Ramadan senantiasa membawa berkah bagi siapa saja, termasuk pengemis. Di bulan ini, penghasilan pengemis berlipatganda dibanding hari-hari biasa. Selain karena pada bulan penuh rahmat ini orang-orang Islam berlomba-lomba menyantuni kaum duafa, para pengemis juga mampu membaca peluang bahwa Ramadan merupakan momen mendulang keberuntungan.
Seorang muslim membutuhkan si papa untuk menampung sedekahnya, adapun pengemis membutuhkan penderma sebagai penyuplai bantuan. Di sini terjadi interaksi timbal-balik antara kaum pemburu surga dengan komunitas pengharap santunan.
Hal di atas menjadi latar belakang mengapa pada bulan Ramadan jumlah pengemis selalu membludak. Didrop dan dikordinir dari luar kota, mereka membanjiri kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Bekasi, dan Medan. Fenomena ini menjadi agenda dan rutinitas tahunan yang sulit dihindarkan.
Mangkalnya pengemis di traffic light, alun-alun, masjid, loka wisata, dan pemakaman umum, bukan hanya merepresentasikan masalah keamanan, ketertiban dan keindahan kota. Lebih dari itu, munculnya pengemis di suatu daerah adalah persoalan sistemik yang ditopang oleh berbagai faktor. Masing-masing lokasi memiliki konteks, karakteristik, dan historisitas yang berbeda.
Para pengemis memiliki strategi menarik rasa iba calon dermawan dengan berwajah kusut, berpenampilan compang-camping, serta memperlihatkan cacat fisik. Bahkan, strategi yang dinilai sangat “ampuh” yaitu membawa anak. Para pengemis disertai anak kecil lebih berpotensi mendapat uang daripada mereka yang bekerja sendirian. Meskipun sebenarnya secara finansial, praktik ini lebih berpihak pada ‘juragan’ yang mengelola bisnis pengemis. Apalagi, akhir-akhir ini muncul indikasi kuat bahwa di sejumlah kota terdapat sindikat penyewaan bayi pengemis.
Sejumlah pakar berpendapat bahwa dengan meminta-minta para pengemis telah melakukan kritik sosial dan melancarkan protes atas ketidakadilan, marjinalisasi, serta korupsi. Pengemis sebagai kelompok kelas bawah dalam struktur masyarakat berupaya mengeskpresikan keberadaan mereka dengan menekuni dunia informal sebagai bentuk resistensi terhadap pembangunan yang cenderung berpihak pada sektor formal yang dikuasai oleh pemilik modal dan kaum terdidik dengan skill memadai (Maghfur Ahmad, 2010).
Namun dalam konsep dramaturgi, penampilan-penampilan yang sengaja diperlihatkan para pengemis mengindikasikan adanya kamuflase di depan publik. Dipopulerkan Erving Goffman, istilah dramaturgi kental dengan pengaruh drama, teater atau pertujukan fiksi di atas panggung di mana seorang aktor memainkan beragam karakter manusia sehingga penonton memperoleh gambaran kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita yang disajikan.
Penampilan dan gaya yang merupakan unsur utama front stage (panggung depan), telah dimanfaatkan para pengemis untuk menunjukkan bahwa mereka pantas dikasihani. Dengan mimik sedemikian rupa, mereka berharap dapat mencubit nurani para calon dermawan.
Beragam cara digunakan, agar seseorang mau mengulurkan sejumlah uang. Dalam kenyataannya, usaha ini rentan memancing stereotip negatif, sebab cenderung merendahkan diri sendiri.
Ini seperti yang dialami kakek Suwadi asal Mojokerto yang “beroperasi” di Sidoarjo. Berpenampilan mirip orang terkena stroke, pengemis 'Winnie The Pooh' yang mengaku beristri tujuh orang tersebut dalam satu hari rata-rata mengumpulkan uang Rp 300.000 sampai Rp 500.000. Tentu hal ini mengundang reaksi dan cercaan dari berbagai elemen masyarakat.
Back stage merupakan panggung belakang dari pertunjukan. Di sini, pengemis sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) melepas topengnya saat kembali ke kehidupan semula. Pada saat inilah, pengemis menjalani kehidupannya secara normal dan jauh dari kepura-puraan. Perilaku dan tabiatnya disesuaikan dengan identitasnya yang asli. Dalam lingkungan seprofesi, pengemis tidak mungkin lagi memelas, bermuka lusuh, dan mengiba-iba.
Mentalitas Pengemis
Dalam analisis penulis, ada dua penyebab munculnya dramaturgi pengemis. Pertama, tingginya inkonsistensi dan hipokrisi orang-orang Indonesia. Kebohongan dan kepura-puraan telah mengakar kuat dalam diri masyarakat antara lain karena minimnya keteladanan para pejabat publik dalam mengemban amanat. Pemberitaan media yang tidak pernah terlepas dari tindak keculasan pejabat telah mendorong masyarakat untuk serta-merta melakukan kecurangan serupa, meski dalam ‘bungkus’ berbeda.
Kondisi di atas memunculkan figur manusia hipokrit yang gemar berdusta. Menggunakan kedok, ia memperdaya manusia lain agar dapat diterima dan dihargai. Dalam konteks ini, sosok pengemis yang memanfaatkan kebaikan orang-orang Islam pada bulan Ramadan bisa digolongkan sebagai penganut utilitarianisme yang berusaha memaksimalkan kebahagiaan seraya mengurangi penderitaan.
Kedua, mentalitas pengemis yang tumbuh dengan subur dari suatu generasi ke generasi selanjutnya. Para pengemis enggan beranjak dari profesi mereka, di samping pendapatan yang lebih menjanjikan, juga karena hingga hari ini pengkaderan pengemis memang berjalan mulus.
Dalam jagat pengemis, seolah muncul konsensus tak tertulis bahwa seseorang disebut pengemis profesional jika berhasil melakukan transformasi nilai secara intens dengan melibatkan setiap anggota keluarga dalam mencari dan mengelola uang dengan cara mengemis.
Inilah mengapa, sejumlah kasus di lapangan memperlihatkan bahwa para pengemis mengkader anak atau saudara mereka untuk menempati wilayah operasi yang telah mereka kuasai.
Regenerasi pengemis semakin sukses, sebab selama ini para pejabat melakukan indoktrinasi kepada masyarakat bahwa mengemis bukanlah perbuatan hina. Ulah pejabat yang menukar kebijakan dengan uang merupakan tindakan mengemis (dengan cara halus) kepada pemodal. Akhirnya, timbul pandangan mengemis lebih mulia daripada mencuri.
Munculnya pengemis dengan memanfaatkan atribut keagamaan seperti baju koko, proposal, dan kotak amal membuktikan bahwa para pejabat berhasil mewariskan corak mengemis dengan lebih terhormat. Proses transformasi sosial pada komunitas pengemis bukan hanya karena dimensi politik, sosial, dan ekonomi, melainkan juga aspek spiritualitas, keberagamaan dan bangunan world view masyarakat (Irwan Abdullah, 2008). Aspek-aspek terakhir inilah yang seharusnya disentuh pemerintah.