai simbol kekuasaan.
Pada tahun 1997, dengan
sisa-sisa kekuatan Orde Baru, gerakan penyeragaman masih menjadi momok
menakutkan bagi masyarakat, karena menyelundup ke hampir segala sendi
kehidupan, tak terkecuali kehidupan anak-anak. Betapa tidak! Upaya
menyeragamkan segala-galanya yang berhubungan dengan kehidupan anak-anak
mencapai puncaknya dengan adanya penyeragaman sepatu sekolah. Hal ini
diwujudkan dengan terbitnya Keputusan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang
merekomendasikan sepatu berlogo Organisasi Siswa Intra-Sekolah (OSIS) untuk
dipakai oleh murid-murid baru. Sesuai rencana, sepatu bermerk OSIS tersebut
akan dijadikan sepatu nasional (sepnas), dengan target semua murid Sekolah
Dasar di seluruh Indonesia.
Sepatu yang dipasok
oleh PT Aryo Nusa Pakarti dengan harga 21.000 rupiah tersebut dinilai terlalu
mahal dan memberatkan wali murid. Padahal dengan kualitas yang sama sepatu
semacam itu bisa didapat di Cibaduyut dengan harga 10.000 rupiah. Meskipun
perusahaan milik cucu pertama Presiden Soeharto, Ary Sigit, tersebut berjanji
menyumbang Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) untuk tiap 10 pasang yang
terjual, sorotan luar biasa tetap datang dari berbagai pihak.
Syukurlah, gerakan
penyeragaman sepatu sekolah tersebut dibatalkan. Didorong berbagai pertimbangan
dan masukan, akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mencabut surat
rekomendasi "bisnis sepatu sekolah" yang diberikan ke PT Aryo Nusa
Pakarti.
Ikhtiar penyalahgunaan
sepatu juga begitu nampak ketika sepatu dinobatkan sebagai simbol kekejaman.
Hal itu diwakili oleh sosok bengis sepatu lars militer, yang merupakan lambang
kekerasan serta produk dari pemerintahan tiran. Aksi-aksi kekerasan sengaja
dirancang guna menyajikan teror kepada rakyat; berlangsung secara sistematik
dan struktural dengan mendayagunakan sepatu lars militer selaku pendukungnya.
Anneline Marie Frank,
gadis keturunan Yahudi yang hidup pada masa Perang Dunia II, begitu cemas
ketika di tempat persembunyiannya mendapati suara derap sepatu lars militer
Nazi. Sungguh, hanya dengan mendengar suara yang ditimbulkan sepatu tersebut,
Anne bisa menggigil ketakutan. Dalam dirinya terdapat kekhawatiran, apabila ia
beserta keluarganya ditemukan oleh para tentara Nazi. Untungnya, di bawah
bayang-bayang sepatu lars militer, saksi peristiwa Holocaust tersebut tetap
menulis kegelisahannya dalam buku harian. Meskipun kemudian ia tertangkap,
ternyata diari tersebut berhasil diselamatkan, diterbitkan, dan diterjemahkan dalam
banyak bahasa. Diari Anne dimasukkan dalam ribuan kurikulum sekolah menengah di
seluruh dunia dan menjadi inspirasi tak henti bagi setiap pembaca.
Ilham
dari Sepatu
Posisi sepatu tak
ubahnya dengan pisau; pada suatu kali dipakai dalam keburukan, namun pada kali
lain untuk perkara yang bermanfaat bagi kehidupan. Barang tentu hal itu
tergantung pada siapa yang menggunakan. Tak ayal, selain menjadi simbol
kekuasaan dan kekejaman, sepatu juga menjadi pemantik bagi lahirnya konsep
arsitektur dan karya sastra.
Di tangan arsitek
handal, sepatu mengilhami tercetusnya konsep arsitektur yang mengagumkan.
Philip K. Hitti (1970) dalam bukunya yang tersohor, History of Arabs, melanting notasi bahwa konsep arsitektur sepatu
kuda yang kelak menjadi keistimewaan muslim-Barat merupakan salah satu ciri
khas bidang arsitektur Spanyol-muslim. Sistem arsitektur itu merebak pada
bangunan-bangunan di utara Suriah, Ctesifon, juga tempat-tempat lain.
Tapak lancip, penanda
penting arsitektur Barat-Gotik, muncul pertama kalinya dalam arsitektur Islam
pada Masjid Umayyah dan Istana Amrah. Beberapa jenis corak lingkaran sepatu
kuda lainnya di Barat masyhur dengan sebutan lengkungan Moor. Di semenanjung
utara terdapat kombinasi antara tradisi Kristen dan muslim sehingga muncul
suatu corak berciri khas penggunaan tapak dan kubah sepatu kuda. Para arsitek
Mudejar mengantar seni campuran ini menggapai puncak keindahan dan kesempurnaan
serta menjadi gaya nasional Spanyol.
Sepatu juga mendermakan
inspirasi bagi Khrisna Pabichara dalam menganggit novel Sepatu Dahlan. Novel yang diangkat dari memoar Dahlan Iskan dalam
menapaki terjalnya kehidupan sampai berhasil merengkuh kesuksesan. Di dalamnya
digambarkan bagaimana beratnya perjuangan menteri BUMN tersebut untuk memiliki
sepatu dan mengejar mimpi-mimpi lainnya. Begitu akrabnya telinga masyarakat
dengan profil tokoh satu ini, didukung dengan penggarapan penulis yang serius
dan intens, muncul animo luar biasa dari masyarakat dengan membelinya di
toko-toko buku, sehingga dalam waktu singkat novel tersebut mengetam label “Best Seller”.
Ada fenomena menarik
ketika novel tersebut diluncurkan di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta. Pada
waktu itu, Dahlan melempar sepatu yang ia pakai. Aksi pelemparan sepatu itu
merupakan bentuk penolakan terhadap sepatu rakitan luar negeri. Usai melempar
sepatu, Dahlan mengawali Gerakan Sepatu untuk Anak Indonesia dengan membagikan secara
gratis sekitar 1.000 sepatu untuk anak-anak Sekolah Dasar di seluruh sudut
Jakarta. Entah, apa yang dilakukan memang berasal dari lubuk hati terdalam, bertujuan
pencitraan, ataukah dalam rangka membuat novel tersebut laris manis di pasaran.
Yang pasti, respon masyarakat sangat berbeda bila dibandingkan ketika rencana
penyeragaman sepatu OSIS digulirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar