Kementerian
Pertahanan menginisiasi program bela negara. Demi mewujudkannya, kementerian
ini berencana merekrut 100 juta kader dari seluruh wilayah di Indonesia. Keberadaan
kader bela negara dinilai sangat penting dan mendesak, di samping untuk
memperkuat wawasan kebangsaan warga negara, juga berupaya menjadikan suatu
negara lebih kuat dan disegani.
Sebagaimana
diketahui, pembentukan kader bela negara dilaksanakan melalui program ketahanan
negara di setiap kabupaten/kota. Pada tahun ini, 47 kabupaten/kota yang berada
di 11 Kodam akan menjadi saksi bahwa pemerintah serius dalam mencetak
kader-kader militan yang siap melindungi negara dari segala bahaya yang
mengancam.
Program
ini menampilkan sesuatu yang paradoks. Di satu sisi, program bela negara memang
sangat dibutuhkan. Belakangan ini, kasus-kasus kekerasan yang terjadi di
berbagai daerah menunjukkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya paham mengenai konsep,
prinsip, dan nilai-nilai nasionalisme. Akibat pemahaman yang masih dangkal
inilah, masyarakat kerap terpancing oleh aksi provokator yang bermaksud memecah-belah
persatuan.
Belum
lagi isu-isu sensitif berbau SARA yang sengaja diterbangkan oleh mereka yang
kurang bertanggung jawab. Jika tidak disikapi secara kritis, barang tentu hal
ini dapat menyebabkan munculnya dendam sosial dan kultural antar warga negara. Padahal,
sebenarnya di balik ulah provokatif tersebut, sejumlah oknum hanya ingin memetik
beragam keuntungan, baik politis, sosial, maupun finansial.
Adapun
di sisi lain, program ini seolah dicetuskan dengan maksud untuk membungkam
suara-suara kritis. Pemerintah ingin menangkis “tombak kritik” yang dilesatkan masyarakat.
Tujuan diadakannya program bela negara dengan pelatihan ala militerisme lebih
pada upaya mendoktrin warga negara agar siap bertempur di medan laga.
Dalam
pandangan Mufti Makarim (2015), pelatihan yang dimaksud rentan mengubah cara
pandang dan pola berpikir warga negara. Orang yang melontarkan kritik terhadap
kebijakan pemerintah justru dianggap melawan negara. Padahal, program ini
memiliki konsep yang luas, tak hanya berkaitan dengan militerisme. Kritik terhadap
maraknya korupsi dan penyalahgunaan wewenang juga disebut bela negara. Pengamat
militer dari Institute for Defense and Peace Studies (IDPS) tersebut berpendapat,
bela negara seharusnya lebih ditekankan untuk memompa kedisiplinan, membangkitkan
etos, dan membentuk karakter.
Meskipun
dicetuskannya program bela negara didasari atas motivasi menjadikan Indonesia dalam
kemasan nasionalisme dan patriotisme, boleh jadi, program ini memendam semangat
militeristik yang meluap-luap. Beberapa pihak berhasrat menegakkan kembali
kejayaan militer masa silam. Padahal, petualangan militerisme Indonesia,
terutama masa Orde Baru, dipenuhi dengan sikap egoistis dan individualistis
yang menindas rakyat kecil.
Budaya Konstruktif
Digulirkannya
program bela negara oleh Kementerian Pertahanan tidak seharusnya disikapi
dengan antipati dan sinis. Apalagi, sejumlah materi bela negara meliputi
pemahaman empat pilar negara, sistem pertahanan semesta, dan pengenalan
alutsista. Ditambah lagi dengan lima nilai cinta tanah air, sadar bangsa, rela
berkorban, dan pancasila sebagai dasar negara.
Namun
demikian, agar program ini tidak mengalami penyimpangan, perlu dibentuk budaya
konstruktif yang mengutamakan etika kepedulian (ethics of care) terhadap
keberlangsungan sebuah negara. Dalam program bela negara, perlu dibangun
sebuah sistem yang menumbuhkan paralelisme antara kekuatan fisik sebagai bagian
dari ciri militerisme dengan etika yang menjunjung tinggi harkat dan harga diri
manusia. Dalam banyak kasus, antara sikap militeristik dengan kehalusan budi
memang sukar disatukan. Akan tetapi, jika pemerintah serius dan konsisten
mewujudkannya, dapat dipastikan keduanya bisa berjalan secara bersamaan.
Harus
ada rambu-rambu agar program bela negara tidak mengintervensi ruang-ruang privat
dan publik. Hal ini perlu diperhatikan, mengingat militerisme pernah disalahgunakan
untuk melancarkan reorganisasi kekuasaan dalam jaringan oligarki. Bermodal produk
legislasi yang memberi batasan bagi kalangan militer dalam peran sosial dan
politik, jangan sampai gejala oligarki dan warisan otoriterisme menyelusup
dalam transformasi institusi di era demokrasi.
Sebagai
catatan, jika unsur-unsur kekerasan sebagai unikum dalam militerisme semakin
menguat, bukan tidak mungkin Indonesia di masa yang akan datang lebih condong
ke paham totaliterisme. Padahal, dalam sejarah umat manusia, totaliterisme yang
genap didengungkan oleh Nasional-Sosialisme Jerman, Komunisme Uni Soviet,
ataupun Khmer Merah di Kamboja telah memakan jutaan korban. Ditambah lagi, rezim
totaliter memiliki kecenderungan mendukung berkuasanya partai monopolistik yang
membekali para perwira dengan komando eksklusif, distingtif, dan menonjol.
Budaya
konstruktif juga bisa diwujudkan melalui jalur pendidikan. Ke depan, program
bela negara harus dijauhkan dari kesan formalistik yang dangkal makna. Militerisasi
dalam dunia pendidikan tidak boleh sekadar menampilkan nuansa militer yang
begitu kental tetapi serba banal, seperti standardisasi potongan rambut untuk
pelajar tingkat dasar dan menengah, serta penggunaan seragam tertentu untuk
level pendidikan tinggi. Belum lagi legitimasi institusi pendidikan dan
pembenaran-pembenaran moralis yang menghalalkan segala bentuk perploncoan tidak
manusiawi.
Seharusnya
pemerintah dapat mengintegrasikan prinsip dan nilai program bela negara yang esensial
ke dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Guna merealisasikannya, pemerintah
dapat menggandeng pakar pendidikan, akademisi, peneliti, dan psikolog dalam
penyusunan kurikulum. Dengan demikian, baik di sekolah maupun kampus, para pelajar
dan mahasiswa tidak hanya mempunyai jiwa ksatria dan cinta Tanah Air, melainkan
juga peka terhadap problematika bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar