Kecantikan Srintil
senantiasa meruap laksana harum bunga kamboja tertiup angin utara. Berkulit
langsat, berwajah purnama, berambut malam, bergigi mentimun, bersenyum embun.
Entah, sekali lagi entah, cahaya jenis apa yang berseliweran di selingkar
tubuhnya; hingga serata pemuda di desa kami kelenger bak babi hutan disergap
pemburu kelaparan—kala bertembung muka dengannya.
Tunggu dulu! Lebih baik
kalian tak mudah percaya dengan bualan kami. Bualan yang seutuhnya jauh dari
benar ini. Kenapa? Tentu, enggan kami mengantongi gelar pengecoh sejati. Atau
pembohong kelas tinggi. Lantas? Sabarlah serejang. Bila boleh berkotek,
sesungguhnya apa yang kami sajikan di sini, tak bakal sanggup mewakili keelokan
fisiknya. Akan tetapi, kalian mungkin tak hendak menolak jika kami melempar
kalam bahwa kesempurnaan yang menempel pada diri Sritil adalah kesempurnaan
seorang bidadari. Ya. Bidadari yang mendarat dari surga dan terdampar di bumi.
Di desa kami,
pembicaraan mengenai tokoh idola Srintil merupakan menu utama bagi siapa saja,
terlebih lagi para pemuda. Di gang, pos ronda, warung kopi, atau gubuk tengah
sawah sekalipun, selalu saja nama gadis berlesung pipit itu disebut. Lembut
perangainya, halus gaya bicaranya, dan segala tingkah-polahnya layak dielukan.
Kedigdayaannya dalam menjerat kaum pejantan patut menadah pengakuan. Alamak! Pesonanya memang sungguh luar
biasa. Pukaunya rajin mencolek kalbu dan jiwa. Kalau boleh kami ibaratkan,
ketakjuban pemuda-pemuda itu layaknya keterpincutan Qais pada Laila, atau
kekaguman Romeo pada Juliet.
Di antara pemuda pemuja
dan penggandrung keanggunan Srintil itu ialah Ompu dan Tejo. Dua remaja yang
sejak melungguh di bangku SD memilin ikatan persahabatan. Dua jejaka yang
menyandang keadaan saling berlawanan. Jangan salahkan kami! Sekali lagi, kami
sekadar mencoba jujur dan bermoncong apa adanya. Benar. Ompu tiada lain adalah
jejaka buruk rupa, miskin harta, lapuk tabiat pula. Beda halnya dengan Tejo
yang rupawan, hartawan, serta penimbun kebaikan. Ah, rasa-rasanya kami kurang
adil memperlakukan keduanya. Namun, itu realita! Barangkali kalian menuduh
bahwa kami punya kepentingan dengan hal ini. Aih, aih, aih… Jika benar
demikian, asal tahu saja! Tuduhan itu sama sekali tak berdasar dan bisa
dikategorikan fitnah.
Sepertinya, kurang pas
bila dikatakan bahwa Ompu dan Tejo tercipta padat perbedaan. Paling tidak—sesama
manusia—tersua sebiji persamaan yang kebetulan teronggok di tubuh keduanya.
Dan, tahukah kalian? Kalau persamaan tersebut berada pada keberanian mereka
berdua untuk menanam biji asmara di lubuk hati terdalam. Keberanian menaruh
rasa pada putri kepala desa. Keberanian yang tak bakal dijamah oleh semua
pemuda, kecuali Ompu dan Tejo. Siapa pun akan ciut nyali jika beradu kening
dengan pemandu desa kami, Pak Sugiya. Seseorang yang pada suatu kali baiknya
setengah mati, namun pada kali lain—ini yang paling sering—galaknya
menjadi-jadi. Entahlah. Boleh jadi mereka berdua sudah gila. Walakin, kerap
kali kegilaan mengantar manusia menyadari apa yang paling suci di dunia; ialah
cinta.
***
Sebutir perjanjian
jangkap digulirkan oleh Ompu dan Tejo. Mereka berdua bagai dua ekor singa yang
berebut satu buruan. Dan buruan tersebut adalah—siapa lagi kalau bukan—Srintil.
Guna meloloskan hasrat,
terbitlah persaingan antara dua sahabat. Persaingan yang tampaknya lebih tepat
dijuluki sebagai persaingan kurang seimbang. Bagaimana tidak? Persaingan
Ompu-Tejo merupakan persaingan yang berhembus antara dua ekor singa yang
berlainan kualitas. Yang satu tinggi besar, berbadan kokoh, bertaring panjang,
kuat, dan mengaum lantang. Adapun satunya cebol, ceking, bertulang kambing,
ompong, kudisan, lembek suara pula. Kami sempat heran, meski kurang dapat
dicerna, ternyata persaingan ganjil tersebut terwujud juga.
Mulai hari pertama
hingga keempat puluh, Ompu dan Tejo menjalankan ikhtiar masing-masing. Mereka
rela memeras peluh dan air mata demi menjuarai persaingan. Persaingan yang mau
tak mau mendesak harga diri keduanya dipertaruhkan. Dan, singkat cerita,
nyatanya keberuntungan berpihak pada Tejo. Ompu takluk, jadi pecundang. Terang
saja! Puan yang raib akal sekalipun bakal berminat pada Tejo ketimbang Ompu.
Ompu muntab. Benar-benar ia belum sanggup
mengunyah kewirangan. Di mana-mana, amarah lekas menguasai si kalah. Sehingga,
seenak udelnya, ia menuding seterunya telah melanting pelet pada Srintil.
Bahkan, lebih dari itu, ia menganggap bahwa hanya demi mereguk kemenangan,
begitu teganya Tejo mengesampingkan persahabatan.
Mulanya, Tejo tak ambil
pusing dengan tindakan Ompu. Ia hanya tercekat ketika sahabat yang sering
diajak mengetam jagung itu berkhianat. Namun, sialnya, jenderal syetan lebih
berjaya. Makhluk paling durhaka dan sok pintar tersebut genap mengerahkan
komplotan begundalnya untuk membujuk keteguhan Tejo. Terdesak rayuan, Tejo pun
oleng. Kini, di antara sesetel sahabat tersebut berdiri dinding permusuhan yang
begitu kekar, tebal, sekaligus mengakar.
***
“Anakku, pergilah ke
kaki gunung Lowoireng, dekat desa Moroklawu. Di sanalah Kakekmu bertapa.”
Kalam itulah yang
meluncur dari katup mulut perempuan renta kala menyambut keluhan anaknya.
Sungguh, Ompu berbulat niat untuk melakukan apa saja guna menebus kegagalannya
dalam perhelatan berburu Srintil. Ia gelap mata. Hingga kisah ini diwartakan,
kami belum dapat menebak jin apa yang berhasil merasuki kepalanya.
Bertelanjang kaki, Ompu
bertolak ke loka tujuan. Di sana, ia hendak memetik gemblengan serta didikan
Mbah Karwo, sepuh sakti yang mendirikan puluhan perguruan pencak silat di
berbagai tempat.
Membanting sepatah kata
saja belum sempat, Ompu sudah dibuat tergemap. Rupanya, jantan berumur hampir
seabad itu telah mengendus maksud kedatangan cucunya dengan berkecek enteng,
“kalau cuma untuk balas dendam, serbuk ini lebih dari cukup, Cucuku.”
Sambil mengeluarkan
botol berisi serbuk hitam, Mbah Karwo melanjutkan, “tapi, untuk memperolehnya,
kau harus memenuhi dua syarat.”
“Apa syaratnya, Kakek?”
segesit kilat bibir Ompu bergetar.
“Pertama, kau wajib
ikut aku bertapa selama tiga tahun.”
“Kedua?”
“Sebelum serbuk ini kau
gunakan, kau harus menjadikan binatang tak berkaki sebagai makanan
keseharianmu.”
Dahi Ompu bergelombang.
Sepasang alisnya mengait. Sepemakan sirih kemudian, Mbah Karwo menghunjamkan
pertanyaan, “Apa kau sanggup, Cucuku?”
“Baiklah, Kakek. Aku
sanggup.”
***
Guna memuluskan tujuan,
sepulang dari pertapaan, Ompu masih menghindari pantangan dari Mbah Karwo. Demi
menyumpal lambungnya, ia menyantap cacing dan ular. Saban hari, ia
mengendap-endap di hutan Rowokidul guna menangkap santapan pokoknya. Jika belum
mendapat jatah tiga kali makan, ia pun enggan pulang.
Meski Ompu berusaha
seliat tenaga menutupi kebiasannya, sebagian dari kami telah memafhuminya. Hal
itulah yang takah-takahnya memicunya tertekan. Pasalnya, ia diduga melakoni
ritual ilmu hitam. Tak ayal, dendamnya kepada Tejo kian menggumpal; hingga
apabila dendam itu tersentuh benda tajam, pastilah akan pecah berkeping-keping.
Didorong bermacam
pertimbangan, Ompu menganggap bahwa sekaranglah saat yang tepat untuk
bersiasat. Ia hendak menemui Tejo dan melucuti kesumatnya. Di tengah
perjalanan, ia berjumpa dengan Kawi yang tengah memanggul sekarung beras.
Memanfaatkan kesempatan, ia pun menghunus pertanyaan, “Hai, Kawi. Kau tahu di
mana Tejo tinggal?”
“Tejo bermukim di desa
Karanganyar. Ia sudah lama pindah ke sana, semenjak menikah dengan Srintil.”
Dengan polosnya, Kawi mendedahkan jawaban.
Mendengar kaul buruh
kasar itu, Ompu ingin muntah. Betapa kebencian yang dirawatnya semakin
bertambah. Nekat betul Tejo menikahi gadis tepian matanya itu. Lantas ia
mempercepat langkah agar bisa segera melampiaskan kegeraman.
“O… Mas Ompu. Silakan
masuk, Mas.”
Buah tutur dan sambutan
Srintil yang begitu kalem mudah memperdaya Ompu. Ia menurut layaknya anjing
dituntun majikan. Ia sadar, sepenuhnya sadar, bahwa lelaki berhidung bengkok
itu hanya ingin berurusan dengan Tejo; bukan yang lain. Tak perlu kiranya,
dendam yang sedang ditabungnya menjalar pada tubuh perempuan yang pernah
dipuja-puja itu. Cukuplah si bedebah Tejo yang laik melunasi kejengahan serta
keberangannya.
Sebenarnya, kami baru
paham, bahwa Srintil ternyata sama sekali tak mencium bau permusuhan antara
Ompu dan suaminya. Selama ini, bayangkan! selama ini, ia menganggap bahwa
hubungan persahabatan antara keduanya baik-baik saja. Apalagi, Tejo juga tak
suah menceritakan perihal kondisi perkaribannya itu.
Menggelesot di atas
tikar daun pandan, Ompu menanti kemunculan Tejo. “Sebentar lagi kau bakal
mampus, Tejo”, batinnya memekik.
Srintil keluar dari
dalam dengan membawa daging kijang yang baru saja dipanggang. Perempuan
berambut sebahu itu menghidangkannya di depan Ompu.
“Dimana suamimu?” Ompu
bertanya tak sabar.
“Ngapunten, Mas. Dari tadi pagi, Mas Tejo mencangkul di sawah.
Mungkin sebentar lagi pulang. Monggo
Mas, dimakan. Ini hasil buruan Mas Tejo kemarin.”
Menghirup aroma daging
lezat meliuk-liuk, khatamnya Ompu lupa diri. Menunggu datangnya Tejo, bukanlah
kesalahan jika ia menikmati secolek daging kijang sambil memandangi kecantikan
Srintil. Barangkali begitulah pikirnya.
Jemari kanan Ompu
mencubit dan menyantap suguhan yang menggoda itu. Sekonyong-konyong, lidahnya
melepuh. Dari mulutnya menyembul ribuan cacing dan ular. Serbuk yang dikantongi
tumpah, mengakibatkan serata tubuhnya hangus menghitam. Tangan beserta kakinya
mengeras. Dan…..
Yogyakarta, 2012
Catatan:
Ngapunten : maaf (bahasa Jawa)
Monggo : silakan (bahasa Jawa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar