/Satu/
Sambil
memasang muka memelas, Muntiah menyodorkan bungkus plastik berukuran tanggung ke
pengendara motor atau pengemudi mobil atau pasangan muda-mudi yang hendak memilin
asmara atau orang yang sedang mengejar kerja, ketika mereka menunggu lampu
hijau menyala. Tak lupa Muntiah menembangkan lagu dangdut koplo kesukaannya, setelah
mengintip beberapa keping uang kertas atau logam, tergolek di dalam wadah
permen bekas tadi. Melanting sebuah lagu tanpa menjangkapi dengan gerakan badan,
bisa dipastikan ada yang kurang. Karenanya, ia pun menggerakkan jemari dengan
gemulai, menunjukkan goyang ngebor yang aduhai, memesona, hingga mengundang
pujian dan bunyi ‘ckckckck’ dari lidah para penonton, terutama kaum lelaki.
Begitulah
kebiasaan Muntiah setiap hari. Ia melakukannya dengan suka hati, meskipun pengemis-pengemis
lain diam-diam mulai membencinya. Bagaimana tidak? Hasil kerja Muntiah selalu di
atas rata-rata; lebih banyak dan barang tentu mengungguli pendapatan pengemis
paling senior sekalipun. Bisa dua, bahkan empat kali lipat. Adapun Muntiah
tidak ambil pusing. Terlanjur ia memutuskan untuk tidak merubah cara bagaimana
ia memancing rupiah. Dalam otaknya tertanam keyakinan bahwa Tuhan telah
menggariskan nasib setiap manusia. Dan, urusan rizki termasuk dalam lingkaran
kepastian yang mustahil dirubah, meski berbekal beragam usaha.
Tidak
semua pengemis menaruh dengki pada Muntiah. Di antara sekian yang
menggantungkan hidup dari belas kasih orang lain di trotoar, kolong jembatan,
atau selingkar lampu merah, ada yang merasa diuntungkan. Kalian tahu? Sinok.
Ialah perempuan bersanggul uban yang dengan terang-terangan mendukung Muntiah
untuk terus menyalurkan bakat dan kreatifitas. Itu bukanlah hal yang janggal. Karena,
tiada lain tiada bukan, ialah makhluk yang menetaskan Muntiah dan membebaskannya
dari kungkungan rahim. Karena, lagi, ialah pengemis yang pensiun dini, sebab
pekerjaannya telah digantikan oleh sang buah hati.
Sinok
tidak butuh sebutir pun alasan guna menghentikan perilaku anaknya. Juga dalih
untuk menyumpat mulut teman-temannya yang nyinyir, cerewet, gemar menghembuskan
gunjingan pada gadis yang dadanya mulai terbentuk itu. Orang-orang atau bahkan setiap
yang bernafas boleh mencemooh Muntiah. Sejalan dengan itu pula, ia juga berhak
membiarkan anaknya mendapat apa yang ingin diraih, meski dengan jalan terkutuk sekalipun.
Pagi
itu, belum genap satu jam bekerja, Muntiah sudah menyeka dan mengeringkan keringat.
Bersama ibunya, ia menghitung uang yang berhasil dikumpulkan. Para pengemis
lain bergerombol, membentuk lingkaran kecil di samping kantor polisi. Dengan sinis
mereka memandang Muntiah dari kejauhan.
“Lihat!
Tuyul dari Bandung itu merampas penghasilan kita.” Hartati membuka pembicaraan.
Seusai merayapi ujung rambut hingga ujung kaki Muntiah, sepasang matanya
berkedip cepat. Dan, ia mendengus. Sebal.
“Iya,
ya. Coba dia gak datang ke Jogja. Pasti
pendapatan kita gak banyak
berkurang.” Dewi menyambung. Seraya mencoba menimbang kadar kegeraman Hartati,
keningnya berkerut.
“Dengar-dengar….”
Karsih menyahut, “satpol PP di Bandung lebih galak ketimbang Jogja. Makanya si
Mumun pilih ngemis di sini.” Kalau sedang
kesal, ia suka memanggil bebuyutannya dengan Mumun; nama pocong di sinetron salah
satu televisi swasta.
“Ssssttt…
kita berkumpul bukan lagi-lagi untuk menggunjing. Itu kan sudah sering kita lakukan. Kali ini kita bakal buat perhitungan
sama perempuan kemarin sore itu!” Suara Darmi cukup keras, memporakporandakan
kalimat-kalimat pengejek yang tengah dirancang Kartiyem, Dasimah, dan Warni.
Lantas
perempuan yang memosisikan diri selaku pemimpin tersebut melanjutkan, “perempuan
tengik! Sialan! Siapa namanya?”
“Muntiah”
Lima perempuan berteriak bersamaan.
“Mumun!!”
masih memendam bara dendam, Karsih bersuara lebih lantang.
Mengerti
apa yang dimaksud perempuan berambut pendek dan berbicara berapi-api itu,
Wardah menyambut, “baik. Apa rencanamu?”
/Dua/
Dari
mulut ke mulut, orang-orang, khususnya para sopir dan kenek bus, mengetahui
bahwa di Jalan Cik Ditiro, terdapat artis cantik yang mengobral suara untuk siapa
saja yang mengulurkan uang. Tak ayal, kemerduan suara, goyangan yang rancak dan
seronok, kegenitan, kelincahan, serta hal apa saja seputar artis tersebut
menjadi tema pembicaraan di terminal, warung, juga tempat nongkrong. Tiba-tiba para lelaki mendapatkan kembali semangat yang
lama menghilang, lantaran menemukan bahan perbincangan yang menarik untuk
dikaji lebih dalam, demi mengusir bosan, melupakan perselisihan dengan istri
yang makin hari makin tajam, juga sekadar menyeduh hiburan.
Pembicaraan
mengenai artis itu seakan tiada habisnya, bahkan selalu diperbarui dengan
berbagai data menarik tentang dirinya. Bagi yang sudah bertemu langsung, ia
akan menguatkan desas-desus yang menyebar dengan bermacam-macam narasi dan
argumentasi. Sementara itu, bagi yang belum pernah, akan dibawanya wajah sang
artis serta senyum manisnya serta tubuh sensualnya ke alam mimpi. Sampai-sampai
ketika mereka mengigau memanggil nama Mumun, para istri menaruh curiga kalau-kalau
suami mereka menyimpan kanca wingking
di tempat bekerja.
Keingintahuan
para sopir bus beserta keneknya membuat kekacauan di sepanjang jalan Yogyakarta.
Pasalnya, akhir-akhir ini, mereka kerap menyalahi jalur bus yang telah
ditetapkan. Demi mengetahui artis yang dimaksud, mereka bahkan rela untuk sementara
kehilangan penumpang. Namun demikian, pengorbanan mereka berimbang dengan hasil
yang diketam. Selepas mengetahui wajah serta penampilan artis idaman, mereka
menjadi lebih gigih dalam bekerja, rajin memberi kehangatan kepada istri sejak
mega berganti muka hingga fajar mendarat di pagi buta. Bagaimana pun juga, di satu
sisi kehadiran sang artis sanggup meningkatkan gairah para kepala rumah tangga dalam
memenuhi nafkah lahir dan batin istri tercinta, tapi di sisi lain, juga
memperkeruh suasana, karena banyak pengguna transportasi umum kebingungan
memilih bus yang mau ditumpangi. Alhasil, mau tidak mau pemerintah disibukkan
dengan tugas baru: menjinakkan orang-orang yang selama ini turut membantu
mendongkrak pemasukan daerah dan jumlah wisatawan dari mancanegara.
/Tiga/
Mumun
berputar-putar laksana gasing. Seakan tiada pernah kehabisan tenaga, ia meliuk-liukkan
lengan dan leher. Sekali dua ia menekuk lututnya. Melihat penonton kian
berjibun, tampak ia begitu bersemangat. Jalan Cik Ditiro sesak, berjejalan para
sopir, kenek, juga bus dari berbagai jurusan. Walaupun seluruh personil polisi
lalu lintas dikerahkan, rupanya mereka tetap tidak berdaya memecah kerumunan. Anehnya,
tiap kali peluit ditiupkan, pendatang baru malah berdatangan, seperti mendapat
undangan.
Hadirin
berbaris rapi. Mereka rela menguras isi dompet, demi melihat aksi dan atraksi artis
idola. Begitulah. Setiap kali Mumun menyumbang satu lagu, setiap itu pula
mereka melemparkan rupiah dari saku masing-masing. Pun, ibarat ronggeng, Mumun
mendapatkan bayaran ketika mampu membuat orang di depannya mengulum ujung
jakun, sebab tatapan mata yang garang atau gerakan erotis dari pangkal
pinggulnya. Sebagai bonusnya, perempuan berjanggut lancip tersebut akan
mencubit pipi siapa saja yang merelakan uang seratus ribu untuk dilempar di
bawah kaki Mumun.
Jam
tujuh malam. Kerumunan membubarkan diri dengan tertib. Tanpa aba-aba dan
perintah. Tanpa perlu menggerutu sebagaimana ketika menonton konser dangdut
koplo di lapangan Kridosono. Mereka benar-benar memperoleh kepuasan. Tentulah
mereka akan menularkan kepuasan itu kepada istri di rumah.
Bersama
komplotan, Darmi mendekati Mumun. Karena mereka sama-sama pengemis, tiada seorang
pun, termasuk polisi, curiga terhadap tingkah laku segerombolan perempuan
berkerut pipi itu. Juga seumpama kalian berada di lokasi, mungkin hanya bertanya-tanya
kenapa mereka berjalan terburu-buru, seolah menghindari kejaran satpol PP.
Dengan
sigap, mereka menarik Mumun ke bawah pohon beringin besar. Gelap, mereka leluasa
membungkam mulut Mumun dengan plester hitam, mengikat kedua tangan dan kakinya,
serta memasukkannya ke karung besar yang telah disiapkan. Menggunakan becak
Parno, suami Wardah, mereka membawa Mumun ke mulut Kali Code. Dan, segesit
kilat, disaksikan angin malam, mereka bersama-sama menceburkannya ke aliran sungai
yang sangat deras.
/Empat/
Pemerintah
kelabakan. Rencana gagal berantakan. Padahal, andai saja sang artis, Mumun, masih
memelihara nyawa, pastilah setiap minggu malam ia dihadirkan di depan kantor
wali kota. Guna bernyanyi, bergoyang, menghibur para sopir dan kenek bus, juga semua
lelaki yang mengaku kehilangan nafsu bekerja dan hasrat bercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar