Judul:
Sedang Tuhan pun Cemburu
Penulis:
Emha Ainun Nadjib
Terbit:
Februari 2015
Penerbit:
PT. Bentang Pustaka
Tebal:
xii + 444 halaman
ISBN:
978-602-291-079-4
Harga:
Rp. 74.000,-
Emha Ainun Nadjib (Cak
Nun) adalah “cermin” bagi penjunjung tinggi harmoni. Ia menjadi garda terdepan penjaga
kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kedekatannya dengan
beragam komunitas terbukti mampu mengatasi rivalitas, friksi, dan konflik antar
kelompok. Pemikiran-pemikiran yang dilontarkan dalam pelbagai forum ilmiah,
baik di dalam maupun luar negeri, bermaksud mengarahkan manusia menuju ‘rute cinta’
dan ‘jalur kebersamaan’.
Dalam konteks
Indonesia, apa yang dilakukan oleh Cak Nun turut mengokohkan bangunan peradaban
bangsa dalam rajutan Bhinneka Tunggal Ika. Timothy Daniels, dalam penelitian
bertajuk Islamic Spectrum in Java
(Anthropology and Cultural History in Asia and the Indo-Pacific), berpendapat
bahwa melalui lagu-lagu tradisional yang dibawakan bersama Kiai Kanjeng, Cak
Nun berupaya mencegah terjadinya perpecahan. Bagi Cak Nun, ragam budaya lokal yang
mengakar dalam kehidupan ras dan suku bukan sebagai pemecah, melainkan
pemersatu orang-orang yang bermukim di sebuah ‘desa’ bernama Indonesia.
Cak Nun juga “telaga”
bagi siapa saja yang ingin mereguk inspirasi dalam jagat literasi.
Produktivitas dan kontinuitas berkarya Cak Nun memang patut ditiru. Di usia
yang tidak lagi muda, Cak Nun senantiasa menempuh jalan sunyi: menulis. Di
tengah kesibukannya menanamkan mahabbah
(rasa cinta) kepada Khaliq (Sang
Pencipta) di beberapa komunitas asuhannya, seperti Kenduri Cinta di Jakarta, Mocopat
Syafaat di Yogyakarta, Padang Bulan di Jombang, serta Bangbang Wetan di
Surabaya, ia masih rajin menulis di sejumlah harian nasional. Penerbit-penerbit
besar pun mengantri untuk bisa menerbitkan esai-esai budayawan sekaligus
intelektual muslim tersebut.
Tiga
Corak
Sebagaimana karya-karya
Cak Nun lainnya, bila ditarik garis simpul, apa yang ditulis dalam buku ini memiliki
tiga corak, yaitu introspeksi, ekstropeksi, juga yang berada di antara
keduanya.
Corak pertama antara
lain bisa dibaca dalam esai “Sepatu
Pergaulan Nasional, Sandal Pergaulan Nasional”. Dalam esai tersebut, Cak
Nun mengamati sandal sebagai barang yang oleh beberapa pihak dianggap kurang
berarti dan terkesan kurang resmi. Padahal, ia mempunyai pelajaran berarti dari
sandal. Gara-gara sandal, ia diusir dari Pondok Pesantren Modern Gontor. Ketika
menjadi wartawan, ia juga pernah diusir dari Stadion Kridosono, sebab hanya
memakai sandal dan kaos. Padahal, sesuai pengalaman Cak Nun, di pelbagai event internasional, peserta tidak pernah
bertanya apakah pemateri memakai sandal atau sepatu, tetapi pada gagasan yang dikemukakan.
Pemakaian sepatu dalam forum-forum resmi, bagi Cak Nun, sekadar konvensi etika
yang sewaktu-waktu dapat berubah.
Namun demikian,
pengalaman di atas rupanya menjadi pemicu ledakan revolusi kecil bagi diri Cak
Nun, sebab di kemudian hari “peristiwa-peristiwa menyakitkan hati” tersebut menjadi
landasan dari segala yang dicapai. Sandal menjadi materi introspeksi Cak Nun di
masa lampau dalam rangka memperbaiki diri di masa mendatang.
Corak kedua terwakili
dalam esai “Qiroah dan Ro’iyyah Anak-anak
Muda Islam”. Di sini, keteledoran anak-anak muda dalam meneguhkan
eksistensi mendapat sorotan. Menurut Cak Nun, generasi muda zaman kini telah
banyak melampaui perkiraan, baik dalam pemahaman terhadap masalah-masalaah
kemasyarakatan maupun kedewasaan hidup. Sayangnya, mereka kurang cukup siap
menampung, menginternalisasi, memilih secara objektif segala ilmu, fenomena,
atau apa saja yang masuk ke otak dan hati. Akibatnya, cara putra-putri bangsa
menyerap ide-ide yang berserakan tampak semrawut (halaman 255). Hal inilah yang
perlu dipikirkan, sehingga ke depannya para pemuda tetap mampu memenuhi curiosity (rasa ingin tahu), tanpa
merasa gagap dalam mengorganisir diri sendiri.
Adapun corak ketiga
terutama bisa diraba dalam esai bertajuk “Melankolia”.
Pada mulanya, Cak Nun mengira bahwa melankolia hanya menyangkut problematika
popular yang muncul ke permukaan sejarah. Sebagai misal yaitu seniman berbicara
mengenai pembebasan, intelektual berkoar perihal agency of change, mahasiswa berikrar sebagai leader of tomorrow, sejarawan mengumumkan rampungnya integrasi
nasional, negarawan bersabda tentang kejayaan nenek moyang, politisi berpidato
soal pendidikan politik, serta kiai berfatwa tentang kekompakan ulama dan umara. Padahal contoh-contoh tersebut merupakan model melankolia ‘anak
kampung’ yang keliru. Corak ketiga ibarat setip yang berfungsi menghapus coretan-coretan
pensil. Dengan demikian, corak seperti ini lebih bertujuan agar pandangan Cak
Nun sendiri atau pandangan orang lain yang kurang tepat segera diluruskan.
Beragam tema tulisan dalam
buku ini menunjukkan bahwa Cak Nun selalu skeptis namun juga kritis terhadap
segala permasalahan. Kalimatnya yang ceplas-ceplos memperlihatkan perjalanan
hidupnya kerap dilalui bersama orang-orang pinggiran yang bergulat dengan
kerasnya kehidupan. Langgam berpikirnya yang dalam lebih bersifat idealis-filosofis.
Balutan kata-katanya yang indah meneguhkan bahwa Cak Nun merupakan salah satu sastrawan
tersohor di negeri ini.
Bojonegoro, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar