Belum lama ini, program kampanye “One Day No Rice” (sehari tanpa nasi) diluncurkan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Dalam penjelasannya, kampanye ini untuk mengubah kultur pangan masyarakat di tengah produksi beras yang memprihatinkan. Ia menganjurkan masyarakat membiasakan diri mengonsumsi jagung, ubi, atau singkong sebagai pengganti beras. Ini ikhtiar mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap beras.
Di negeri ini, beras memiliki posisi vital dalam kehidupan kuliner, bahkan sebagian menganggap tak tergantikan. Dalam sejarahnya, beras pun ternyata turut menentukan perkembangan sosio-kultur masyarakat. Beras membentuk sikap, perilaku, dan pola pikir kita dari dahulu hingga sekarang. Bahkan juga bagi bangsa lain.
Oleh masyarakat Tionghoa, misalnya, beras dianggap sebagai bibit kebaikan. Pernikahan terasa belum lengkap jika beras tidak disajikan. Betapa imaji kesuburan dan kedamaian hidup tersimpan dalam beras. Beras dipercaya membuat pasangan suami-istri lebih harmonis.
Adat pernikahan masyarakat Tionghoa menyebutkan, pesta bujang digelar setelah lamaran dan seserahan. Acara di rumah kedua mempelai pengantin ini begitu unik, ditandai dengan duduknya mempelai wanita di atas tampah atau karpet bundar. Di hadapannya terletak sebuah gentong berisi beras. Sebagai bahan makanan yang dipersiapkan istri dalam keluarga, beras merepresentasikan kesejahteraan dan kemakmuran.
Begitu pun beras berperan penting dalam memelihara ekosistem perekonomian masyarakat Jawa. Beras membangun fondasi perekonomian desa yang berporos pada perdagangan tradisional. Hasil bumi berupa beras digelar di pasar untuk ditawarkan kepada mereka yang membutuhkan. Oleh para pejuang ekonomi kerakyatan ini, beras dibawa dengan cara digendong, dipikul, dengan obor sebagai penerang jalan (Anshoriy Ch, 2008: 8).
Beras mengukuhkan sistem pedagang bakulan yang merupakan saka guru perekonomian Jawa. Hari pasaran Pon, Wage, Kliwon, Legi, serta Pahing menjadi waktu bagi penjual dan pembeli melakukan transaksi.
Superioritas Beras
Dalam pandangan masyarakat, beras memiliki citra superior ketimbang sumber karbohidrat lainnya. Beras menjadi “primadona” lantaran kontinuitas ketersediaan terjaga, mudah dimasak, serta nyaman di lidah. Dibandingkan pangan lokal lain, gizi dan nutrisi beras bisa diunggulkan. Ditambah lagi, tersebar mitos bahwa meski kenyang menyantap hidangan, seseorang belum merasa makan jika perutnya tidak berisi nasi. Beras telah membentuk cara pandang dan pola pikir sebuah bangsa.
Sayangnya, superioritas beras semakin pudar akibat ulah mafia beras yang menyalahgunakan peran pertanian industrial kapitalistik yang membuat sentra produksi petani lokal kurang produktif. Petani lokal dan pasar tradisional terdesak akibat produk lokal kurang diminati konsumen. Apalagi, pemerintah kerap membuka keran impor saat harga beras melambung. Imbasnya, kesejahteraan petani terancam. Menjamurnya produk-produk pertanian dari negeri tetangga membuat mereka merugi. Peluang pasar dan daya saing petani lokal kerap dikebiri kebijakan pemerintah yang kurang memihak produk lokal.
Padahal, Kerajaan Majapahit merupakan pemasok beras di sejumlah wilayah Asia Tenggara. Beras salah satu komoditas utama Nusantara sejak kerajaan ini berjaya pada abad ke-14. Kudus, Jember, dan Pati merupakan di antara sentra utama beras masa itu. Raja memonitor dan menjaga lancarnya perdagangan beras dikarenakan usaha ini menghasilkan untung berlipat. Nilai ekonomis pada beras membuat penguasa memberikan perhatian serius terhadap pengembangan produksi beras.
Muatan Politis
Beras tidak sekadar bernilai ekonomis, tapi juga bermuatan politis. Oleh para penguasa negeri ini, beras difungsikan sebagai komoditas politik. Mengutip Djafar (2015), politisasi beras berlangsung sejak bercokolnya kaum kolonial yang berkepentingan memperoleh tenaga buruh murah. Guna menyerap tenaga masyarakat dalam sentra perkebunan, harga beras senantiasa ditekan. Bahkan, saat terjadi krisis beras pada 1863, sebagai upaya menjaga ketersediaan tenaga buruh murah, pemerintah kolonial meniadakan bea masuk impor beras. Ketika tongkat estafet kolonialisme berada di tangan Jepang, intensifikasi pertanian beras dilakukan dengan memperkenalkan varietas padi baru guna memenuhi kebutuhan perang militer Jepang.
Saat pekik kemerdekaan berkumandang, politisasi beras tetap memiliki keterkaitan dengan kebijakan penguasa. Kekuasaan sanggup menentukan “nasib” beras. Orde Lama menjadikan beras sebagai pendukung visi-misinya. Sebagai solusi pemenuhan pangan masyarakat, Soekarno sengaja memilih beras sebagai komponen gaji angkatan bersenjata dan pegawai negeri.
Adapun Orde Baru memanfaatkan beras dalam “bungkus” Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi pangan, terutama swasembada beras. Celakanya, Revolusi Hijau tidak mampu mengantarkan Indonesia menjadi negara berswasembada pangan secara tetap (hanya lima tahun, 1984-1989). Selain itu, Revolusi Hijau juga menciptakan jurang pemisah orang-orang pedesaan. Kesenjangan ekonomi dan sosial membuat kehidupan masyarakat semakin timpang. Yang diuntungkan gerakan ini hanyalah petani kaya dan aparatur negara.
Gejala-gejala politisasi beras juga dapat ditemukan pada era reformasi. Betapa mudahnya seorang kandidat presiden memilih beras sebagai bagian dari kampanye. Revitalisasi pertanian dijadikan agenda utama pemerintahan. Namun, saat ia menapaki kursi kepresidenan, kinerja dan produktivitas sektor pertanian sedemikian rendah. Petani sebagai tulang punggung ketahanan pangan kerap diabaikan. Jika ini yang terjadi, swasembada beras hanya sebatas janji, bahkan ilusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar