Menurut
rencana, penyaluran Dana Desa tahap III sebesar Rp 4,2 triliun akan dicairkan
akhir bulan Nopember 2015. Lebih dari 80 persen dari total pagu berdasarkan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sebesar Rp 20,8
triliun telah disalurkan ke kas kabupaten/kota untuk diteruskan ke rekening
desa-desa. Sayangnya, penyerapan Dana Desa masih sangat rendah.
Banyak Bupati atau Walikota yang belum menyalurkannya ke desa.
Katalisator Perekonomian
Penyaluran
Dana Desa sejalan dengan target pemerintah mempercepat pembangunan desa dalam
upaya meningkatkan laju perkembangan ekonomi nasional. Dana
Desa bisa difungsikan sebagai penguat sektor badan usaha milik desa (BUMDes)
yang merupakan salah satu opsi sektoral dalam tubuh kelembagaan desa. Selain menjadi
katalisator pertumbuhan produktivitas kolektif masyarakat desa, BUMDes juga
dapat menggerakkan perekonomian masyarakat desa. Lahirnya UU No 6/2014 tentang
Desa yang ditunjang dengan PP No 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No
6/2014 mengandung harapan agar kontribusi BUMDes bagi perekonomian lokal lebih
optimal. (Chusainuddin, 2015)
Atas dasar inilah, pemerintah
pusat seharusnya memberi sanksi tegas kepada kabupaten/kota
yang terlambat menyalurkan dana tersebut ke desa. Jangan sampai, nasib desa
terkatung-katung hanya lantaran kesalahan pemerintah di atasnya.
Dengan dana tersebut, pemerintah
desa dapat mendirikan serta merevitalisasi BUMDes. Apalagi, mayoritas jumlah penduduk miskin yang tersebar di negeri ini berada di
kawasan perdesaan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Maret 2015,
jumlah penduduk miskin mencapai 28,59 juta orang (11,22 persen). Data ini
menunjukkan, kaum miskin di negeri ini mengalami peningkatan sebesar 860.000
orang ketimbang September 2014 sebanyak 27,73 juta orang (10,96 persen).
Kabar
tentang ekonomi kawasan perdesaan tidak begitu menggembirakan. Peningkatan
ekonomi hanya berlangsung di tataran individual dan personal. Selama ini, belum
ada upaya serius memberdayakan perekonomian warga desa secara komunal. Bila pun
pemerintah daerah telah mencanangkan program kesejahteraan warga desa, itu
hanya formalitas dan seremonial yang nihil aksi. Inilah yang menjadi faktor
mengapa ketimpangan ekonomi dan sosial belum dapat teratasi dengan baik.
Akibatnya, kemiskinan menjadi problematika usang dan klise yang berulang-ulang.
Orang-orang
desa masa kini lebih bangga menjadi buruh di kota daripada bertani di desa. Mereka
memilih bekerja di perusahaan atau serabutan dibanding mencangkul di ladang. Di
samping menyebabkan jumlah petani merosot drastis, realitas ini rentan
menyebabkan regenerasi petani terancam.
Jika BUMDes berhasil
diberdayakan, niscaya keinginan orang-orang desa berburu rupiah di kota dapat
diminimalisir. Eksistensi BUMDes dapat membuka lahan pekerjaan dan mengurangi
angka pengangguran. Dengan demikian, laju kemiskinan bisa ditekan. Yang tidak
kalah penting, hasil pertanian masyarakat desa bisa diakomodir oleh BUMDes.
Adapun keuntungan yang didapat BUMDES dimanfaatkan sebagai modal pembangunan
pertanian desa.
Perlu Campur Tangan
Untuk merealisasikan
hal di atas, perlu adanya “campur tangan” dari pemerintah pusat. Meskipun Dana Desa
diperuntukkan membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan,
pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat desa, legalitas mengatur
bahwa pencairannya ditransfer melalui anggaran belanja daerah kabupaten/kota.
Aturan inilah yang membuat dana yang bersumber dari APBN tersebut rentan
diselewengkan. Pejabat pemerintahan daerah kabupaten/kota berpotensi besar
terjerumus dalam praktik penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Dengan alokasi Dana
Desa yang begitu besar, dikhawatirkan jumlah calon kepala daerah yang
menyelewengkannya juga besar. Dana Desa bisa dimanfaatkan layaknya dana bakti
sosial (baksos) dan dana bantuan sosial (bansos). Petahana atau incumbent
memiliki kuasa dalam menyulap Dana Desa menjadi alat politik.
Petahana bisa saja
menahan Dana Desa dan membagikannya di saat yang tepat. Dengan dalih tak semua
desa memiliki kreativitas dan inovasi dalam mengelola anggaran tersebut,
petahana berpura-pura menunggu kesiapan SDM desa. Dana Desa akan dicairkan
menjelang pilkada. Dengan demikian, saat kampanye, ia bisa mengatakan bahwa
Dana Desa merupakan kemurahan hati, sehingga mampu menyedot perhatian dan
dukungan masyarakat. Apalagi, APBN 2015 merupakan tahun pertama dialokasikannya
Dana Desa. Fenomena ini seolah merefleksikan doktrin Lord Acton (1834-1902)
yang menyebut power tends to corrupt, and
absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup, dan
kekuasaan absolut cenderung menjadikan seseorang korup pula).
Digelontorkannya Dana
Desa adalah dalam rangka mengefektifkan program yang berbasis desa secara
merata dan berkeadilan, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Dalam Dana Desa terdapat dimensi kepentingan publik berupa transparansi,
akuntabilitas, serta orientasi pada kepentingan masyarakat. Itulah sebabnya, Dana
Desa harus dialokasikan secara jujur, terbuka dan berprinsip pada kepentingan
umum. Pengelolalaan Dana Desa pada hakikatnya bersinergi dengan hak setiap
warga negara. Dengan demikian, jangan sampai dana ini dimanfaatkan oleh para
elite demi menuruti syahwat politik.
Seyogyanya pemerintah
melakukan pendampingan bagi para petahana yang mencalonkan diri sebagai kepala
daerah dalam mengelola Dana Desa. Tenaga pendamping yang dimaksud berasal dari
BPK, BPKP, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), perguruan tinggi, atau organisasi
kemasyarakatan yang memiliki kompetensi di bidangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar