Minggu, 12 Juli 2015

Perkembangan Rasionalitas Mudik (Opini_Riza Multazam Luthfy, terbit di harian "Sinar Harapan" edisi Rabu, 8 Juli 2015)

Dalam beberapa hari ke depan, para perantau di kota beramai-ramai mudik ke kampung halaman. Mereka rela menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan, asalkan keinginan berkumpul dengan keluarga dan handai tolan bisa terwujud. Lalu lintas yang macet dan jalan raya berlubang mereka lalui demi merengkuh kedamaian, ketenteraman, dan keguyuban saat merayakan hari kemenangan.
Saat ini, mudik lebih identik dengan pulang kampung. Padahal, dulu kala, mudik bermakna pergi ke udik atau berlayar ke hulu sungai. Hal ini menandakan bahwa dengan berjalannya waktu, unsur sosial, politik, dan budaya turut memberikan dampak terhadap ‘nasib’ kata tersebut.
Sejumlah kamus, baik Kamus Indonesia Ketjil (E St Harahap, 1943), Maleis Woordenboek (Van Ronkel, 1946), maupun Logat Ketjil Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 1948), memaknai mudik sebagai “berlayar atau pergi ke udik (ke hulu sungai)”. Sementara itu, Ensiklopedi Indonesia (Mulia dan Hidding, 1957) tidak memuat entri mudik. Ini berlatar belakang karena pada waktu diterbitkannya ensiklopedi tersebut, mudik tak dianggap penting sebab belum merepresentasikan fenomena sosial.
Dengan demikian, sebelum tahun 1970-an, kata mudik belum dimaknai sebagai pulang kampung halaman. Ketika itu, mudik tidak pernah dikaitkan dengan Lebaran, sebab dua peristiwa tersebut sama sekali tidak berhubungan. Orang-orang mulai menghubungkan keduanya setelah istilah mudik mengalami perkembangan.
Adalah Poerwadarminta (1976) yang menyelipkan mudik dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dengan arti “pulang ke desa atau ke dusun”. Leksikograf yang kerap memakai nama samaran Ajirabas, Semplak atau Sabarija tersebut menerapkan mudik dalam contoh kalimat: “Tiga hari sebelum Lebaran, sudah banyak orang yang mudik.”
Ini berarti, baru pada tahun 1976 istilah mudik, yang berasal dari bahasa Betawi tersebut, lekat dengan kebiasaan pulang kampung menjelang Lebaran. Tak heran jika kamus-kamus lain yang terbit sesudah tahun 1976 memuat entri mudik dalam dua makna, yaitu (berlayar pergi, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman) dan pulang kampung halaman (Andi Andrianto, 2013).
Pada mulanya, tradisi mudik di negeri ini didasari adanya gelombang urbanisasi. Proses perpindahan penduduk dari desa ke kota secara besar-besaran tidak lantas membuat masyarakat urban lupa dengan tanah kelahiran. Para perantau meningkatkan taraf perekonomian mereka sambil beradaptasi dengan lingkungan baru.
Akhirnya, mereka terpaksa memakai topeng demi menyembunyikan identitas dan menyamarkan jati diri. Mereka menunjukkan cara berpikir materialistis-hedonistis dengan menjunjung tinggi pola hidup kompromistis-permisif, yang lebih mewakili budaya kontinental/daratan ketimbang budaya maritim/kelautan. Namun demikian, di balik mode pengkhianatan terhadap diri sendiri, alam bawah sadar mereka sebenarnya masih terpaut dengan nilai, prinsip, dan sejarah kampung.
Oleh dasar itulah, selain peneguhan identitas kultural dan politik, mudik dipilih sebagai ikhtiar membangkitkan kembali nilai-nilai yang melekat di alam bawah sadar tersebut.
Tradisi mudik yang turun temurun dapat dilihat dari aspek perkembangan rasionalitas masyarakat. Era 1970-an hingga 1990-an menjadi penanda bahwa mudik mempunyai motif tradisional.
Pada waktu itu, tingkat rasionalisasi di negeri ini relatif belum berkembang secara pesat. Para perantau mengokohkan kembali semangat pola kehidupan tradisional yang terkikis oleh arus modernisasi di kota-kota besar. Dengan mudik, mereka ingin menegaskan diri sebagai anggota komunal daerah asal, sebuah lanskap di mana hubungan sosial tak dihargai dengan pamrih.

Lebih Rasional 
Dewasa ini, motif mudik telah bergeser ke arah yang lebih rasional. Pada umumnya mudik didorong alasan praktis-pragmatis. Bagi masyarakat urban, mudik lebih dari sekadar tradisi. Mudik dianggap nostalgia, obsesi, bahkan ilusi.
Faktor mudik kerap didasari kehendak memungut kembali kenangan di desa atau dusun yang selalu menumbuhkan romantisme. Karena itu, bagi perantau, mudik ibarat cermin yang memantulkan bayangan masa silam. Ragam peristiwa dan suasana yang dilalui senantiasa mengalirkan sensasi dan déjà vu yang menggelora. Sebagai salah satu bentuk katarsis, mudik dipercaya dapat menghapus berbagai emosi negatif.
Dengan kembali ke tanah kelahiran, pemudik dapat melepaskan segala macam beban, penat dan tekanan yang menghantui hidup. Fakta bahwa mereka yang bekerja di kota besar selalu menghadapi beragam permasalahan perlu disegarkan dengan wisata kekeluargaan.
Mudik juga menjadi media aktualisasi diri. Bagi pemudik, perjuangan di tanah rantau yang digenapi cerita manis dalam karier dan pekerjaan perlu diekspresikan kepada saudara di desa atau dusun. Di samping memuaskan pemudik, ekspresi semacam ini juga menjadi kebanggaan tersendiri bagi keluarga.
Perkembangan rasionalitas masyarakat menjadikan mudik sebagai fenomena campuran. Dalam pandangan Mohamad Sobary (2013), di samping fenomena kebudayaan di kalangan kaum migran yang setia merawat tradisi, mudik juga merupakan fenomena keagamaan dengan atribut rohaniah yang mereka butuhkan.
Tampaknya, makna mudik sebagai pulang kampung tak akan tergantikan. Nilai-nilai religiusitas telah memantapkan fondasi tradisi mudik yang dikaitkan dengan Lebaran.
Sesuai pandangan J.J. Rousseau, sebuah tradisi yang ditopang oleh ajaran agama dapat senantiasa mengakar kuat dalam sanubari masyarakat.

Bojonegoro, 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar