Negeri ini sedang dilanda
problematika kepalsuan, baik di ranah privat maupun publik. Berbekal kenekatan
dan teknologi, begitu mudahnya originalitas dan legalitas dipalsukan. Realitas
ini antara lain karena manusia gemar menggapai tujuan dengan cara instan. Tanpa
proses panjang, sesuatu bisa didapat, asal ada uang. Lahirlah para penjunjung
tinggi ‘demokrasi wani piro’ dengan indikasi
utama yaitu pragmatisme yang diagung-agungkan.
Fenomena ini dibaca
dengan cermat oleh kaum materialis. Mereka berusaha menghubungkan kebutuhan dasar
manusia dengan pasar. Atas dasar inilah, seks, sebagai kebutuhan biologis
manusia, dipilih sebagai lahan bisnis. Berkembanglah bisnis prositusi, mulai
kafe remang-remang, panti pijat plus, hingga prostitusi artis.
Seks sebagai lahan
bisnis selalu membuka peluang bagi siapa saja yang ingin mengembangkannya. Maka,
oleh produsen, dibuatlah buku nikah palsu, yang memberikan fasilitas terhadap
perselingkuhan terselubung. Meskipun tidak menyediakan layanan syahwat secara
langsung, buku nikah palsu memudahkan penggunanya berbuat mesum dengan lebih
‘bermartabat’.
Munculnya buku nikah
palsu mengindikasikan adanya simbiosis
mutualisme antara orang-orang yang ingin mengeruk keuntungan dengan pasangan
pria-wanita yang terhalang persyaratan administratif dan kesulitan melaksanakan
nikah syar’i. Dengan buku nikah palsu, kumpul
kebo dilegalkan. Sesetel kekasih yang ingin ‘menginap’ di hotel, tidak
perlu khawatir lagi digerebek Satpol PP, sebab memiliki buku nikah palsu. Keinginan
hidung belang menikahi gadis belia, tanpa melibatkan mertua, tentu terwujud,
sebab mengantongi restu buku. Di sinilah buku menjadi pembenaran atas tindakan asusila.
Buku menjadi aksioma atas penyelewengan manusia. Kemaksiatan mendapat jalan lempang
atas sokongan buku.
Oleh mereka yang tidak
bertanggung jawab, buku dijadikan tameng dalam melancarkan gelagat buruk. Sudah
banyak kasus kriminalitas yang menjadikan buku sebagai sarana. Mulai bom buku,
penyelundupan narkoba dengan buku, hingga penyusupan paham radikalisme melalui
buku.
Isi buku juga sering
kali dipolitisir, digunakan untuk beragam kepentingan. Manusia mudah memelintir
teks-teks dalam buku demi menuruti hawa nafsu. Akibatnya, kebenaran menjadi sangat
relatif, karena manusia bisa memanfaatkan teks sesuai situasi dan kondisi. Buku
memanggul beban psikologis, karena terpaksa mengamini kehendak manusia. Buku
yang awalnya bersifat sakral berubah menjadi banal.
Sialnya, buku tidak
bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Kekuasaan penuh memasukkan
teks—termasuk ijab-qabul
pernikahan—dalam buku berada di tangan manusia. Sejalan dengan konsep free will, manusia bisa memilih untuk
menjadikan buku sebagai medium berburu pahala atau alat pencetak dosa. Buku
hanya menerima hasil akhir ikhtiar dan ijtihad manusia.
Apa yang lantas
terjadi? Buku tidak lagi identik dengan peranti penyampai kebenaran, penyalur
ilmu pengetahuan, serta penabur biji kebaikan. Di hadapan penguasa, buku
cenderung mengantongi stereotip negatif. Dalam catatan sejarah, gelombang
budaya anti demokrasi yang ditandai pada 1 Oktober 1965 menghalalkan pembakaran
terhadap jutaan buku, terbitan, dan pemikiran-pemikiran manusia Indonesia
(Arimardana, 2015). Karya-karya yang mengusung ideologi komunis sengaja dimusnahkan,
sebab dinilai mengingkari amanat konstitusi. Bagi Orde Baru, membakar buku
adalah hal yang lazim. Padahal, mengutip Heinrich Heine, penyair Jerman: “where books are burned, human beings are
destined to be burned too”.
Anehnya, kediktatoran
penguasa terhadap buku terus berulang. Sebab dianggap melanggar ketertiban
umum, Kejaksaan Agung pernah melarang beredarnya beberapa buku, antara lain: Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan
Kudeta Soeharto (Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra), Lekra Tak Membakar Buku (Merakesumba
Lukamu Sakitku), dan Enam Jalan Menuju
Tuhan (Hikayat Dunia).
Jika kekejian terhadap
buku dibiarkan, maka kita bisa memprediksi, 100 tahun kemudian, peribahasa-peribahasa
buruk mengenai buku bermunculan. Seperti “seburuk-buruk
teman adalah buku”, “sebuah buku
ibarat duri yang dibawa dalam kantong”, dan “aku tak akan pernah lebih beruntung darimu, sebab aku punya ibu yang selalu
membacakan buku untukku”.
Terlepas dari ketentuan
bahwa pemalsu buku nikah bisa dipidana, yang pasti memanfaatkan buku untuk
perbuatan menyimpang jelas tidak dibenarkan. Pasalnya, lambat laun, hal ini menjadikan
kepercayaan manusia terhadap buku luntur; Lembaga-lembaga penerbitan dianggap
abal-abal; Manusia-manusia yang berkhidmat pada buku dituduh sebagai makelar,
perantara bagi mereka yang mampu menukar kenikmatan dengan sejumlah uang.
Adanya buku nikah palsu
menambah daftar rentetan kepalsuan di negeri ini. Mulai dari uang, ijazah,
beras, daging, merica, dokter kecantikan, paket umroh, kosmetik, obat, hingga
batu akik. Hal ini mengingatkan kita pada puisi Agus R. Sarjono bertajuk “Sajak Palsu” (1998) berikut:
Selamat
pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah dengan sapaan palsu/ Lalu
merekapun belajar sejarah palsu dari buku-buku palsu/ Di akhir sekolah mereka
terperangah melihat hamparan nilai mereka yang palsu/ Karena tak cukup nilai,
maka berdatanganlah mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru untuk menyerahkan
amplop berisi perhatian dan rasa hormat palsu/ Sambil tersipu palsu dan membuat
tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru dan bu guru terima juga amplop itu
sambil berjanji palsu untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan nilai-nilai palsu
yang baru//
Masa
sekolah demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir sebagai ekonom-ekonom palsu,
ahli hukum palsu, ahli pertanian palsu, insinyur palsu/ Sebagian menjadi guru,
ilmuwan atau seniman palsu/ Dengan gairah tinggi mereka menghambur ke tengah
pembangunan palsu dengan ekonomi palsu sebagai panglima palsu/ Mereka saksikan ramainya
perniagaan palsu dengan ekspor dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan berbagai
barang kelontong kualitas palsu/ Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan
bonus dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga pinjaman dengan ijin
dan surat palsu kepada bank negeri yang dijaga pejabat-pejabat palsu//
Masyarakat
pun berniaga dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu/ Maka uang-uang asing
menggertak dengan kurs palsu sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis yang
meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam nasib buruk palsu. Lalu orang-orang
palsu meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan gagasan-gagasan palsu di
tengah seminar dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya demokrasi palsu yang
berkibar-kibar begitu nyaring dan palsu//
Dengan demikian, Anda dituntut
waspada. Jangan-jangan, artikel yang sedang Anda baca ini juga terindikasi
palsu!
Bojonegoro, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar