Hobia memasang siasat.
Ia turun dari kamar dan menuju gudang senjata milik suaminya yang telah tiada. Di
sana ia mengambil sebuah busur dan tabung berisi anak panah lalu membagulnya ke
aula, loka di mana para pelamarnya berkumpul.
“Wahai, para pemburu cinta.”
Lenguh Hobia. “Ini adalah busur milik Domus. Barang siapa di antara kalian
mampu memasang tali busur ini dan melesatkan anak panah melewati tujuh belas
lubang di ujung kampak yang disusun sejajar, maka ia berhak menggantikan posisi
Domus.”
Ke tujuh pelamar Hobia
berembuk. Mereka tengah memusyawarahkan siapa yang berhak mengambil bagian
pertama kali. Binase, Joru, Obula, Guhor, Normuli, Suget, dan Paramican. Para
ksatria itu hendak memperebutkan perempuan gilang-gemilang. Perempuan yang
bersinar cerah layaknya mentari pagi. Perempuan yang bertutur kata kirana bagaikan
embun yang menyentuh daun kasuari. Tubuhnya laksana pohon cemara. Bola netranya
indah bak mata rusa. Rambutnya legam, tebal bergelombang. Hobia memang pantas menjelma
buah bibir dan bahan obrolan yang enggan habisnya. Bila seorang lelaki menatap
parasnya, niscaya jiwa lelaki itu akan gelisah dan membawa bayangannya dalam
mimpi. Ya, perempuan yang meski pernah bersuami dan melahirkan titisan itu masih
mengandung seribu pesona. Jikalau matahari tak terbit, cukuplah wajah Hobia
yang menggantikannya. Bila rembulan malas menampakkan batang hidungnya, keelokan
rona Hobia layak menyejukkan tanah Sutame.
Di antara para pelamar
itu ada yang menarik untuk dicermati. Paramican; jejaka yang tak lain dan tak
bukan adalah anak tunggal Hobia. Benar. Ialah hasil hubungan asmara perempuan
cantik itu dengan Domus—yang jangkap berusia 18 tahun.
“Kau mengkhianati leluhurmu,
Ksatria.” Desis Binase, ketika menginjakkan kaki di pelataran rumah Hobia.
Paramican membisu. Lidahnya
urung bergeser dari tempat semula. Ia tak tergoda secuil pun meladeni buah kalam
ksatria berhidung bengkok itu. Selaku bujang satu-satunya Hobia, Paramican kurang
tega melihat cinta ibunya diperebutkan oleh keenam lelaki yang riwayatnya belum
genap ia ketahui. Sebelum berangkat menemui ajal, ayahnya melempar wasiat:
“jagalah ibumu baik-baik, Anakku”. Dan, kini, ia bermaksud sepenuh hati
menjalankan wasiat tersebut.
Meski Paramican menampung
darah Domus—yang mashur dengan kepiawaiannya dalam memanah—, para ksatria itu
sama sekali tak mengkhawatirkan kemampuannya.
“Bisa apa jejaka
buntung itu?.” Obula membuka katup mulutnya.
“Anak malang. Gara-gara
jadi taruhan Domus dalam perlombaan berburu serigala, ia yang harus menderita.
Tangan kanannya ditebas oleh Trocus”. Sahut Normuli.
***
“Sudahlah. Daripada
membuang waktu sia-sia, lebih baik kau urungkan niat, Paramican. Kami berenam yang
beranggota badan sempurna kesulitan menembus lubang-lubang mungil itu. Apalagi
kau, haha…”
Biji tutur Joru menyengat
telinga Paramican.
“Tahukah kau, keturuan
Domus yang dungu? Suget saja yang setiap senja menghunjamkan dua puluh satu panah
ke paruh burung moyi dalam keadaan terbang, cuma tiga belas lubang yang dapat ia
lalui.”
Imbuh Hugor seraya
membusungkan dada.
Paramican mengernyitkan
dahi. Matanya merah bara—tanda bahwa amarahnya memuncak. Ini kali, cercaan dua
ksatria itu telah menggulung sendi-sendi etika hingga melampaui batas. Sebelumnya,
jarang sekali ia mengunyah perkataan kasar sedemikian rupa, selain dari Protto,
si lidah tajam. Kata-kata mereka menyayat perasaan Paramican. Dan kesabaran
manusia tetap ada piasnya.
Sepamakan sirih
kemudian, dengan merapatkan jemari, suara Paramican memecah udara: “Jika aku
berhasil melakukan, apa yang bakal kalian berikan padaku?”
Guhor yang semenjak
tadi berdiam diri, langsung mengulurkan jawaban meyakinkan: “Kepalaku yang akan
kuserahkan!”
Jawaban yang terselip
di luar purbasangka. Jawaban yang berhajat meremehkan Paramican. Kelima ksatria tercengang dengan
keputusan Guhor yang dinilai terlalu nekat. Namun, karena tertantang, akhirnya Binase,
Joru, Obula, Normuli, juga Suget secara serentak meluncurkan madah. “Kepala
kami juga, Paramican”.
Paramican mendengus. Betapa
ia merasa dianggap lajang yang belum pernah menyentuh busur. Betapa ia diterka tiada
mafhum tentang bagaimana mengalirkan anak panah pada sasaran. Betapa ia dijatuhkan
serendah-rendahnya, sampai-sampai bagian tubuh terpenting keenam ksatria itu
berani ditumbalkan.
“Kalian akan menyesal, Para
Ksatria.”
Lantas ia tarik busur yang
menggantung di lengan Suget. Dengan tangan kiri selaku pemegang busur dan gigi berperan
mengawat anak panah, ia siap menunjukkan kebolehannya. Memorinya masih sangat
kuat untuk sekadar merekam pesan sang ayah: “Dalam memanah, yang mesti diperhatikan
hanyalah tempat di mana kau arahkan anak panahmu, Paramican. Bukan yang lain.”
Segesit kilat Paramican
beraksi. Aksi memukau yang mengantar enam ksatria memungut janjinya. Aksi kegigihan
Paramican dalam melibas kesombongan mereka. Benar. Tujuh belas lubang di ujung
kampak yang disusun sejajar oleh ibunya berhasil ia terobos dengan satu anak
panah.
***
“Kau wajib memenuhi
janji, Anakku.”
“Tapi aku darah
dagingmu, Ibu.”
“Seorang ksatria hendaklah
memegang teguh kata-katanya.”
Sejak itulah, keguncangan
melanda Sutame. Ikatan terlarang antara ibu dan anak menelurkan gunjingan luar
biasa. Penduduk digemparkan dengan sesuatu yang sukar diterima logika. Moras, klan
keluarga Hobia, mengutuk habis-habisan ulah melenceng sepasang ibu dan anak tersebut.
“Terlaknat kau, Hobia. Domus
pasti marah dengan perbuatanmu. Tak sudi kami menganggap dirimu bagian dari
klan suci ini.” Pekik Rosum, tetua klan Moras, kala menangkap urita memalukan
itu dari Lohan.
Saban kali sepasang
suami-istri—sekaligus anak-ibu—itu berjalan ke pasar Gire, orang-orang melambungkan
umpatan: gares, muss, hebb; kata-kata
keji yang ditujukan kepada mereka berdua. Kata-kata yang kalau diterjemahkan—meski
kurang mewakili padanannya—adalah: anjing,
tahi, dan sialan. Sebagian besar para
pedagang serta-merta menutup toko mereka, sebab khawatir lekas mengantongi musibah
kalau sampai Hobia dan Paramican mendekat. Sesuai mitos yang disebarkan oleh nenek
moyang: “seorang anak yang mempersunting
ibunya sama saja mendatangkan bencana selama dua puluh tahun bagi tempat yang
ia kunjungi.”
***
Paramican terperanjat kala
memergoki Hobia. Serata tubuh Hobia diselimuti warna merah. Merah yang bukan sosok
mega saat surya pulang ke peraduan. Merah yang mengindikasikan cairan kental
pembawa sel-sel manusia. Benar. Jasad Hobia menghembuskan rimbun darah—yang berpunca
dari leher. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Sekiranya ia mengajak
Hobia berburu ikan bersama. Andaikan ia tak meninggalkan Hobia teronggok sekoteng
di rumah. Atau kalau saja ia menunda dulu kepergiannya dan menemani Hobia yang
sedang diserbu gundah. Tentu musibah itu urung terjadi. Pikirnya.
Sejak ditinggal Hobia,
Paramican bertingkah aneh. Ia kerap berlari-lari di selingkar hutan Tesse. Ia juga
sering mengoceh sendirian. Bila kebetulan menemuinya, orang-orang memanggilnya Ermu—nama yang disematkan bagi si hilang
akal.
Sebelum ayam jago
berkokok dua kali, Paramican keluar dari rumah; menggelinding tanpa arah. Ia ingin
memuntahkan segala kegundahan pada pohon dan bunga yang dijumpainya.
Paramican gemar
berlama-lama menggelesot di bukit Lomu. Di sana ia dapat dengan leluasa
memanggil-manggil Hobia serta menghanyutkan airmata. Aroma kehidupannya raib,
hingga menyebabkannya rajin putus asa. Yang lebih parah, ketika rindunya membuncah,
Paramican akan menziarahi kuburan Hobia. Ia mengendap-endap saat memasuki Nero,
taman yang menghubungkan bukit Lomu dengan tempat di mana mayat Hobia dibaringkan.
Tatkala hinggap di ujung taman, jantungnya bergetar hebat. Bukan lantaran takut
dipergoki oleh kakek bungkuk yang bertugas menjaga makam. Bukan, bukan. Namun
karena jarak antara dirinya dengan Hobia begitu dekat. Apabila berhasil lolos
dari indra penglihatan Qori—si juru kunci tadi—hatinya mengayuh gembira. Sebab,
ia bisa mencium nisan ibu sekaligus istrinya itu dari pagi buta hingga tengah
malam.
***
Esok adalah hari dimana
prajurit Sutame menghadapi kebengisan orang-orang Fiour. Mereka sangat
membutuhkan ksatria yang dengan tangannya mampu memukul mundur kekuatan lawan.
Sungguh disesalkan. Dengan
penyakit jiwanya, Paramican tak sanggup lagi diharapkan. Sedang ke enam ksatria—Binase,
Joru, Obula, Guhor, Normuli, serta Suget—yang selama ini didapuk menjadi
kekuatan utama bagi pasukan perang Sutame, telah meregang nyawa di tangan
Paramican.
Yogyakarta, 2011
Catatan:
Cerpen ini terilhami dari “Laila Majnun”, karya Syeikh Nizami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar