Oleh sebagian masyarakat Bali, kematian Engeline dianggap tidak lumrah atau seperti menentang alam. Atas dasar itulah, Desa Adat Gumi Kebon Kuri Kesiman menggelar upacara pecaruan di rumah Margareith, ibu angkat Engeline. Tujuannya, meredakan segala kedukaan masyarakat dan membersihkannya dari kotoran yang mengacaukan alam.
Upacara caru panca sata dipimpin Mangku Wayan Jawas, seorang pemangku Pura Pemayun Kahyangan. Dipersembahkan lima ayam aneka warna (brumbun, hitam, merah, putih, dan buik).
Dalam pandangan Thomas A. Reuter (2005), persembahan darah melalui pengorbanan binatang (caru) di Bali penting untuk menghindarkan tapal batas dunia manusia dari penyerobotan makhluk halus. Caru diyakini mencegah para penghuni tanah terdahulu (bukan manusia) membalas dendam terhadap orang-orang yang kurang tahu berterima kasih.
Bagi umat Hindu di Bali, pecaruan untuk menjaga keharmonisan antara manusia dan alam. Ritual ini untuk merawat lima unsur alam, yakni tanah, air, udara, api, dan eter. Ini penyucian dari Bhuta Kala dan segala macam kotoran, serta pengharapan agar keburukan tidak terulang.
Skeptis Kepada Negara
Masyarakat Bali khawatir, pembunuhan Engeline menyebabkan alam murka sehingga manusia akan dibinasakan. Jika manusia merusak alam, suatu saat manusia pasti mendapat balasan, menerima penderitaan.
Upacara pecaruan ini berpesan agar manusia memegang nilai-nilai luhur dan spiritual dengan melestarikan alam dan lingkungan. Manusia harus menjunjung tinggi perdamaian dan kasih sayang. Jangan merusak karunia Tuhan.
Pecaruan juga menunjukkan, masyarakat sudah tidak lagi percaya pada hal-hal formal-prosedural dalam menjamin ketertiban. Pecaruan dipilih mereka yang skeptis terhadap institusi-institusi politik, hukum, dan sosial bentukan negara yang sering mengecewakan. Ini juga yang menyebabkan pecalang, sebagai pengemban tugas kepolisian sekaligus keamanan adat di Bali, masih bertahan.
Pecaruan sebagai respons atas tragedi Engeline merupakan contoh usaha desa adat untuk menciptakan perdamaian, kearifan warisan nenek moyang. Desa adat mengajak manusia untuk selalu menggunakan nurani dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Manusia sebagai representasi Tuhan di muka bumi harus bisa menjalin “persahabatan” dengan alam dan lingkungan.
Mengembangkan Desa
Sudah sewajarnya desa adat di Bali, yang populer sebagai desa pakraman, dikembangkan. Desa adat, juga di daerah-daerah lain, menjadi benteng pertahanan terhadap pengebirian spirit lokal.
Eksistensi desa adat merupakan antitesis atas beragam ekses modernisasi dan globalisasi. Ketika Bali diserbu budaya asing, desa adat berperan untuk menyaring.
Desa adat yang disangga nilai agama dan kebudayaan harus menjadi institusi lokal di tengah kehadiran rezim negara. Identitas desa adat berupa wilayah, masyarakat, serta lokasi suci untuk memuja Sang Hyang Widhi, harus sanggup mengimbangi regulasi pemerintah yang menjadikan adat sebagai instrumen pembangunan.
Struktur kepengurusan desa adat di Bali, terdiri atas banjar (pengelola aspek publik dan kehidupan komunal), subak (pengelola irigasi), dan pemaksan (pengelola aktivitas ritual masyarakat), hingga kini dipercaya untuk mengurus kehidupan sosial masyarakat, terutama dalam memelihara keharmonisan (Budi Susanto, 2007: 260). Harmoni antara manusia dan manusia, manusia dengan alam dan Tuhan, juga manusia dengan pemimpinnya.
Apa lagi yang lebih bijak dari itu?
Mantap.. Pak hhh
BalasHapus