Suti membaringkan anak kecil itu di depan pintu. Hari itu ia bolos kerja. Ajakan Sumiarti untuk berangkat bersama menuju pabrik rokok di samping kantor kecamatan terpaksa ditolak. Lagi-lagi ia harus merelakan upahnya dipotong berpuluh ribu. Wahyu, anak keduanya yang berusia 4 tahun, meraung kesakitan. Perutnya seperti ditusuk ribuan paku, beling, dan jarum. Lidahnya menjulur-julur mirip anjing memergoki maling.
Suti hanya memandangi anaknya dengan sabar. Meskipun semalam ia telah membawa Wahyu ke rumah Mbah Tugiyo, keadaan anak kurus itu tak kunjung membaik. Sebenarnya Surti sendiri agak ragu mengadukan penyakit anaknya kepada dukun yang selama ini dipercaya masyarakat mampu mengusir roh-roh halus tersebut. Namun, apalah daya. Tak ada jalan lain. Ia, seperti halnya warga Desa Pohbogo lainnya, lebih memilih kiai, dukun, atau pemilik kekuatan kasat mata, dibanding dokter.
Memegangi leher dan punggung Wahyu, Suti hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Ia menunggu Kamis Kliwon lekas tiba. Di hari itulah, ia akan mengadukan keluh-kesahnya kepada Mbah Nggo, danyang desa yang genap ratusan tahun meninggal.
***
Seorang pemuda kelahiran desa terpencil menggerakkan budaya literasi di kota Yogyakarta. Sebagai mahasiswa, ia terpanggil untuk mengajak teman-temannya membentuk kelas diskusi filsafat, sosial, dan budaya. Berbekal buku dan berbagai referensi, baik pinjaman dari perpustakaan kampus maupun koleksi pribadi, mereka getol melakukan tukar wacana, membaca, dan menulis. Dari kelas itulah lahir gagasan pemikiran yang dilempar ke media massa atau ide demonstrasi besar-besaran di depan rektorat atau gedung DPRD.
Pemuda berkepala plontos itu selalu kritis terhadap segala kebijakan kampus yang dinilai kurang relevan dan merugikan mahasiswa. Sebagai contoh terakhir, ia mempertanyakan ke mana perginya uang yang dibayarkan mahasiswa semester tiga. Padahal, di slip pembayaran, jelas-jelas tertera biaya praktikum. Anehnya, para mahasiswa tidak pernah sekalipun menerima fasilitas praktikum.
“Mau dibawa ke mana kampus ini?” Suatu hari, saat menyetir demonstrasi, ia bernada lantang, berdiri di depan para birokrat kampus yang tampil arogan dengan telinga tertutup.
Dalam memimpin massa dan pergerakan, ia tidak asal-asalan. Ia tidak ingin dianggap sebagai mahasiswa ngawur yang mencetuskan wacana penggembosan birokrasi. Ia menggunakan buku sebagai pijakan. Maka, tak ayal, uang beasiswanya sebagai aktivis dari bank ternama selalu dihabiskan di toko buku.
“Demonstrasi harus punya misi dan arah yang jelas. Kalau tidak, kau hanyalah kerbau yang berteriak di padang gersang.” Wejangannya pada salah satu junior, sesaat sebelum demonstrasi digelar.
Adapun tulisannya yang bernas dan tajam selalu digunakan untuk menghantam perilaku anggota legislatif daerah yang makin hari makin memprihatinkan. Mereka seakan berlomba menghabiskan uang rakyat dengan cara elegan dan terhormat. Sudah tidak terhitung betapa kerapnya mereka melakukan kunjungan ke luar negeri dengan dalih studi banding. Padahal, sebenarnya para cecunguk itu hanya ingin berfantasi ria dan menikmati sejumlah loka wisata bertarif ribuan dolar. Tak heran jika sehari setelah artikel pemuda itu dimuat di koran, ia harus menerima teror, baik berupa pesan pendek, telepon, maupun gertakan preman pasar bertato besar di lengan.
***
“Apa yang dapat mereka petik dari mitos dan tahayul?”
“Orang-orang desa hanya takut terjadi sesuatu, jika mereka tidak percaya kepada nenek moyang.”
“Mereka itu bodoh!”
“Kitalah yang bertugas memberikan pencerahan.”
Diskusi antara pemuda itu dengan ketua himpunan mahasiswa daerah begitu hangat. Nada bicaranya yang agak meninggi sebenarnya lebih karena kecemasan yang disimpan dalam lubuk hatinya. Ia tidak habis berpikir, mengapa warga desa susah diajak berkembang. Pikiran mereka begitu kolot dan sukar menerima modernitas. Mereka selalu saja menghubungkan apa yang terjadi dengan kekuatan para leluhur yang tentu saja tidak dapat dikunyah logika.
Kini, tekadnya membulat. Ia merasa terpanggil untuk mengubah cara pandang orang-orang desa terhadap kehidupan. Mereka harus diajak membangun sendi-sendi peradaban, tidak melulu terjebak pada kebiasan-kebiasaan jahiliyah yang rentan menumpulkan akal, semisal manganan di bawah pohon rindang, adu ayam di lapangan, dan menaruh sesajen di kuburan pendiri desa.
Jika selama ini, kritiknya hanya ditujukan untuk meluruskan kebijakan kampus dan menyentil ulah anggota legislatif daerah, ia bermaksud memperluas jangkauan. Ia tidak berhasrat menunjukkan diri sebagai tokoh perubahan, akan tetapi lebih pada upaya mengabdikan diri bagi tanah kelahiran.
***
Ingatan Wahyu terbang ke masa kecilnya. Bersusah payah, ibunya berusaha menjauhkannya dari kematian. Ia masih ingat betul, saat ajal hampir mencapai ubun-ubun, sang ibu membopongnya ke kuburan Mbah Nggo. Di tempat keramat itulah, ibunya menyebut-nyebut Mbah Nggo, memohon kepadanya, dengan mencabik-cabik pakaiannya. Ia tak bisa memungkiri bahwa beberapa menit setelah itu ia bisa bernapas lega dengan kondisi tubuh yang berangsur membaik.
Ia terserang gamang, antara menghantamkan linggis ke arah kuburan Mbah Nggo atau melepaskan benda keras yang dari tadi dipegangnya itu ke tanah.